Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang baru bagi Jelita. Perutnya yang semakin membesar tidak menghalanginya untuk tetap beraktifitas seperti biasa.
Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, lalu duduk di teras belakang rumah, memandangi kebun kecil yang ditanaminya dengan berbagai sayuran dan bunga.
Di saat-saat seperti ini, ia sering berbicara dengan bayi dalam kandungannya, bercerita tentang masa depan yang akan mereka jalani berdua.
"Jelita," suara lembut ibunya menginterupsi lamunannya pagi itu. "Sudah sarapan, Nak?"
Jelita tersenyum, menunjukkan piring kosong di sampingnya. "Sudah, Bu. Tadi masak nasi goreng."
Ibu duduk di sampingnya, memandangi putrinya dengan tatapan penuh kasih. "Ibu lihat kamu serin
Malam itu, tepat pukul sebelas malam, Jelita merasakan kontraksi yang luar biasa. Ia yang sedang berbaring mencoba tidur, tiba-tiba terbangun dengan rasa sakit yang menusuk."Ibu!" teriaknya, "Ibu... sakit sekali..."Kedua orangtuanya yang masih terjaga di ruang keluarga bergegas ke kamarnya. Ibu Jelita langsung mendekati putrinya yang meringkuk menahan sakit."Astaga, Jelita!" Ibu panik melihat putrinya yang meringis kesakitan. "Sudah berapa lama sakitnya, Nak?""Dari... dari tadi sore sudah mulai terasa, Bu," Jelita menggigit bibirnya. "Tapi tidak sesakit ini...""Ya Tuhan, kenapa tidak bilang dari tadi?" Ibu mengusap keringat di dahi Jelita. "Ayah, cepat siapkan mobil! Kita harus ke rumah sakit sekarang!""Sabar ya, Nak," Ayah bergegas mengambil kunci mobil. "Tahan sebentar."Sementara ayahnya menyiapkan mobil, ibu Jelita dengan sigap mengambil tas yang sudah disiapkan untuk keperluan melahirkan. Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel."Nak Faris," suara ibu terdengar cemas saa
Pagi itu, sekitar pukul enam, Ibu dan Ayah Jelita memutuskan untuk keluar mencari sarapan. Mereka tidak tega membangunkan Faris yang baru saja tertidur setelah semalaman menjaga Jelita.Udara pagi masih terasa sejuk ketika mereka melangkah keluar dari gedung rumah sakit. Suara kicauan burung dan deru kendaraan yang mulai memadati jalanan bercampur menjadi satu."Bu, sepertinya warung nasi uduk di depan sudah buka," Hadi menunjuk ke arah warung yang tampak ramai. Beberapa orang sudah duduk di kursi plastik, menikmati sarapan pagi mereka. "Kita beli di sana saja ya?"Ratna mengangguk setuju, merapatkan cardigan yang dipakainya untuk menghalau udara dingin. "Iya, Pak. Sekalian beli yang banyak untuk Faris juga. Kasihan dia belum makan dari semalam. Anak itu terlalu mengkhawatirkan Jelita sampai lupa makan."Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, Ratna menangkap sosok yang sangat familiar berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit. Pria itu tampak gelisah, sesekali melongok ke dalam
Di ruang inap Jelita, Pak Hadi baru saja meletakkan bungkusan berisi nasi uduk dan lauk pauknya di meja samping tempat tidur ketika Faris terbangun.Pemuda itu mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Aroma nasi uduk yang menguar membuat perutnya berbunyi pelan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak semalam."Sudah bangun, Nak?" sapa Pak Hadi ramah, memperhatikan wajah lelah Faris. "Ini Bapak bawakan sarapan. Makanlah dulu."Faris tersenyum lemah, matanya masih berat karena kurang tidur. "Terima kasih, Pak. Tapi saya tunggu Jelita bangun saja..." Tangannya masih menggenggam tangan Jelita yang tertidur pulas."Tidak usah, Nak. Makan saja duluan," Pak Hadi menepuk pundak Faris dengan kebapakan. "Jelita masih butuh istirahat. Kamu juga harus jaga kesehatan."
