“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?”
Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.
“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”
“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.”
Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”
Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.
“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana ayahku?” ujar Deniz yang kini memasang wajah cukup serius.
Malam mulai menyapa ketika mereka berdua sampai di kediaman, Ghazy. Semburat jingga di langit menandakan jika tugas matahari akan digantikan dengan bulan. Perputaran waktu hari ini terasa cukup lama bagi, Marissa. Terlalu banyak kejadian yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bahkan rencana untuk menikah 2 bulan kemudian, bisa-bisanya Tuhan mempercepat dengan mengabulkan pintanya hari ini juga.
“Ayahmu? Dia sudah menunggu di ruangan kerja.” Jawab nyonya Ghazy, atau lebih tepatnya ibu sambung dari Deniz.
Tanpa menunggu lebih lama, Deniz langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di sudut rumah super megah ini.
“Tunggu! Kamu tidak aku izinkan untuk masuk ke dalam. Tunggulah di situ! Jangan membuat onar sedikitpun! Mengerti, Nona?” Marissa pun menghentikan langkahnya saat ia hendak ikut mendampingi Deniz untuk bertemu dengan seseorang di dalam sana.
Deniz menoleh pada, Marissa. Ia mengangguk kecil ketika gadis itu menatapnya tanda tidak mengerti. “Tidak apa-apa. Tunggu aku di sini! Aku akan kembali secepatnya,”
“Tapi ….” Marissa yang merasakan ketidaknyamanan terlihat sedikit membantah, ia tidak mau ditinggalkan oleh Deniz sedetikpun.
“Sudah. Tidak apa-apa,” Deniz menepuk pelan punggung tangan, Marissa. Pria itu tidak akan membiarkan ibu sambungnya menyakiti Marissa meski secuil.
Marissa menoleh kembali ke arah, nyonya Ghazy. Wanita berlipstik maroon itu nampak mengedikkan bahunya, lalu membalas tatapan Marissa dengan bibir dimanyunkan.
‘Kenapa aku seperti terjebak dalam Deja Vu? Bukankah dia ….’ (Marissa bertanya-tanya dalam hatinya sendiri).
Ia memilih untuk duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan jendela besar. Sebuah jendela berukuran raksasa dengan kayu mahoni di tiap sisinya itu mengarah pada sebuah taman di samping rumah. Marissa menghela napas dengan cukup dalam, ada perasaan lega saat ia membuang rasa kesalnya. Tapi entah, rasa dongkol di dadanya itu kembali datang tanpa diundang.
“Dia memilihmu? Atau kamu yang menawarkan diri, Nona?” tiba-tiba saja nyonya Ghazy sudah berdiri di dekatnya.
Tangan wanita itu disilangkan di depan dada, sehingga terlihat begitu angkuh. Marissa menoleh ke sumber suara, ia melihat nyonya Ghazy menatapnya tak suka.
“Apa maksud Anda, Nyonya?” Marissa berdiri dari tempat duduknya, bola matanya menatap lekat pada wanita yang mengenakan dress bermotif polkadot tersebut.
“Masih kurang jelaskah apa yang aku katakan padamu? Atau kamu berpura-pura bodoh di hadapanku?” ujar nyonya Ghazy memancing emosi Marissa yang tertahan sedari awal.
“Anda berpikir jika saya adalah seorang pelac*r?” Marissa menebak isi kepala wanita itu.
Nyonya Ghazy terlihat begitu senang saat Marissa mengatakan sesuatu yang sedari tadi ingin didengarnya. Wanita berusia 50 tahun, tapi tetap terlihat cantik itupun tertawa kecil.
“Aku tidak mengatakan hal memalukan itu. Kamu sendiri yang sudah mengakuinya bukan?” nyonya Ghazy memperoloknya secara terang-terangan.
“Siapapun pasti tidak akan menolak pesona, Deniz. Seorang pewaris keluarga Ghazy yang kaya raya meski hartanya dimakan oleh 7 turunan sekalipun.”
Perlahan Marissa menunjukkan perasaan terkejut saat wanita itu menjelaskan posisi Deniz saat ini. Ia tidak menyangka jika Deniz yang dulu disangka miskin karena masuk sekolah ternama lewat jalur beasiswa, ternyata adalah seorang miliarder.
