“Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini kepadamu. Tapi aku masih menghormati posisimu di dalam keluarga, Sawyer.” Perlahan Kevin berusaha menjelaskan alasannya, ia tidak ingin disalahkan begitu saja.
“Bicaralah! Sebelum kesabaranku habis,” tantang Marissa dengan bola mata yang bergerak tak tenang.
Marissa Sawyer, gadis muda berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi seorang CEO di bidang konstruksi. Perusahaan milik keluarganya itu hampir saja gulung tikar sebelum Marissa terjun untuk mengelola sendiri. Gadis itu menjadi pribadi yang mandiri dan kuat seiring berjalannya waktu. Hingga setahun yang lalu, dia bertemu dengan Kevin dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kisah indah itu, harus berakhir seperti sekarang ini.
"Ikut aku!" tiba-tiba saja, Kevin menarik tangan Marissa agar bersedia ikut dengannya.
"Hei! Apa-apaan ini?" Marissa hampir saja terjungkal saat ia tidak bisa mengimbangi langkah Kevin yang lebar.
Mereka melewati para karyawan yang tidak bisa berbuat banyak kecuali, diam. Hingga banyak pasang mata itu hanya melihat Kevin dan Marissa kini menghilang dari balik gedung Galeri Antalya.
"Lepaskan! Sakit, Kevin." Gadis itu memberontak dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangan, Kevin. Tapi sayang, pria itu sama sekali tidak peduli.
Terpaksa Marissa menuruti keinginan Kevin saat pria itu mengajaknya ke salah satu tempat untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Jangan kelewatan begini dong! Memangnya mau ke mana sih?" tanya Marissa yang langsung mendapatkan jawaban ketika Kevin sudah membawanya masuk ke dalam sebuah hotel bintang lima.
Kedua anak manusia itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai ke hotel tersebut. Namun ketika Marissa melewati ambang pintu salah satu ruang privat, kelopak matanya terbuka lebar. Marissa mendapati keluarganya sudah berkumpul di sana, termasuk adik angkatnya—Joanna.
“Jadi kalian sudah bersekongkol untuk menjebakku?” pertanyaan pertama itu meluncur begitu saja dari mulut, Marissa.
“Duduklah dulu, Marissa! Semua tidak seperti apa yang kamu lihat,” kata nyonya Sawyer ketika melihat putri sulungnya langsung mengajukan protes.
“Tidak seperti yang aku lihat? Ma, aku melihat mereka berdua sudah melakukan sesuatu yang, argh ….!" Marissa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak sanggup menceritakan kembali kejadian yang baru saja membuat hatinya sangat—berantakan.
"Dan kalian memintaku untuk melupakannya? Jangankan untuk melupakan, memaafkannya saja aku tidak akan sudi." jawab Marissa dengan nada berapi-api. Sesekali jari telunjuknya mengarah pada Kevin dan Joanna.
“Jaga ucapanmu, Marissa!” tiba-tiba Joanna beranjak dari tempat duduknya setelah ia menggebrak meja di depannya.
“Hei! Sejak kapan kamu berani memanggilku tanpa sebutan, kakak? Begini sifat aslimu setelah kami memungutmu dari paman, Mike? Dasar perempuan sundal.”
“Hentikan, Marissa!” suara teriakan dari ayahnya membuat Marissa langsung terdiam. Ia menoleh ke arah tuan Sawyer dengan tatapan tidak percaya. Sehingga kedua alisnya saling bertautan, lalu menghela napas cukup berat.
“Tapi mereka sudah main gila, Ayah!” Marissa benar-benar protes sehingga tanpa disadarinya ia telah berteriak pada ayahnya sendiri.
“Kalian lebih membela Joanna daripada aku? Aku putri kandung kalian, kan? Kenapa seolah-olah aku yang bersalah di sini? Tolong jelaskan kepadaku!” Marissa meminta sebuah penjelasan. Bahkan ayah kandungnya saat ini tidak berpihak kepadanya.
