"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu melalui telepon genggamnya. Ia baru saja tiba di kantornya, tapi pikirannya masih tertuju pada kejadian pagi tadi di rumah.
Terdengar jeda sejenak sebelum suara lembut Jelita menjawab, "Ya, Bang. Ada apa?"
Bambang menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbicara."
"Aku... baik-baik saja," jawab Jelita, terdengar sedikit gugup. "Bagaimana dengan Abang dan keluarga?"
"Kami... yah, kami mencoba untuk baik-baik saja," Bambang menghela napas. "Jelita, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah aku mengunjungimu sore ini?"
Hening sejenak sebelum Jelita menjawab, "Baiklah, Bang. Aku ada di rumah sore ini."
"Oh," Bam
Bambang menatap Novita dengan hati-hati, menyadari bahwa situasi ini bisa berubah menjadi perdebatan panas. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Nov, aku menemuinya karena kita perlu tahu alasan di balik kepergiannya," Bambang memulai dengan lembut. "Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang Raditya."Novita mendengus, matanya berkilat marah. "Oh, jadi sekarang kau memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk keluarga kita? Tanpa membicarakannya denganku terlebih dahulu?"Bambang mencoba menenangkan istrinya. "Nov, aku tidak bermaksud-""Tidak bermaksud apa, Bang?" potong Novita, suaranya meninggi. "Tidak bermaksud mengabaikan perasaanku? Tidak bermaksud membela wanita itu lagi?""Novita, tolong dengarkan aku du
Enam bulan berlalu. Musim berganti, daun-daun berguguran dan tumbuh kembali, namun waktu seolah berhenti bagi keluarga yang terpecah ini.Bambang hanya bisa menghubungi Jelita melalui telepon. Dan sesekali saat ia ada kesempatan, ia mengunjungi Jelita ke rumah orangtuanya meski hanya sebentar untuk memastikan keadaan Jelita.Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Jelita berdiri di teras, sapu di tangan dan perut yang kini membuncit. Ia menyapu dedaunan kering dengan gerakan lambat, pikirannya melayang jauh. Enam bulan, pikirnya. Enam bulan tanpa melihat wajah Raditya, tanpa mendengar tawanya, tanpa memeluknya.Sementara itu, di rumah Bambang dan Novita, suasana tidak jauh berbeda dari enam bulan lalu. Novita masih menyimpan amarah dan kekecewaan, ego yang terlalu besar untuk diredakan oleh waktu atau bujukan B
"Papa," panggil Radit, mengambil foto itu dan menunjukkannya pada Bambang.Bambang, yang kebetulan lewat, terkejut melihat foto di tangan Radit. Ia melirik ke arah dapur, memastikan Novita tidak mendengar."Itu... itu Tante Jelita, Radit. Kamu ingat?" jawab Bambang pelan.Radit mengerutkan dahinya, berusaha mengingat. "Tante Jelita? Yang suka buatin pancake itu ya, Pa?"Bambang tersenyum sedih. "Iya, sayang. Yang suka buatin pancake buat kamu.""Kenapa Tante Jelita nggak pernah ke sini lagi, Pa?" tanya Radit polos.Bambang terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi rumit ini pada anaknya yang masih kecil?
Sore itu, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah orang tua Jelita. Faris, dengan setelan rapi khas pengusaha muda, keluar dari mobilnya dengan membawa oleh-oleh dari luar negeri.Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengunjungi keluarga Jelita setiap kali ia pulang dari perjalanan bisnis.Namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang sangat familiar berdiri di halaman. Jelita, dengan perut membuncit, sedang merapikan tanaman. Faris mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi."Jelita?" panggil Faris pelan, suaranya penuh keterkejutan.Jelita menoleh, sama terkejutnya. "Kak Faris? Kamu... sedang apa di sini?"Mereka berdua terdiam sejenak, tenggelam dalam keterkejutan masing-masing. Jelita segera menghampiri Faris dan berbisik, "Kak Faris, apa kamu pernah cerita ke orang tuaku tentang... tentang aku?"Faris menggeleng. "Tidak, aku tidak pernah cerita apa-apa. Aku hanya datang berkunjung dan mengobrol dengan Ayah dan Ibumu seperti biasa. Tapi Jelita, k
"Kamu tahu, Jelita... Faris itu anak yang sangat baik," ujar Ibu Jelita sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. "Sebelum pergi ke luar negeri, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke sini hampir setiap bulan." Jelita mengaduk tehnya perlahan, "Benarkah, Bu?" "Iya. Dia sering mengobrol dengan ayahmu, membawakan oleh-oleh, dan selalu menanyakan kabar keluarga kita," Ibu Jelita tersenyum lembut. "Tujuh bulan kemarin memang dia tidak datang karena harus mengurus bisnis di luar negeri." "Ibu..." Jelita menatap ibunya ragu. "Kenapa Ibu tidak pernah cerita?" Ibu Jelita menghela napas, "Ibu pikir kamu sudah tahu. Lagipula, waktu itu kan kamu tinggal di rumah Bambang." Hening sejenak. Suara angin yang berhembus mengisi kekosongan di antara mereka. "Jelita," panggil ibunya lembut. "Ibu lihat bagaimana Faris memandangmu tadi. Tatapan itu... tatapan yang penuh cinta dan ketulusan." Jelita menunduk, tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang membuncit. "Aku tahu, Bu." "Kalau kamu lelah
Ponsel Jelita bergetar di meja samping tempat tidurnya. Nama "Bambang" tertera di layar. Dengan tangan sedikit gemetar, Jelita mengangkat telepon itu. "Halo, Bang?" sapa Jelita lembut. "Halo, Jelita. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Bambang dari seberang telepon. "Baik, Bang. Bayinya juga sehat, tadi siang baru saja menendang-nendang," jawab Jelita sambil mengusap perutnya. "Syukurlah kalau begitu," Bambang terdiam sejenak. "Kamu sudah makan? Jangan lupa minum vitamin ya." "Sudah, Bang. Tadi siang juga ada tamu..." "Tamu? Siapa?" tanya Bambang penasaran. Jelita menarik napas pelan sebelum menjawab, "Kak Faris, Bang. Dia baru pulang dari luar negeri." Hening sejenak. Jelita bisa merasakan perubahan atmosfer pembicaraan mereka. "Faris?" suara Bambang terdengar berbeda. "Ngapain dia ke rumah orangtuamu?" "Oh... memang sudah biasa kok, Bang. Kak Faris hampir setiap bulan mengunjungi Ayah dan Ibu," jawab Jelita. “Tapi tujuh bulan kemarin dia di luar negeri, makanya ba
"Selamat pagi, Bu Ratna! Jelita ada?" suara Faris terdengar ceria dari depan pintu.Ibu Jelita tersenyum melihat Faris yang sudah rapi dengan kemeja biru muda. "Ada, Faris. Ayo masuk dulu.""Kak Faris?" Jelita muncul dari arah dapur, masih mengenakan daster rumahan. "Kok pagi-pagi sudah ke sini?"Faris tersenyum lebar, "Aku mau mengajakmu berbelanja keperluan si kecil. Sudah mulai harus disiapkan kan?""Eh?" Jelita terkejut. "Tapi... hari ini aku ada jadwal ke dokter kandungan.""Justru bagus!" sahut Faris antusias. "Aku bisa mengantarmu ke dokter dulu, baru setelah itu kita berbelanja. Bagaimana?"Jelita melirik ibunya, mencari pendapat. Ibu Jelita mengangguk menyetujui."Pergilah, Jelita. Biar Faris yang menemanimu. Ibu ada arisan hari ini," ujar Ibu Jelita."Tap, bui..." Jelita masih ragu."Sudah, tidak ada tapi-tapian," potong Faris. "Ayo cepat bersiap. Nanti terlambat ke dokternya."Setengah jam kemudian, mobil Faris melaju ke rumah saki
Setelah puas berbelanja, Faris mengajak Jelita untuk mampir ke sebuah restoran mewah dekat pusat perbelanjaan. "Kamu mau pesan apa?" tanya Faris sambil membuka menu restoran mewah tersebut."Terserah Kak Faris saja. Kakak yang lebih tahu makanan di sini," jawab Jelita, matanya masih menelusuri belanjaan mereka yang memenuhi kursi di sampingnya."Baiklah, untuk ibu hamil... ah, sepertinya steak salmon ini cocok untukmu. Kaya protein dan omega-3," Faris tersenyum, lalu memanggil pelayan.Sementara menunggu pesanan, mereka membicarakan barang-barang yang baru saja dibeli. Suasana terasa ringan dan menyenangkan, sampai Jelita melihat sosok yang familiar memasuki restoran."Abang..." bisik Jelita pelan, matanya melebar.Faris menoleh ke arah pandangan Jelita. Benar saja, Bambang sedang berjalan dengan seorang pria yang tampak seperti klien bisnisnya. Belum sempat mereka bereaksi, Bambang sudah lebih dulu menangkap sosok mereka."Jelita?" Bambang menghampiri meja mereka, berusaha menyembun