Senja mulai merambat di langit Kota, ketika Jelita duduk di beranda rumah orang tuanya. Tangannya mengelus lembut perutnya yang masih rata, merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya. Aroma masakan menguar dari dapur, mengingatkannya akan masa kecilnya dulu.
"Jelita, ayo masuk, Nak. Makan malam sudah siap," panggil Ibu Jelita, dari dalam rumah.
Jelita tersenyum, perlahan bangkit dari kursinya. "Iya, Bu. Jelita segera ke sana."
Melangkah masuk ke ruang makan, Jelita disambut oleh pemandangan meja makan yang penuh dengan hidangan lezat dan bergizi.
Ada sup ayam kampung, ikan bakar rica-rica, tumis kangkung, dan beberapa jenis sayuran rebus. Semua hidangan itu adalah favorit Jelita sejak kecil.
"Wah, Bu. Ini semua untuk J
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa berbeda. Bambang, Novita, dan Raditya duduk mengelilingi meja makan. Hidangan lezat tersaji di hadapan mereka, namun atmosfer di ruangan itu terasa berat dan canggung.Raditya, dengan kepolosannya, memecah keheningan. "Papa," panggilnya, menatap Bambang dengan mata besarnya yang penuh tanya.Bambang mengalihkan perhatiannya dari piring ke putranya. "Ya, Radit? Ada apa?"Raditya meletakkan sendoknya, ekspresinya berubah serius. "Papa, Radit mau tanya. Kenapa Tante Jelita tidak kembali ke sini? Radit kangen ingin dibuatkan pancake lagi."Pertanyaan itu membuat Bambang dan Novita terdiam sejenak. Bambang melirik ke arah Novita, yang terlihat tidak nyaman dengan topik pembicaraan ini.
Suasana di ruang makan keluarga Baskara masih terasa berat setelah kepergian Raditya ke kamarnya. Bambang dan Novita duduk berhadapan, ketegangan terasa di antara mereka.Bambang menatap Novita lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi istrinya. "Nov, aku ingin kau jujur padaku. Apa benar kau yang mengusir Jelita?"Novita menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Tidak, Bang. Aku tidak mengusir siapa-siapa. Jelita pergi atas kemauannya sendiri."Bambang menghela napas panjang. "Tapi Radit bilang dia melihatmu keluar dari kamar Jelita dengan wajah marah. Dan dia mendengar Jelita menangis setelahnya. Bagaimana kau menjelaskan itu?"Novita terdiam sejenak, tangannya gemetar saat mengambil gelas air di depannya. "Itu... itu hanya salah paham, Bang. Kami memang berbicara, tapi aku
"Wah, pancake!" seru Raditya dengan riang saat ia mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Anak laki-laki itu sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya, rambut disisir rapi dan sepatu mengkilap.Novita tersenyum lembut, meletakkan sepiring pancake hangat di hadapan putranya. "Iya sayang, Mama buatkan pancake spesial untukmu pagi ini."Bambang bergabung di meja makan, secangkir kopi panas mengepul di tangannya. "Pagi semua," sapanya, mengecup kening Raditya sebelum duduk di kursinya."Pagi, Pa!" balas Raditya ceria. Ia mengambil garpu dan pisau, mulai memotong pancake-nya dengan antusias.Novita duduk di seberang Raditya, matanya penuh harap mengamati putranya yang akan mencicipi masakannya. "Bagaimana rasanya, sayang?"Raditya
Bambang merangkul bahu Istri pertamanya itu. "Kau lebih dari cukup, Nov. Kau adalah ibu yang luar biasa untuk Radit. Tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa Jelita juga pernah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Dia adalah ibu kandung Raditya.""Tapi dia sendiri yang memutuskan pergi, Bang," isak Novita. "Dia sendiri yang meninggalkan Raditya."Bambang menghela napas. "Kita masih belum tahu alasan sebenarnya dia pergi, Nov. Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlanjut. Demi Raditya. Demi kebahagiaan Raditya kita."Novita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kau benar. Aku... aku akan minta maaf pada Radit, Bang."Mereka berdua keluar dari kamar, kembali ke ruang makan di mana Raditya masih duduk, memainkan sisa pancake di piring
"Halo, Jelita?" suara Bambang terdengar ragu-ragu melalui telepon genggamnya. Ia baru saja tiba di kantornya, tapi pikirannya masih tertuju pada kejadian pagi tadi di rumah.Terdengar jeda sejenak sebelum suara lembut Jelita menjawab, "Ya, Bang. Ada apa?"Bambang menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbicara.""Aku... baik-baik saja," jawab Jelita, terdengar sedikit gugup. "Bagaimana dengan Abang dan keluarga?""Kami... yah, kami mencoba untuk baik-baik saja," Bambang menghela napas. "Jelita, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah aku mengunjungimu sore ini?"Hening sejenak sebelum Jelita menjawab, "Baiklah, Bang. Aku ada di rumah sore ini.""Oh," Bam
Bambang menatap Novita dengan hati-hati, menyadari bahwa situasi ini bisa berubah menjadi perdebatan panas. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Nov, aku menemuinya karena kita perlu tahu alasan di balik kepergiannya," Bambang memulai dengan lembut. "Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang Raditya."Novita mendengus, matanya berkilat marah. "Oh, jadi sekarang kau memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk keluarga kita? Tanpa membicarakannya denganku terlebih dahulu?"Bambang mencoba menenangkan istrinya. "Nov, aku tidak bermaksud-""Tidak bermaksud apa, Bang?" potong Novita, suaranya meninggi. "Tidak bermaksud mengabaikan perasaanku? Tidak bermaksud membela wanita itu lagi?""Novita, tolong dengarkan aku du
Enam bulan berlalu. Musim berganti, daun-daun berguguran dan tumbuh kembali, namun waktu seolah berhenti bagi keluarga yang terpecah ini.Bambang hanya bisa menghubungi Jelita melalui telepon. Dan sesekali saat ia ada kesempatan, ia mengunjungi Jelita ke rumah orangtuanya meski hanya sebentar untuk memastikan keadaan Jelita.Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Jelita berdiri di teras, sapu di tangan dan perut yang kini membuncit. Ia menyapu dedaunan kering dengan gerakan lambat, pikirannya melayang jauh. Enam bulan, pikirnya. Enam bulan tanpa melihat wajah Raditya, tanpa mendengar tawanya, tanpa memeluknya.Sementara itu, di rumah Bambang dan Novita, suasana tidak jauh berbeda dari enam bulan lalu. Novita masih menyimpan amarah dan kekecewaan, ego yang terlalu besar untuk diredakan oleh waktu atau bujukan B
"Papa," panggil Radit, mengambil foto itu dan menunjukkannya pada Bambang.Bambang, yang kebetulan lewat, terkejut melihat foto di tangan Radit. Ia melirik ke arah dapur, memastikan Novita tidak mendengar."Itu... itu Tante Jelita, Radit. Kamu ingat?" jawab Bambang pelan.Radit mengerutkan dahinya, berusaha mengingat. "Tante Jelita? Yang suka buatin pancake itu ya, Pa?"Bambang tersenyum sedih. "Iya, sayang. Yang suka buatin pancake buat kamu.""Kenapa Tante Jelita nggak pernah ke sini lagi, Pa?" tanya Radit polos.Bambang terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan situasi rumit ini pada anaknya yang masih kecil?