“Kenapa bengong begitu? Memangnya kamu tidak tahu siapa dia? Heh, Nona! Kamu dipungut Deniz dari mana? Dari selokan? Masa kamu tidak tahu dengan siapa kamu pergi sekarang?” nyonya Ghazy terus saja memojokkan Marissa hingga gadis itu hilang kesabarannya.
“Nih orang, kalau nggak dikasih pelajaran makin ngelunjak.” Gumam Marissa dengan mengepalkan tangannya. Emosi yang ditahan sedari tadi tidak bisa dibendung lagi.
“Apa? Kamu tidak terima dengan apa yang aku katakan?” tantang nyonya Ghazy yang terus mendesak sisi lain dari, Marissa.
Napasnya yang tertahan membuat dada Marissa terlihat naik turun tidak beraturan. Habis sudah kesabaran gadis itu, ia tidak memperdulikan pesan Deniz yang menginginkan dirinya menjadi gadis manis untuk sementara waktu.
PLAK ….!
Tamparan itu dilayangkan pada, nyonya Ghazy. Wanita paruh baya itu melebarkan kelopak matanya sambil memegang sebelah pipi yang terasa panas. Marissa berdiri dengan menaikkan posisi dagunya untuk membalas tantangan dari, nyonya Ghazy.
“K-Kau! Beraninya kamu, dasar perempuan murahan!” nyonya Ghazy mengarahkan jari telunjuknya pada Marissa setelah ia berhasil berdiri tegak kembali.
Wajah nyonya Ghazy hampir terpelanting ke samping saat tamparan Marissa mendarat tepat pada pipinya. Tatapan nyalang itu terlihat sangat menakutkan, namun tidak menyurutkan Marissa untuk tetap membela harga dirinya.
“Anda yang memulainya, bukan saya. Saya hanya tidak suka mulut pedas Anda itu berbicara tidak sopan pada saya.” Jawab Marissa tanpa takut sedikitpun.
“Oh, ya? Kalau kamu tidak merasa, kenapa harus tersinggung? Memang benar kan, jika kamu itu perempuan murahan.” Nyonya Ghazy terus saja menyahut, ia tidak mau mengalah sama sekali.
“Sial! Mulutnya benar-benar mau disumpal dengan sepatu,” gerutu Marissa yang sudah mulai geram.
“Hei! Apa-apaan kamu, hah! Dasar gadis gila! Berani-beraninya kamu sama saya.” Wanita itu tidak menyangka, jika Marissa telah melepas salah satu flat shoes yang ia kenakan.
Marissa maju tanpa ragu, ia menjejalkan sepatu miliknya ke dalam mulut nyonya Ghazy. Gadis itu terus saja memasukkan ujung sepatunya tanpa jeda, sehingga nyonya Ghazy terlihat kewalahan dan kehabisan udara yang bersih.
“T-Tolong! T-Tolong ….!” teriak nyonya Ghazy yang terdengar seperti lolongan anjing.
Semakin nyonya Ghazy memberontak, semakin membuat keberanian Marissa tertantang untuk memberi efek jera pada wanita itu. Ia sudah tidak tahan dengan semua ocehan wanita yang nyatanya sekarang menjadi ibu mertuanya tersebut. Bahkan Marissa kini tengah menjambak rambut wanita itu, sehingga merusak sanggul yang sempat disombongkan padanya. Pergulatan itu kini berpindah ke bawah lantai, dengan posisi nyonya Ghazy yang tertindih oleh tubuh Marissa. Tamparan, jambakan serta cakaran tak luput dilayangkan Marissa secara bertubi-tubi.
“Aaa, tolong ….!” kini hanya kalimat permintaan tolong yang bisa keluar dari mulut, nyonya Ghazy.
“Berteriaklah yang kencang! Hanya segini kemampuanmu? Dasar wanita tua bangka!” Marissa tidak melepaskan jambakan pada rambut wanita itu. Ia tidak peduli, meski dari sudut bibir nyonya Ghazy sudah meneteskan cairan kental berwarna merah.
“Tunggu! Hentikan! Apa-apaan ini, Marissa?”
Saat tangan kanan Marissa meraih sepatunya dan hendak memukulkan pada wajah, nyonya Ghazy. Tiba-tiba terdengar suara Deniz dari arah belakang tubuhnya.