“Apa yang sebenarnya kalian rencanakan di belakangku? Apa aku sudah berbuat jahat pada kalian, sehingga kalian memberi karma sekejam ini padaku?” hampir saja air matanya tumpah saat dirinya menuntut sebuah keadilan.
“Kamu ingin tahu kebenarannya? Kenapa aku bermain gila dengan adik angkatmu itu?” kevin mendekat kembali. Kali ini ia menjaga jarak di depan, Marissa.
Kevin melihat perubahan sikap Marissa yang terlihat menegang. Ia sangat yakin jika Marissa belum siap mendengar pernyataan darinya. Tapi semua sudah terlanjur—basah.
“Ayahmu berhutang padaku. Hutang sebesar itu sudah jatuh tempo satu tahun yang lalu. Kamu tahu, Marissa? Mereka tidak bisa membayarnya tepat waktu. Bahkan perusahaan konstruksi yang kamu bangga-banggakan itu, tidak dapat membayar bunganya.”
“Kalian sudah merencanakan semua ini selama itu? Dan aku tidak tahu ….?” Marissa menggeleng kecil, lalu ia pun terkekeh ketika mengetahui dirinya telah dibodohi oleh orang-orang yang disayanginya.
“Berapa hutang orang tuaku padamu?”
Ia menatap tajam pada Kevin yang melirik dengan seringai di sudut bibirnya. Pria itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, seakan menantang Marissa yang begitu congkak. Kevin sanksi jika perempuan itu bisa lepas dari semua tuntutan yang diberikan pada keluarga, Sawyer.
“Terserah padamu, Marissa. Semua Keputusan ada di tanganmu, aku tidak memaksa. Nasib keluarga Sawyer ada di tanganmu, Sayang. Jadi, lupakan semua yang telah terjadi. Kita tetap melanjutkan rencana pernikahan seperti semula, bagaimana?” tawaran dari Kevin membuat bola mata Marissa melotot ke arahnya.
Bibir Marissa mengatup dengan rapat. Ia menahan luapan emosi yang siap dimuntahkan kapan saja. Sehingga Marissa bisa merasakan betapa sesak dadanya saat ini.
“Jangan senang dulu, Tuan Kevin! Aku tidak semudah itu tunduk di hadapanmu. Pantang bagiku mengemis cinta pada pria sepertimu. Kamu sudah salah menilaiku seperti itu,” jawab Marissa setelah berhasil mengontrol emosinya dengan baik.
Kevin mengerutkan dahinya, ia menatap Marissa dengan seksama. Pria itu mengurai kedua tangannya yang semula disilangkan di depan dada. Kevin merasa ada sesuatu yang akan terjadi, di luar harapannya.
“Berikan aku waktu. Aku akan mencari penggantimu secepatnya,” ujar Marissa yang membalas tatapan tajam mereka tanpa rasa takut sedikitpun.
“Wow, menarik! Lelucon apa yang saat ini sedang kamu mainkan?” tepuk tangan dari Kevin membuat suasana kembali riuh setelah puas menertawakan, Marissa.
“Tidak! Aku tidak bercanda, aku sangat serius. Aku akan mencari penggantimu dalam waktu 24 jam dan menikah dengannya. Jika aku berhasil, lepaskan aku dari jeratan hutangmu itu. Dan jika aku gagal, maka kalian bisa mendapatkan semua aset perusahaan konstruksi yang saat ini dalam kepemimpinanku. Bagaimana ….?” Marissa memberi tantangan pada, Kevin. Ia berharap bisa lolos dari tipu muslihat pria tidak beradab tersebut.
“M-Marissa ….” suara lirih itu berasal dari arah ibunya—nyonya Sawyer.
“Apa salahnya bersedia menuruti semua keinginan dari, Kevin? Toh kamu akan hidup dengan enak dan terjamin, Marissa.” Nyonya Sawyer mencoba untuk membujuknya.
“Mama, aku ini bukan anak kecil lagi. Mana bisa aku dibujuk seperti bocah yang menginginkan lollypop?” bola mata Marissa memutar dengan malas.
“Marissa ….” Kevin yang semula bersikap kasar, akhirnya sedikit melunak.
“Bisa kita mulai dari awal kembali? Aku berjanji akan ….”
“Bullshit! Aku sudah tidak percaya padamu, Kevin. Jangan mengemis cintaku seperti ini! Memalukan ….” jari telunjuk Marissa sudah mendarat di depan dada, Kevin. Pria itu diam tak berkutik, lalu Marissa memutar tubuhnya untuk bisa pergi dari hadapan mereka secepatnya.
“Jangan sombong kamu!” ujar Joanna menatap kakaknya tersebut dengan penuh kebencian.
Marissa yang semula ingin meninggalkan ruangan tersebut, terpaksa menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah belakang dan tersenyum tipis kepada, Joanna.
“Tidak, adikku Sayang. Kakak tidak pernah menyombongkan apapun kepadamu. Aku akan buktikan jika aku mampu mencari pengganti, Kevin. Pria yang memiliki moral lebih baik. Pria yang bisa menghargai perasaan perempuan dan tidak menyakiti dengan hal yang menjijikkan seperti itu.”
Marissa meraih handle pintu, ia langsung menutup tanpa menoleh kembali ke arah belakang. Gadis itu menyusuri lorong kamar hotel, kemudian buru-buru masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah.
“Marissa, tunggu ….!”
Tanpa disangka, Kevin telah mengejarnya sejauh ini. Marissa pun mempercepat langkahnya setelah berhasil keluar dari dalam lift.
“Apalagi yang dia inginkan dariku?” Marissa bergumam setelah menoleh ke asal suara.
Marissa melihat ke sekeliling dengan tatapan tak tenang. Kepalanya menoleh ke segala arah, lalu ia berlari kecil ke salah satu tempat. Marissa yang begitu panik dengan kedatangan Kevin, hingga ia tidak memperhatikan arah jalannya dan menabrak seseorang tanpa sengaja.
“O, Oh! M-Maafkan saya, Tuan.” Gadis itu meminta maaf ketika pria di hadapannya menoleh kepadanya.
“S-Saya, anu. Aduh, maafkan saya ….” Marissa gugup, ia bingung dengan sendirinya.
“D-Deniz ….?” kata Marissa menatap pria kharismatik di hadapannya.
“Marissa? Apakah kamu, Marissa Sawyer?” tanya Deniz dengan memicingkan kedua kelopak matanya.
“Marissa, kembali kau!” teriak Kevin dari kejauhan.
Ia yang merasa tidak bisa kabur lagi dari kejaran Kevin, menatap cepat pada Deniz dengan perasaan takut. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengajukan sebuah penawaran.
“Deniz, m-maafkan aku sudah berbuat lancang padamu. Tapi tolonglah aku satu kali ini saja. Tidak ada waktu untuk menjelaskannya saat ini," kalimat itu terucap bersamaan saat Marissa mencuri pandang ke arah lain.
“M-Maukah kamu menikah denganku ….?”
PRANG ….!
Sebuah gelas berisi minuman beralkohol yang dipegang oleh salah satu rekan pria tersebut jatuh ke bawah lantai. Semua pasang mata yang berada di sekitarnya langsung tertuju pada mereka.
"M-Maafkan aku, aduh …." posisi Marissa saat ini sedang mengangkat wajahnya, ia menatap pria itu dengan penuh harap.
Hening beberapa saat. Namun tak berselang lama, bola mata pria itu mengarah ke tempat lain. Marissa pun ikut menoleh, ia melihat Kevin berlari kecil ke arahnya.
“Marissa ….” Kevin berhenti beberapa meter dari tempat Marissa berdiri. Terlihat ia menormalkan kembali napasnya yang terengah-engah sambil berkacak pinggang.
Tanpa sengaja Marissa merapatkan tubuhnya pada pria asing itu. Tangannya mencengkeram sisi kerah jas pria tersebut karena merasa cemas.
“Imbalan apa yang akan aku dapatkan, jika aku setuju dengan tawaran yang kamu ajukan kepadaku?” Deniz menarik senyuman manisnya.
“Apapun, apapun yang kamu mau. Asal kamu bersedia menjadi suamiku hari ini juga.” Jawab Marissa tanpa berpikir panjang.
“Baiklah! Kita akan menikah, Nona Marissa.”
“Apa ….?!” suara saling bersahutan itu terdengar memenuhi ruangan.
Marissa beralih menatap pria itu kembali dengan bola mata yang membulat—lucu.
“Apa kamu gila, Marissa?” Kevin mencoba meminta penjelasan pada, Marissa. Gadis itu melihat ke arah Kevin tanpa mengatakan apapun. Ia diam dengan tatapan yang datar. Posisinya tetap sama, berdiri di hadapan Deniz yang baru saja dilamar agar bersedia menikah dengannya. Deniz Ansel Ghazy, pria berusia 28 tahun itu tidak menyangka bertemu kembali dengan teman masa lalunya—Marissa Sawyer. Ia melihat sosok Marissa yang tidak banyak berubah kecuali, semakin dewasa. “Tidak. Aku tidak gila, justru aku yang melihatmu seperti orang gila.” Sahut Marissa yang berpura-pura mengacuhkan pria itu. “Apa kamu mengenalnya?” tanya Deniz pada, Marissa. Gadis berpostur 165 centimeter tersebut menoleh, ia memanyunkan bibirnya sejenak. Marissa nampak berpikir, lalu dia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” jawab Marissa dengan santai. “Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi dari sini!” ajak Deniz sambil menyodorkan lengannya pada, Marissa. Pria itu berharap agar Marissa segera melingkarkan t
“Apa yang bisa diharapkan dari perawan tua sepertimu? Mendapatkan pria kaya raya dan hidup enak layaknya kisah Cinderella?” Kevin tertawa lepas saat mendengar penjelasan dari, Marissa. Gadis itu mundur satu jengkal ketika Kevin berusaha merangsek di hadapannya. Dengan perlahan Marissa menurunkan jari telunjuk, Kevin. “Apa kamu takut, Kevin?” sindir Marissa dengan senyuman mengejek. Kevin salah tingkah, bola matanya bergerak tak tentu arah. “T-Tidak! S-Siapa yang takut? A-Aku, takut padamu? Jangan konyol, Marissa!” Kevin mengelak, saat tuduhan Marissa tepat pada sasaran. Pria itu tertawa kecil untuk menutupi perasaan was-was yang tiba-tiba saja menyergapnya. “Ayolah, Marissa! Jangan buang-buang waktu dengan percuma! Bukankah aku telah memberikan pilihan terbaik untukmu?” kata Kevin yang mencoba untuk mengalihkan percakapan yang menurutnya tidak berarti. “Pilihan terbaik? Pilihan terbaik apa?!” dahi Marissa berkerut tanda tidak mengerti. “Aku akan menjamin hidupmu jika kamu menja
“Dasar gadis aneh! Aku sekarang suami kamu. Bisa tidak, bersikap manis sedikit saja?” Deniz menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tendangan maut, Marissa. Ia melirik ke sebelah, di mana gadis yang baru saja dinikahinya itu duduk dengan wajah cemberut. Benar saja, Marissa menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah yang tidak dapat Deniz deskripsikan. “Tapi kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan mengirim kamu sebagai jodohku?” ujar Marissa yang membuat pria itu melebarkan kelopak matanya. “T-Tunggu! Apa maksud dari ucapanmu itu, Nona?” Deniz tersinggung, ia meminta penjelasan dari, Marissa. “Ya itu lah. Seharusnya Tuhan tidak memilih kamu untuk menggantikan, Kevin.” Jawab Marissa dengan begitu polosnya. “Hei, Nona! Memangnya apa kekuranganku?” Deniz tidak terima, ia membuka kedua tangannya. Marissa menoleh, ia memindai sosok pria tersebut dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian Marissa mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran
“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?” Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.” Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya