"Aku bukan saudaramu, bahkan darah kita pun berbeda. Persetan dengan mereka yang selalu membandingkan aku denganmu. Aku bukan adik kandungmu, Marissa! Kau tahu itu bukan ....?" Teriakan dari Joanna membuat kelopak mata Marissa terbuka lebar. Ia tidak menyangka, jika gadis yang selama ini dianggapnya sebagai saudara sendiri itu telah menikamnya dari belakang. Mampukah Marissa menjaga amanah dari kedua keluarga yang telah menyatukan keduanya sebagai saudara angkat? Sedangkan di sisi lain, Joanna telah mengkhianati Marissa dengan merebut tunangannya, Kevin. "Aku telah hamil dan ini adalah anak, Kevin." Ujar Joanna yang tidak memperdulikan perasaan Marissa. Marissa terpaku, sekujur tubuhnya gemetar saat membawa sebuah dokumen perusahaan yang entah sejak kapan berpindah tangan ke kubu sang adik. Yuk! Baca kisah perseteruan antara dua saudara angkat ini. Jangan sampai terlewat tiap babnya!
view moreKenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya
“Apakah Kevin sudah datang?” Bola mata Marissa memindai keadaan sekeliling. Ia tidak menjumpai tunangannya, Kevin Aldous Benneth. Ruang tunggu Galeri Antalya terlihat sepi, hanya beberapa pasang calon pengantin yang sedang melihat desain terbaru galeri tersebut. "Kenapa kalian diam saja? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?" Marissa menatap satu persatu karyawan Galeri Antalya, wajah mereka terlihat pucat pasi. Marissa dan Kevin telah sepakat, jika tepat jam 2 siang akan melakukan fitting baju pengantin di salah satu galeri ternama di pusat kota. Tapi saat Marissa sudah tiba di lokasi, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Bahkan dari sekian karyawan di sana, tidak ada satupun yang angkat bicara. “Nona, Nona, tunggu!” cegah salah satu karyawan tersebut ketika melihat Marissa melanjutkan langkahnya ke dalam galeri. “Ya! Ada apa? Kenapa dengan kalian hari ini ….?" kedua tangan Marissa direntangkan dengan bebas. Tampak dahinya berkerut karena merasa heran d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments