“Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini kepadamu. Tapi aku masih menghormati posisimu di dalam keluarga, Sawyer.” Perlahan Kevin berusaha menjelaskan alasannya, ia tidak ingin disalahkan begitu saja.
“Bicaralah! Sebelum kesabaranku habis,” tantang Marissa dengan bola mata yang bergerak tak tenang.
Marissa Sawyer, gadis muda berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi seorang CEO di bidang konstruksi. Perusahaan milik keluarganya itu hampir saja gulung tikar sebelum Marissa terjun untuk mengelola sendiri. Gadis itu menjadi pribadi yang mandiri dan kuat seiring berjalannya waktu. Hingga setahun yang lalu, dia bertemu dengan Kevin dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kisah indah itu, harus berakhir seperti sekarang ini.
"Ikut aku!" tiba-tiba saja, Kevin menarik tangan Marissa agar bersedia ikut dengannya.
"Hei! Apa-apaan ini?" Marissa hampir saja terjungkal saat ia tidak bisa mengimbangi langkah Kevin yang lebar.
Mereka melewati para karyawan yang tidak bisa berbuat banyak kecuali, diam. Hingga banyak pasang mata itu hanya melihat Kevin dan Marissa kini menghilang dari balik gedung Galeri Antalya.
"Lepaskan! Sakit, Kevin." Gadis itu memberontak dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangan, Kevin. Tapi sayang, pria itu sama sekali tidak peduli.
Terpaksa Marissa menuruti keinginan Kevin saat pria itu mengajaknya ke salah satu tempat untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Jangan kelewatan begini dong! Memangnya mau ke mana sih?" tanya Marissa yang langsung mendapatkan jawaban ketika Kevin sudah membawanya masuk ke dalam sebuah hotel bintang lima.
Kedua anak manusia itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai ke hotel tersebut. Namun ketika Marissa melewati ambang pintu salah satu ruang privat, kelopak matanya terbuka lebar. Marissa mendapati keluarganya sudah berkumpul di sana, termasuk adik angkatnya—Joanna.
“Jadi kalian sudah bersekongkol untuk menjebakku?” pertanyaan pertama itu meluncur begitu saja dari mulut, Marissa.
“Duduklah dulu, Marissa! Semua tidak seperti apa yang kamu lihat,” kata nyonya Sawyer ketika melihat putri sulungnya langsung mengajukan protes.
“Tidak seperti yang aku lihat? Ma, aku melihat mereka berdua sudah melakukan sesuatu yang, argh ….!" Marissa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak sanggup menceritakan kembali kejadian yang baru saja membuat hatinya sangat—berantakan.
"Dan kalian memintaku untuk melupakannya? Jangankan untuk melupakan, memaafkannya saja aku tidak akan sudi." jawab Marissa dengan nada berapi-api. Sesekali jari telunjuknya mengarah pada Kevin dan Joanna.
“Jaga ucapanmu, Marissa!” tiba-tiba Joanna beranjak dari tempat duduknya setelah ia menggebrak meja di depannya.
“Hei! Sejak kapan kamu berani memanggilku tanpa sebutan, kakak? Begini sifat aslimu setelah kami memungutmu dari paman, Mike? Dasar perempuan sundal.”
“Hentikan, Marissa!” suara teriakan dari ayahnya membuat Marissa langsung terdiam. Ia menoleh ke arah tuan Sawyer dengan tatapan tidak percaya. Sehingga kedua alisnya saling bertautan, lalu menghela napas cukup berat.
“Tapi mereka sudah main gila, Ayah!” Marissa benar-benar protes sehingga tanpa disadarinya ia telah berteriak pada ayahnya sendiri.
“Kalian lebih membela Joanna daripada aku? Aku putri kandung kalian, kan? Kenapa seolah-olah aku yang bersalah di sini? Tolong jelaskan kepadaku!” Marissa meminta sebuah penjelasan. Bahkan ayah kandungnya saat ini tidak berpihak kepadanya.
“Apa yang sebenarnya kalian rencanakan di belakangku? Apa aku sudah berbuat jahat pada kalian, sehingga kalian memberi karma sekejam ini padaku?” hampir saja air matanya tumpah saat dirinya menuntut sebuah keadilan.
“Kamu ingin tahu kebenarannya? Kenapa aku bermain gila dengan adik angkatmu itu?” kevin mendekat kembali. Kali ini ia menjaga jarak di depan, Marissa.
Kevin melihat perubahan sikap Marissa yang terlihat menegang. Ia sangat yakin jika Marissa belum siap mendengar pernyataan darinya. Tapi semua sudah terlanjur—basah.
“Ayahmu berhutang padaku. Hutang sebesar itu sudah jatuh tempo satu tahun yang lalu. Kamu tahu, Marissa? Mereka tidak bisa membayarnya tepat waktu. Bahkan perusahaan konstruksi yang kamu bangga-banggakan itu, tidak dapat membayar bunganya.”
“Kalian sudah merencanakan semua ini selama itu? Dan aku tidak tahu ….?” Marissa menggeleng kecil, lalu ia pun terkekeh ketika mengetahui dirinya telah dibodohi oleh orang-orang yang disayanginya.
“Berapa hutang orang tuaku padamu?”
Ia menatap tajam pada Kevin yang melirik dengan seringai di sudut bibirnya. Pria itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, seakan menantang Marissa yang begitu congkak. Kevin sanksi jika perempuan itu bisa lepas dari semua tuntutan yang diberikan pada keluarga, Sawyer.
“Terserah padamu, Marissa. Semua Keputusan ada di tanganmu, aku tidak memaksa. Nasib keluarga Sawyer ada di tanganmu, Sayang. Jadi, lupakan semua yang telah terjadi. Kita tetap melanjutkan rencana pernikahan seperti semula, bagaimana?” tawaran dari Kevin membuat bola mata Marissa melotot ke arahnya.
Bibir Marissa mengatup dengan rapat. Ia menahan luapan emosi yang siap dimuntahkan kapan saja. Sehingga Marissa bisa merasakan betapa sesak dadanya saat ini.
“Jangan senang dulu, Tuan Kevin! Aku tidak semudah itu tunduk di hadapanmu. Pantang bagiku mengemis cinta pada pria sepertimu. Kamu sudah salah menilaiku seperti itu,” jawab Marissa setelah berhasil mengontrol emosinya dengan baik.
Kevin mengerutkan dahinya, ia menatap Marissa dengan seksama. Pria itu mengurai kedua tangannya yang semula disilangkan di depan dada. Kevin merasa ada sesuatu yang akan terjadi, di luar harapannya.
“Berikan aku waktu. Aku akan mencari penggantimu secepatnya,” ujar Marissa yang membalas tatapan tajam mereka tanpa rasa takut sedikitpun.
“Wow, menarik! Lelucon apa yang saat ini sedang kamu mainkan?” tepuk tangan dari Kevin membuat suasana kembali riuh setelah puas menertawakan, Marissa.
“Tidak! Aku tidak bercanda, aku sangat serius. Aku akan mencari penggantimu dalam waktu 24 jam dan menikah dengannya. Jika aku berhasil, lepaskan aku dari jeratan hutangmu itu. Dan jika aku gagal, maka kalian bisa mendapatkan semua aset perusahaan konstruksi yang saat ini dalam kepemimpinanku. Bagaimana ….?” Marissa memberi tantangan pada, Kevin. Ia berharap bisa lolos dari tipu muslihat pria tidak beradab tersebut.
“M-Marissa ….” suara lirih itu berasal dari arah ibunya—nyonya Sawyer.
“Apa salahnya bersedia menuruti semua keinginan dari, Kevin? Toh kamu akan hidup dengan enak dan terjamin, Marissa.” Nyonya Sawyer mencoba untuk membujuknya.
“Mama, aku ini bukan anak kecil lagi. Mana bisa aku dibujuk seperti bocah yang menginginkan lollypop?” bola mata Marissa memutar dengan malas.
“Marissa ….” Kevin yang semula bersikap kasar, akhirnya sedikit melunak.
“Bisa kita mulai dari awal kembali? Aku berjanji akan ….”
“Bullshit! Aku sudah tidak percaya padamu, Kevin. Jangan mengemis cintaku seperti ini! Memalukan ….” jari telunjuk Marissa sudah mendarat di depan dada, Kevin. Pria itu diam tak berkutik, lalu Marissa memutar tubuhnya untuk bisa pergi dari hadapan mereka secepatnya.
“Jangan sombong kamu!” ujar Joanna menatap kakaknya tersebut dengan penuh kebencian.
Marissa yang semula ingin meninggalkan ruangan tersebut, terpaksa menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah belakang dan tersenyum tipis kepada, Joanna.
“Tidak, adikku Sayang. Kakak tidak pernah menyombongkan apapun kepadamu. Aku akan buktikan jika aku mampu mencari pengganti, Kevin. Pria yang memiliki moral lebih baik. Pria yang bisa menghargai perasaan perempuan dan tidak menyakiti dengan hal yang menjijikkan seperti itu.”
Marissa meraih handle pintu, ia langsung menutup tanpa menoleh kembali ke arah belakang. Gadis itu menyusuri lorong kamar hotel, kemudian buru-buru masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah.
“Marissa, tunggu ….!”
Tanpa disangka, Kevin telah mengejarnya sejauh ini. Marissa pun mempercepat langkahnya setelah berhasil keluar dari dalam lift.
“Apalagi yang dia inginkan dariku?” Marissa bergumam setelah menoleh ke asal suara.
Marissa melihat ke sekeliling dengan tatapan tak tenang. Kepalanya menoleh ke segala arah, lalu ia berlari kecil ke salah satu tempat. Marissa yang begitu panik dengan kedatangan Kevin, hingga ia tidak memperhatikan arah jalannya dan menabrak seseorang tanpa sengaja.
“O, Oh! M-Maafkan saya, Tuan.” Gadis itu meminta maaf ketika pria di hadapannya menoleh kepadanya.
“S-Saya, anu. Aduh, maafkan saya ….” Marissa gugup, ia bingung dengan sendirinya.
“D-Deniz ….?” kata Marissa menatap pria kharismatik di hadapannya.
“Marissa? Apakah kamu, Marissa Sawyer?” tanya Deniz dengan memicingkan kedua kelopak matanya.
“Marissa, kembali kau!” teriak Kevin dari kejauhan.
Ia yang merasa tidak bisa kabur lagi dari kejaran Kevin, menatap cepat pada Deniz dengan perasaan takut. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengajukan sebuah penawaran.
“Deniz, m-maafkan aku sudah berbuat lancang padamu. Tapi tolonglah aku satu kali ini saja. Tidak ada waktu untuk menjelaskannya saat ini," kalimat itu terucap bersamaan saat Marissa mencuri pandang ke arah lain.
“M-Maukah kamu menikah denganku ….?”
PRANG ….!
Sebuah gelas berisi minuman beralkohol yang dipegang oleh salah satu rekan pria tersebut jatuh ke bawah lantai. Semua pasang mata yang berada di sekitarnya langsung tertuju pada mereka.
"M-Maafkan aku, aduh …." posisi Marissa saat ini sedang mengangkat wajahnya, ia menatap pria itu dengan penuh harap.
Hening beberapa saat. Namun tak berselang lama, bola mata pria itu mengarah ke tempat lain. Marissa pun ikut menoleh, ia melihat Kevin berlari kecil ke arahnya.
“Marissa ….” Kevin berhenti beberapa meter dari tempat Marissa berdiri. Terlihat ia menormalkan kembali napasnya yang terengah-engah sambil berkacak pinggang.
Tanpa sengaja Marissa merapatkan tubuhnya pada pria asing itu. Tangannya mencengkeram sisi kerah jas pria tersebut karena merasa cemas.
“Imbalan apa yang akan aku dapatkan, jika aku setuju dengan tawaran yang kamu ajukan kepadaku?” Deniz menarik senyuman manisnya.
“Apapun, apapun yang kamu mau. Asal kamu bersedia menjadi suamiku hari ini juga.” Jawab Marissa tanpa berpikir panjang.
“Baiklah! Kita akan menikah, Nona Marissa.”
“Apa ….?!” suara saling bersahutan itu terdengar memenuhi ruangan.
Marissa beralih menatap pria itu kembali dengan bola mata yang membulat—lucu.
“Apa kamu gila, Marissa?” Kevin mencoba meminta penjelasan pada, Marissa. Gadis itu melihat ke arah Kevin tanpa mengatakan apapun. Ia diam dengan tatapan yang datar. Posisinya tetap sama, berdiri di hadapan Deniz yang baru saja dilamar agar bersedia menikah dengannya. Deniz Ansel Ghazy, pria berusia 28 tahun itu tidak menyangka bertemu kembali dengan teman masa lalunya—Marissa Sawyer. Ia melihat sosok Marissa yang tidak banyak berubah kecuali, semakin dewasa. “Tidak. Aku tidak gila, justru aku yang melihatmu seperti orang gila.” Sahut Marissa yang berpura-pura mengacuhkan pria itu. “Apa kamu mengenalnya?” tanya Deniz pada, Marissa. Gadis berpostur 165 centimeter tersebut menoleh, ia memanyunkan bibirnya sejenak. Marissa nampak berpikir, lalu dia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” jawab Marissa dengan santai. “Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi dari sini!” ajak Deniz sambil menyodorkan lengannya pada, Marissa. Pria itu berharap agar Marissa segera melingkarkan t
“Apa yang bisa diharapkan dari perawan tua sepertimu? Mendapatkan pria kaya raya dan hidup enak layaknya kisah Cinderella?” Kevin tertawa lepas saat mendengar penjelasan dari, Marissa. Gadis itu mundur satu jengkal ketika Kevin berusaha merangsek di hadapannya. Dengan perlahan Marissa menurunkan jari telunjuk, Kevin. “Apa kamu takut, Kevin?” sindir Marissa dengan senyuman mengejek. Kevin salah tingkah, bola matanya bergerak tak tentu arah. “T-Tidak! S-Siapa yang takut? A-Aku, takut padamu? Jangan konyol, Marissa!” Kevin mengelak, saat tuduhan Marissa tepat pada sasaran. Pria itu tertawa kecil untuk menutupi perasaan was-was yang tiba-tiba saja menyergapnya. “Ayolah, Marissa! Jangan buang-buang waktu dengan percuma! Bukankah aku telah memberikan pilihan terbaik untukmu?” kata Kevin yang mencoba untuk mengalihkan percakapan yang menurutnya tidak berarti. “Pilihan terbaik? Pilihan terbaik apa?!” dahi Marissa berkerut tanda tidak mengerti. “Aku akan menjamin hidupmu jika kamu menja
“Dasar gadis aneh! Aku sekarang suami kamu. Bisa tidak, bersikap manis sedikit saja?” Deniz menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tendangan maut, Marissa. Ia melirik ke sebelah, di mana gadis yang baru saja dinikahinya itu duduk dengan wajah cemberut. Benar saja, Marissa menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah yang tidak dapat Deniz deskripsikan. “Tapi kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan mengirim kamu sebagai jodohku?” ujar Marissa yang membuat pria itu melebarkan kelopak matanya. “T-Tunggu! Apa maksud dari ucapanmu itu, Nona?” Deniz tersinggung, ia meminta penjelasan dari, Marissa. “Ya itu lah. Seharusnya Tuhan tidak memilih kamu untuk menggantikan, Kevin.” Jawab Marissa dengan begitu polosnya. “Hei, Nona! Memangnya apa kekuranganku?” Deniz tidak terima, ia membuka kedua tangannya. Marissa menoleh, ia memindai sosok pria tersebut dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian Marissa mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran
“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?” Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.” Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
"Seberapa kaya dirimu, Mas?" tanya Marissa saat keduanya tengah menikmati semilir angin di teras balkon bungalow. Pemandangan laut telah menyihir mereka untuk tetap berlama-lama di waktu menjelang siang hari. Matahari bersinar cukup terik, tapi tidak mengusik ketenangan mereka sedikitpun. Bahkan sekarang keduanya tengah menikmati segelas jus nanas untuk Marissa dan segelas wine untuk, Deniz. Deniz memanyunkan bibirnya ketika mendengar pertanyaan dari, Marissa. "Sangat kaya," jawabnya kemudian menyesap minumannya dengan penuh perasaan. "Sebesar apa? Kenapa keluarga Ghazy bisa masuk ke jajaran pengusaha sukses di rate 10 orang terkaya di dunia?" Marissa penasaran, ia ingin mendapatkan satu kisah tentang keluarga Ghazy dari mulut suaminya sendiri. "Kamu tidak akan bisa menghitungnya, apalagi dengan jari-jari lentik itu." Deniz menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas yang ada di hadapannya. Marissa mengarahkan bola matanya ke samping dengan bibir dilipat k
Kaki jenjang sehalus susu itu berlari kencang menghampiri ombak yang menggulung di bibir pantai. Saat kaki indahnya basah karena sapuan air laut, Marissa tergelak senang. Tawanya begitu lebar hingga kelopak matanya hanya terlihat bagaikan garis melengkung.Deniz tersenyum tipis saat melihat perempuan cantik yang sedang menari dan berputar lincah itu sedang melambaikan tangan ke arahnya. Deniz membalasnya, hingga menampilkan deretan gigi putih rapi miliknya. Ia memilih untuk menikmati panorama senja dengan siluet Marissa yang menawan di hamparan pasir putih, bahagia; itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.Setelah memuaskan diri dengan hanya menatap presensi Marissa di tepi laut, Deniz yang mengenakan setelan casual pun menggulung celananya hingga batas betis dan berniat untuk ikut bergabung dengan istrinya. Sepertinya berlarian di atas pasir dan mengejar perempuan menawan di depannya dengan sebuah godaan adalah hal yang sangat menyenangkan saat ini, hin
“Really?” Marissa masih mematung di tempat, bola matanya hampir lepas dengan decak kagum menjadi-jadi.“Kamu belum pernah naik pesawat?” tanya Deniz saat langkah kakinya berhenti tepat di samping, Marissa.Marissa menoleh cepat, ia dengan wajahnya yang tercengang namun bagi Deniz apa yang dilihatnya sungguh menggemaskan. “Ini jet pribadi, Mas.” Jawabnya sangat antusias.“Iya, terus?” Deniz memiringkan kepalanya, nampak dua alisnya saling bertautan.“Kalau naik pesawat di bandara-bandara gitu sih udah biasa, Mas. Marissa kan belum pernah ngerasain naik pesawat pribadi model begini, apalagi ini adalah milik suaminya aku.” Gestur wajahnya berubah-ubah saat menjelaskan, kadang kelopaknya memicing serius, lalu berubah menjadi datar kemudian tergelak senang.Deniz menikmati pemandangan di hadapannya seperti sebuah mukjizat, baginya Marissa bukan hanya sebagai obat dalam hidupnya, namun perempuan itu adalah anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya. “Milik aku itu juga milik kamu, Sayang
"Jangan telat minum obat, Deniz! Apalagi sengaja untuk lupa," canda dokter Sunny. "Tenang saja Dok, kan sudah ada alarm original buat ingetin aku." Jawab Deniz dengan senyum simpulnya. "Alarm original?" ulang dokter Sunny sambil mengernyitkan keningnya. Deniz melirik Marissa yang duduk di sebelahnya, "Ini alarm original ku, Dok." Senggol Deniz pada lengan istrinya yang sejak datang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara. "Idih, apaan sih?" ujar Marissa malu-malu. "Tapi ada benarnya lho, sejak kalian kembali rujuk, aura Deniz berubah menjadi semacam lampu mercusuar yang menerangi lautan lepas." Kata dokter Sunny dengan antusias. "Jokes Anda sungguh terlalu Dokter, segala lampu mercusuar dibawa-bawa ...." Deniz tergelak. "Aku tidak bohong, Deniz. Kamu sebelum kembali dengannya, jangankan rutin melakukan fisioterapi ataupun medical check up. Untuk obat pun kamu sengaja tidak mau menebusnya, padahal dari segi finansial seorang CEO perusahaan manufaktur terbesar di dunia,
Satu bulan berlalu, sejak masa fisioterapi yang dilakukan Deniz di London kala itu. Kini Deniz aktif melakukan olahraga rutin seperti jogging ringan untuk membantu mempercepat proses pemulihannya. Semua perubahan drastis itu tidak lepas dari peran Marissa yang menyiapkan makanan sehat untuk menyeimbangkan asupan yang masuk ke dalam tubuh, Deniz. "Mas, diminum dulu jusnya." Marissa membawakan satu gelas jus jeruk segar setelah Deniz datang dengan keringat penuh membasah hampir di seluruh tubuhnya. "Makasih Sayang," lalu Deniz menghabiskan jus jeruk di tangannya seperti onta yang sedang berada di tengah gurun Sahara. "Hm ...." jawab Marissa bergumam, tentu saja di bibir berpoles warna pink nude itu tidak lepas menarik garis senyuman. "Oh ya, Mas mau sarapan apa? Aku masakin bentar ya, setelah ini Mas mandi dulu. Kita ada janji lho sama dokter Sunny, aku tidak ingin Mas terlambat untuk itu." Lanjut Marissa yang hendak pergi ke arah dapur. "Eeeh .... tunggu dulu, mau ke mana Sa
Genap 3 Minggu mereka menghabiskan waktu di London, Inggris. Marissa dengan sabarnya mendampingi Deniz dalam segi pengobatan dan juga kesembuhan mentalnya. Seperti hari ini di mana Marissa menghabiskan waktu setengah harinya melatih Deniz untuk berjalan meskipun masih dengan bantuan tongkat penyangga. Merasa lelah setelah berputar di taman rumah sakit, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke dalam ruangan. Tak putus kata semangat Marissa lontarkan, "Bagus Mas, ya, terus .... pelan-pelan, kalau capek kita bisa berhenti dulu." Marissa memegang pinggang Deniz dengan erat, sementara tangan kiri suaminya dilingkarkan pada bahunya agar mereka bisa berjalan secara beriringan. "Kalimat kamu itu, bisa diralat nggak sih?" sahut Deniz dengan napas sedikit tersengal karena menahan nyeri di bagian sendinya. "Kalimat aku? Bagian yang mananya, Mas?" tanya Marissa dengan dua alis menukik tajam. "Kalau kalimat itu terucap lagi dari bibir kamu, bisa-bisa orang menyangka kalau kamu itu lagi a
Marissa masih terjaga saat jarum jam di dinding menunjukkan angka 11 malam. Ia melihat Deniz sudah tertidur pulas sejak kepulangan mereka 4 jam yang lalu. Marissa membuka kacamata minusnya, lalu meletakkan ke samping lembaran dokumen yang baru saja ia pelajari, Marissa harus memenuhi konsekuensinya untuk membantu mengembalikan data perusahaan milik suaminya. seperti yang diketahui sebelumnya data perusahaan yang Deniz pimpin telah bocor, akibat beberapa akses perusahaan manufaktur yang dipegang terakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dipijatnya pangkal hidung yang terasa nyeri, "Kenapa tingkat keamanannya tidak berlapis? Padahal perusahaan ini begitu besar. Selama ini mereka fokus ngerjain apa aja sih? Bisa-bisanya data investor, kolega serta pemilik saham bisa kecolongan seperti ini." Monolog Marissa dengan helaan napas berat. Langkah kakinya menuntun Marissa menuju dapur apartemen, ia membuka satu botol Tequila dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. Otaknya harus ri
Di kursi belakang, Marissa merebahkan bobot tubuh Deniz di atas kursi penumpang. Ia meminta agar Sam memberi mereka waktu sebentar. Berbekal beberapa lembar uang yang diberikan Marissa, Sam pun memilih untuk menunggu dua anak manusia yang tengah terbakar gelora itu di sebuah Coffee Shop. Menyesap kopinya dengan penuh hati-hati, Sam hanya bisa bergumam kala melihat SUV berwarna hitam di tepi parkir tengah bergoyang secara perlahan. Bibirnya berjengit menarik senyuman, lalu menggeleng kecil saat memikirkan apa yang telah terjadi di dalam sana. Kepulan asap yang keluar dari arah pods yang dihembuskan oleh Sam membuat perasaannya sedikit lega. Hingga tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda mereka yang ada di dalam mobil akan menyerah. "Harap maklum, Sam. Mereka sudah menahannya cukup lama ...." monolog Sam pada dirinya sendiri. Dan suara geram tertahan itu berkali-kali lolos dari mulut Deniz saat Marissa mencari kepuasan di bawah sana. Dengan posisinya yang mendominasi di
"Sakit, Sayang ...." Peluh Deniz menetes dari keningnya, ia menahan bobot tubuhnya di tiang penyangga yang terdapat di kedua sisi tangannya. Hampir saja menyerah ketika dirinya sudah terlalu nyaman duduk di kursi roda. Penyakit tidak percaya dirinya muncul begitu saja saat dua kakinya tidak lagi mampu berpijak dengan tepat di atas lantai. "Ada aku, Mas. Jangan menyerah!" bisik Marissa sambil mengangkat sebelah tangan suaminya dan meletakkan di bahu agar Deniz tidak terjatuh. Deniz menggeleng lemah, deru napasnya tidak teratur. "Mas duduk dulu, istirahat lah! Aku ambil minum sebentar, Mas." Marissa pergi ke sudut ruang setelah mendudukkan Deniz di sebuah sofa untuk mengambil satu botol air mineral. "Jangan dipaksa, pelan-pelan saja Nyonya Sawyer." Ucap salah satu perawat yang menghampirinya. Marissa menoleh, ia terlihat sangat tegang. "Oh, i-iya." Kata Marissa sambil mengangguk ragu. "Butuh waktu, Nyonya harus bersabar saat mendampingi tuan Ghazy." Sambung perawat di ha