Pagi masih sejuk ketika Jelita membuka pintu rumahnya, menggendong putri kecilnya yang dibungkus selimut tipis untuk berjemur. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari rumah sakit, dan Jelita mulai terbiasa dengan rutinitas barunya sebagai ibu tunggal. Meski lelah, ia merasa bahagia bisa mengurus sendiri buah hatinya.
Putri kecilnya diberi nama Pramesti Wicaksana Ayu. Nama yang cantik sesuai dengan hati Jelita. Namun, pemberian nama ini tak luput dari campur tangan Bambang.
Berbeda dengan Raditya yang memiliki nama ‘Baskara’, anak kedua Jelita ini sengaja diberi nama belakang ‘Wicaksana’ sama seperti nama Ayahnya.
"Sini, biar Ibu bantu," Ratna muncul dari dapur dengan segelas teh hangat.
"Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja," tolak Jelita halus. "
Siang itu, Bambang memarkirkan mobilnya di depan rumah Jelita. Di kursi belakang, terdapat beberapa kantong berisi keperluan bayi - popok, susu formula, dan beberapa makanan untuk Jelita. Meski tidak bisa tinggal bersama, ia tetap berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah."Assalamualaikum," Bambang mengetuk pintu dengan pelan.Pintu terbuka, menampakkan wajah Ratna yang tersenyum menyambut. "Waalaikumsalam. Masuk, Bang."Bambang melangkah masuk sambil membawa kantong-kantong belanjaannya. Di ruang tengah, Jelita sedang menimang Ayu - putri mereka yang baru berusia dua minggu. Mata Bambang berbinar melihat bayinya yang semakin montok."Boleh gendong?" tanya Bambang hati-hati.Jelita mengangguk, perlahan menyerahkan Ayu ke pelukan ayahnya. Bambang mengambil posisi duduk di sofa, matanya tak lepas dari wajah mungil putrinya."Makin mirip kamu, Jel," ujar Bambang lembut. "Tapi hidungnya... persis kayak aku."Jelita tersenyum tipis. Ada rasa haru yang menggelayut di
"Jangan panggil aku!" Novita memotong dengan suara bergetar menahan amarah. "Aku sudah di perjalanan ke sana. Kita selesaikan semua ini sekarang juga."Telepon ditutup secara sepihak. Bambang terpaku di tempatnya, wajahnya pucat pasi. Ratna yang sejak tadi memperhatikan dari ruang makan menghampiri dengan wajah cemas."Ada apa, Bang?""Novita... dia tau aku di sini," Bambang berbisik lemah. "Dia sedang dalam perjalanan kemari."Mendengar percakapan itu, Jelita yang baru kembali dari dapur bersama Faris langsung membeku. Tubuhnya gemetar, teringat akan semua perlakuan dan cacian yang pernah ia terima dari Novita dulu."Sebaiknya aku pulang," Bambang bangkit perlahan, menyerahkan Ayu ke pelukan Jelita. "Aku akan coba menghentikan Novita sebelum dia sampai sini.""Tapi Bang..." Jelita menatap Bambang dengan mata berkaca-kaca."Maaf, Jel. Aku tidak mau terjadi keributan di sini," Bambang mengambil tasnya dengan tergesa. "Ayu baru dua minggu, dia butuh ketenan
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap