"Jelita," suara Bambang terdengar dari seberang telepon, "bisa kita bicara?"Jelita yang baru saja hendak tidur, mengubah posisinya menjadi duduk. Lampu tidur di kamarnya menyoroti wajahnya yang lelah namun tetap cantik. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. "Iya, Bang.""Tentang tadi siang..." Bambang menarik napas panjang. Suaranya terdengar berat, seolah ada beban besar yang ditanggungnya. "Maaf kalau aku bersikap tidak sopan."Jelita memejamkan mata, teringat kejadian siang tadi di restoran. Pertemuan tidak terduga antara dia, Faris, dan Bambang yang berujung pada ketegangan. "Tidak apa-apa, Bang," jawab Jelita lembut. "Aku mengerti.""Faris..." Bambang terdiam sejenak. Dari nada suaranya, Jelita bisa merasakan kecemburuan yang berusaha ditahan. "Di
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang baru bagi Jelita. Perutnya yang semakin membesar tidak menghalanginya untuk tetap beraktifitas seperti biasa.Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, lalu duduk di teras belakang rumah, memandangi kebun kecil yang ditanaminya dengan berbagai sayuran dan bunga.Di saat-saat seperti ini, ia sering berbicara dengan bayi dalam kandungannya, bercerita tentang masa depan yang akan mereka jalani berdua."Jelita," suara lembut ibunya menginterupsi lamunannya pagi itu. "Sudah sarapan, Nak?"Jelita tersenyum, menunjukkan piring kosong di sampingnya. "Sudah, Bu. Tadi masak nasi goreng."Ibu duduk di sampingnya, memandangi putrinya dengan tatapan penuh kasih. "Ibu lihat kamu serin
Malam itu, tepat pukul sebelas malam, Jelita merasakan kontraksi yang luar biasa. Ia yang sedang berbaring mencoba tidur, tiba-tiba terbangun dengan rasa sakit yang menusuk."Ibu!" teriaknya, "Ibu... sakit sekali..."Kedua orangtuanya yang masih terjaga di ruang keluarga bergegas ke kamarnya. Ibu Jelita langsung mendekati putrinya yang meringkuk menahan sakit."Astaga, Jelita!" Ibu panik melihat putrinya yang meringis kesakitan. "Sudah berapa lama sakitnya, Nak?""Dari... dari tadi sore sudah mulai terasa, Bu," Jelita menggigit bibirnya. "Tapi tidak sesakit ini...""Ya Tuhan, kenapa tidak bilang dari tadi?" Ibu mengusap keringat di dahi Jelita. "Ayah, cepat siapkan mobil! Kita harus ke rumah sakit sekarang!""Sabar ya, Nak," Ayah bergegas mengambil kunci mobil. "Tahan sebentar."Sementara ayahnya menyiapkan mobil, ibu Jelita dengan sigap mengambil tas yang sudah disiapkan untuk keperluan melahirkan. Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel."Nak Faris," suara ibu terdengar cemas saa
Pagi itu, sekitar pukul enam, Ibu dan Ayah Jelita memutuskan untuk keluar mencari sarapan. Mereka tidak tega membangunkan Faris yang baru saja tertidur setelah semalaman menjaga Jelita.Udara pagi masih terasa sejuk ketika mereka melangkah keluar dari gedung rumah sakit. Suara kicauan burung dan deru kendaraan yang mulai memadati jalanan bercampur menjadi satu."Bu, sepertinya warung nasi uduk di depan sudah buka," Hadi menunjuk ke arah warung yang tampak ramai. Beberapa orang sudah duduk di kursi plastik, menikmati sarapan pagi mereka. "Kita beli di sana saja ya?"Ratna mengangguk setuju, merapatkan cardigan yang dipakainya untuk menghalau udara dingin. "Iya, Pak. Sekalian beli yang banyak untuk Faris juga. Kasihan dia belum makan dari semalam. Anak itu terlalu mengkhawatirkan Jelita sampai lupa makan."Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, Ratna menangkap sosok yang sangat familiar berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit. Pria itu tampak gelisah, sesekali melongok ke dalam
Di ruang inap Jelita, Pak Hadi baru saja meletakkan bungkusan berisi nasi uduk dan lauk pauknya di meja samping tempat tidur ketika Faris terbangun.Pemuda itu mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Aroma nasi uduk yang menguar membuat perutnya berbunyi pelan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak semalam."Sudah bangun, Nak?" sapa Pak Hadi ramah, memperhatikan wajah lelah Faris. "Ini Bapak bawakan sarapan. Makanlah dulu."Faris tersenyum lemah, matanya masih berat karena kurang tidur. "Terima kasih, Pak. Tapi saya tunggu Jelita bangun saja..." Tangannya masih menggenggam tangan Jelita yang tertidur pulas."Tidak usah, Nak. Makan saja duluan," Pak Hadi menepuk pundak Faris dengan kebapakan. "Jelita masih butuh istirahat. Kamu juga harus jaga kesehatan."
Ratna melangkah pelan memasuki ruangan Jelita, mendapati putrinya masih berbaring dengan mata terpejam sementara Faris duduk di sampingnya, menyantap sarapan yang dibawakan Pak Hadi. Aroma nasi uduk masih menguar hangat dalam ruangan."Faris, sudah makan?" tanya Ratna lembut, mendekati tempat tidur Jelita.Faris mengangguk sambil menelan suapan terakhirnya. "Sudah, Bu. Terima kasih sarapannya." Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. "Saya harus segera pulang, Bu. Ada meeting penting di kantor pagi ini.""Iya, pulanglah dulu. Istirahat yang cukup," Ratna menepuk pundak Faris dengan penuh kasih. "Nanti sore bisa kesini lagi kan?""Pasti, Bu." Faris bangkit dari kursinya, membereskan sisa sarapannya. Ia menoleh ke arah Jelita yang masih terlelap, kemudian
Matahari pagi mulai merangkak naik, menembus tirai putih yang melambai pelan tertiup angin dari jendela rumah sakit. Jelita masih terbaring di tempat tidurnya, memandangi buket baby breath pemberian Bambang yang kini telah dipindahkan ke dalam vas oleh ibunya.Keheningan ruangan dipecahkan oleh deringan ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ratna yang sedang membaca majalah segera mengambilkan ponsel itu dan menyerahkannya pada Jelita."Dari Bi Inah," ucap Jelita setelah melihat nama yang tertera di layar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menggeser tombol hijau. "Halo, Bi?""Ya Tuhan, Non Jelita!" suara Bi Inah terdengar penuh semangat di seberang sana. "Bi Inah baru dengar Non sudah melahirkan. Alhamdulillah... selamat ya, Non. Sehat-sehat kan Non? Bayinya juga sehat?"
Sore itu, langit kota berwarna jingga keemasan saat Jelita melangkah keluar dari rumah sakit dengan menggendong putri kecilnya yang terbungkus selimut merah muda. Faris berjalan di sampingnya, tangannya penuh dengan tas-tas berisi perlengkapan bayi dan hadiah dari para penjenguk.Di belakang mereka, Ratna sibuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, sementara ayah Jelita mengurus administrasi terakhir."Pelan-pelan, Jel," Faris memperingatkan dengan lembut saat Jelita hendak melangkah turun dari trotoar menuju mobil yang terparkir.Jelita mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil yang tertidur dalam gendongannya. Ada perasaan hangat yang mengalir dalam dadanya - sebuah kehangatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.Saat melahirkan Raditya dul