Ratna melangkah pelan memasuki ruangan Jelita, mendapati putrinya masih berbaring dengan mata terpejam sementara Faris duduk di sampingnya, menyantap sarapan yang dibawakan Pak Hadi. Aroma nasi uduk masih menguar hangat dalam ruangan."Faris, sudah makan?" tanya Ratna lembut, mendekati tempat tidur Jelita.Faris mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. "Sudah, Bu. Terima kasih sarapannya." Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. "Saya harus segera pulang, Bu. Ada meeting penting di kantor pagi ini.""Iya, pulanglah dulu. Istirahat yang cukup," Ratna menepuk pundak Faris dengan penuh kasih. "Nanti sore bisa kesini lagi kan?""Pasti, Bu." Faris bangkit dari kursinya, membereskan sisa sarapannya. Ia menoleh ke arah Jelita yang masih terlelap, kemudian
Matahari pagi mulai merangkak naik, menembus tirai putih yang melambai pelan tertiup angin dari jendela rumah sakit. Jelita masih terbaring di tempat tidurnya, memandangi buket baby breath pemberian Bambang yang kini telah dipindahkan ke dalam vas oleh ibunya.Keheningan ruangan dipecahkan oleh deringan ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ratna yang sedang membaca majalah segera mengambilkan ponsel itu dan menyerahkannya pada Jelita."Dari Bi Inah," ucap Jelita setelah melihat nama yang tertera di layar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menggeser tombol hijau. "Halo, Bi?""Ya Tuhan, Non Jelita!" suara Bi Inah terdengar penuh semangat di seberang sana. "Bi Inah baru dengar Non sudah melahirkan. Alhamdulillah... selamat ya, Non. Sehat-sehat kan Non? Bayinya juga sehat?"
Sore itu, langit kota berwarna jingga keemasan saat Jelita melangkah keluar dari rumah sakit dengan menggendong putri kecilnya yang terbungkus selimut merah muda. Faris berjalan di sampingnya, tangannya penuh dengan tas-tas berisi perlengkapan bayi dan hadiah dari para penjenguk.Di belakang mereka, Ratna sibuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sementara ayah Jelita mengurus administrasi terakhir."Pelan-pelan, Jel," Faris memperingatkan dengan lembut saat Jelita hendak melangkah turun dari trotoar menuju mobil yang terparkir.Jelita mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil yang tertidur dalam gendongannya. Ada perasaan hangat yang mengalir dalam dadanya - sebuah kehangatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.Saat melahirkan Raditya dul
Pagi masih sejuk ketika Jelita membuka pintu rumahnya, menggendong putri kecilnya yang dibungkus selimut tipis untuk berjemur. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari rumah sakit, dan Jelita mulai terbiasa dengan rutinitas barunya sebagai ibu tunggal. Meski lelah, ia merasa bahagia bisa mengurus sendiri buah hatinya.Putri kecilnya diberi nama Pramesti Wicaksana Ayu. Nama yang cantik sesuai dengan hati Jelita. Namun, pemberian nama ini tak luput dari campur tangan Bambang.Berbeda dengan Raditya yang memiliki nama ‘Baskara’, anak kedua Jelita ini sengaja diberi nama belakang ‘Wicaksana’ sama seperti nama Ayahnya."Sini, biar Ibu bantu," Ratna muncul dari dapur dengan segelas teh hangat."Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja," tolak Jelita halus. "
Siang itu, Bambang memarkirkan mobilnya di depan rumah Jelita. Di kursi belakang, terdapat beberapa kantong berisi keperluan bayi - popok, susu formula, dan beberapa makanan untuk Jelita. Meski tidak bisa tinggal bersama, ia tetap berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah."Assalamualaikum," Bambang mengetuk pintu dengan pelan.Pintu terbuka, menampakkan wajah Ratna yang tersenyum menyambut. "Waalaikumsalam. Masuk, Bang."Bambang melangkah masuk sambil membawa kantong-kantong belanjaannya. Di ruang tengah, Jelita sedang menimang Ayu - putri mereka yang baru berusia dua minggu. Mata Bambang berbinar melihat bayinya yang semakin montok."Boleh gendong?" tanya Bambang hati-hati.Jelita mengangguk, perlahan menyerahkan Ayu ke pelukan ayahnya. Bambang mengambil posisi duduk di sofa, matanya tak lepas dari wajah mungil putrinya."Makin mirip kamu, Jel," ujar Bambang lembut. "Tapi hidungnya... persis kayak aku."Jelita tersenyum tipis. Ada rasa haru yang menggelayut di
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No