Di ruang inap Jelita, Pak Hadi baru saja meletakkan bungkusan berisi nasi uduk dan lauk pauknya di meja samping tempat tidur ketika Faris terbangun.Pemuda itu mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Aroma nasi uduk yang menguar membuat perutnya berbunyi pelan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak semalam."Sudah bangun, Nak?" sapa Pak Hadi ramah, memperhatikan wajah lelah Faris. "Ini Bapak bawakan sarapan. Makanlah dulu."Faris tersenyum lemah, matanya masih berat karena kurang tidur. "Terima kasih, Pak. Tapi saya tunggu Jelita bangun saja..." Tangannya masih menggenggam tangan Jelita yang tertidur pulas."Tidak usah, Nak. Makan saja duluan," Pak Hadi menepuk pundak Faris dengan kebapakan. "Jelita masih butuh istirahat. Kamu juga harus jaga kesehatan."
Ratna melangkah pelan memasuki ruangan Jelita, mendapati putrinya masih berbaring dengan mata terpejam sementara Faris duduk di sampingnya, menyantap sarapan yang dibawakan Pak Hadi. Aroma nasi uduk masih menguar hangat dalam ruangan."Faris, sudah makan?" tanya Ratna lembut, mendekati tempat tidur Jelita.Faris mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. "Sudah, Bu. Terima kasih sarapannya." Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. "Saya harus segera pulang, Bu. Ada meeting penting di kantor pagi ini.""Iya, pulanglah dulu. Istirahat yang cukup," Ratna menepuk pundak Faris dengan penuh kasih. "Nanti sore bisa kesini lagi kan?""Pasti, Bu." Faris bangkit dari kursinya, membereskan sisa sarapannya. Ia menoleh ke arah Jelita yang masih terlelap, kemudian
Matahari pagi mulai merangkak naik, menembus tirai putih yang melambai pelan tertiup angin dari jendela rumah sakit. Jelita masih terbaring di tempat tidurnya, memandangi buket baby breath pemberian Bambang yang kini telah dipindahkan ke dalam vas oleh ibunya.Keheningan ruangan dipecahkan oleh deringan ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ratna yang sedang membaca majalah segera mengambilkan ponsel itu dan menyerahkannya pada Jelita."Dari Bi Inah," ucap Jelita setelah melihat nama yang tertera di layar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menggeser tombol hijau. "Halo, Bi?""Ya Tuhan, Non Jelita!" suara Bi Inah terdengar penuh semangat di seberang sana. "Bi Inah baru dengar Non sudah melahirkan. Alhamdulillah... selamat ya, Non. Sehat-sehat kan Non? Bayinya juga sehat?"
Sore itu, langit kota berwarna jingga keemasan saat Jelita melangkah keluar dari rumah sakit dengan menggendong putri kecilnya yang terbungkus selimut merah muda. Faris berjalan di sampingnya, tangannya penuh dengan tas-tas berisi perlengkapan bayi dan hadiah dari para penjenguk.Di belakang mereka, Ratna sibuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sementara ayah Jelita mengurus administrasi terakhir."Pelan-pelan, Jel," Faris memperingatkan dengan lembut saat Jelita hendak melangkah turun dari trotoar menuju mobil yang terparkir.Jelita mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil yang tertidur dalam gendongannya. Ada perasaan hangat yang mengalir dalam dadanya - sebuah kehangatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.Saat melahirkan Raditya dul
Pagi masih sejuk ketika Jelita membuka pintu rumahnya, menggendong putri kecilnya yang dibungkus selimut tipis untuk berjemur. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari rumah sakit, dan Jelita mulai terbiasa dengan rutinitas barunya sebagai ibu tunggal. Meski lelah, ia merasa bahagia bisa mengurus sendiri buah hatinya.Putri kecilnya diberi nama Pramesti Wicaksana Ayu. Nama yang cantik sesuai dengan hati Jelita. Namun, pemberian nama ini tak luput dari campur tangan Bambang.Berbeda dengan Raditya yang memiliki nama ‘Baskara’, anak kedua Jelita ini sengaja diberi nama belakang ‘Wicaksana’ sama seperti nama Ayahnya."Sini, biar Ibu bantu," Ratna muncul dari dapur dengan segelas teh hangat."Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja," tolak Jelita halus. "
Siang itu, Bambang memarkirkan mobilnya di depan rumah Jelita. Di kursi belakang, terdapat beberapa kantong berisi keperluan bayi - popok, susu formula, dan beberapa makanan untuk Jelita. Meski tidak bisa tinggal bersama, ia tetap berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah."Assalamualaikum," Bambang mengetuk pintu dengan pelan.Pintu terbuka, menampakkan wajah Ratna yang tersenyum menyambut. "Waalaikumsalam. Masuk, Bang."Bambang melangkah masuk sambil membawa kantong-kantong belanjaannya. Di ruang tengah, Jelita sedang menimang Ayu - putri mereka yang baru berusia dua minggu. Mata Bambang berbinar melihat bayinya yang semakin montok."Boleh gendong?" tanya Bambang hati-hati.Jelita mengangguk, perlahan menyerahkan Ayu ke pelukan ayahnya. Bambang mengambil posisi duduk di sofa, matanya tak lepas dari wajah mungil putrinya."Makin mirip kamu, Jel," ujar Bambang lembut. "Tapi hidungnya... persis kayak aku."Jelita tersenyum tipis. Ada rasa haru yang menggelayut di
"Jangan panggil aku!" Novita memotong dengan suara bergetar menahan amarah. "Aku sudah di perjalanan ke sana. Kita selesaikan semua ini sekarang juga."Telepon ditutup secara sepihak. Bambang terpaku di tempatnya, wajahnya pucat pasi. Ratna yang sejak tadi memperhatikan dari ruang makan menghampiri dengan wajah cemas."Ada apa, Bang?""Novita... dia tau aku di sini," Bambang berbisik lemah. "Dia sedang dalam perjalanan kemari."Mendengar percakapan itu, Jelita yang baru kembali dari dapur bersama Faris langsung membeku. Tubuhnya gemetar, teringat akan semua perlakuan dan cacian yang pernah ia terima dari Novita dulu."Sebaiknya aku pulang," Bambang bangkit perlahan, menyerahkan Ayu ke pelukan Jelita. "Aku akan coba menghentikan Novita sebelum dia sampai sini.""Tapi Bang..." Jelita menatap Bambang dengan mata berkaca-kaca."Maaf, Jel. Aku tidak mau terjadi keributan di sini," Bambang mengambil tasnya dengan tergesa. "Ayu baru dua minggu, dia butuh ketenan
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No