‘Mati aku,’ (ujar Marissa dalam hati).
Posisinya yang tidak berubah, ia genggam erat sepatunya di tangan kanan yang masih terangkat. Marissa menengok ke arah belakang, gadis berpenampilan acak-acakan itu melihat ada dua sosok lelaki di sana dengan rentang usia yang berbeda.
“D-Deniz, ….” kata Marissa dengan bibir yang meringis, setelah ia menelan salivanya yang begitu alot.
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
“Deniz, ah! Hentikan ….” napasnya terengah-engah. Marissa tidak diberi kesempatan untuk bergerak sedikitpun. Kimono yang semula menutup rapat tubuhnya, kini telah terlepas entah ke mana. “Oh, shit ….!” umpat Marissa saat melihat sebagian tubuhnya sudah terpampang nyata di hadapan suaminya.“Yakin mau menghentikan kenikmatan ini, Nona?” bisik Deniz setelah berhasil mengaduk-aduk perasaan Marissa.Entah sejak kapan kedua anak manusia itu sudah berada di atas kasur yang empuk. Kepala pria itu kembali merangsek pada dua aset berharga milik, Marissa. Sementara tangannya yang nakal meremas dengan gemas.“D-Deniz, Ahhh ….” desahan itu kembali menghiasi ruangan. Berganti dengan adu napas yang berderu layaknya pelari marathon.Deniz memberinya jeda sejenak, ia melihat Marissa kelabakan dengan aksinya. Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibir, lalu menarik diri dari hadapan Marissa. “T-Tapi kenapa ….?” Marissa berusaha menstabilkan diri. Ia melihat Deniz perlahan menjauh darinya setela
“Selamat pagi, Nona. Oh, maaf! Sepertinya hari sudah beranjak siang, Maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Anda.” Seorang pelayan membuka kain gorden yang menutupi jendela tepat berada di sampingnya. Gadis berambut coklat keemasan itu membuka kelopak matanya yang terasa masih berat. Ia melihat bayangan seseorang tengah mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak seberapa luas tersebut.“Jam berapa sekarang?” tanya Marissa dengan memicingkan kelopak matanya. Rupanya ia tertidur di kursi sofa semalam suntuk. Kejadian kemarin serta perdebatannya dengan Deniz, membuat tubuh dan otaknya benar-benar lelah. Marissa menggeliat, ia merenggangkan ototnya yang terasa kaku.Pelayan tersebut menghentikan langkahnya, ia pun berdiri di hadapan Marissa dengan tegap. Perempuan berusia kisaran 45 tahun tersebut melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, lalu mengangkat wajahnya kembali.“Tepat jam 11 siang, Nona!” jawab pelayan tersebut tanpa basa-basi.Marissa langsung berdi
"Makan dulu!" Deniz mengangsurkan satu sendok berisi sup hangat pada, Marissa."Aku bukan anak kecil, Deniz. Aku bisa makan sendiri." Marissa sedikit menjauhkan wajahnya untuk menghindari suapan dari pria itu. Ah, ralat! Pria yang sudah menjadi suaminya dalam waktu semalam.“Bagaimana mau makan, jika tanganmu terlalu sibuk dengan layar ponsel?” sindir Deniz yang meletakkan sendok tersebut ke dalam mangkuk.Tidak ada sahutan dari arah, Marissa. Gadis itu tetap menunduk sambil membalas pesan pada seseorang.“Aku menyempatkan pulang dan kamu lebih sibuk dengan ponselmu? Lagi chat sama siapa sih?” Deniz memperhatikan dengan wajah tak suka. Apalagi Marissa terkesan acuh dengan kehadirannya saat ini.“Aku harus ke kantor,” tiba-tiba Marissa beranjak dari tempat duduknya.“Apa?! Jangan gila!” cegah Deniz yang kini ikut berdiri sebelum istrinya benar-benar nekat pergi.Marissa berjalan menuju meja rias. Ia merapikan rambutnya, kemudian mengikat dengan sebuah karet. Gadis itu memagut dirinya d
BRAK!Marissa menggebrak meja dengan cukup keras. Ia melemparkan beberapa lembar pas photo yang didapatnya dari sang suami—Deniz.“Apa maksud kalian sebenarnya, hah? Bukankah kamu sudah menerima banyak uang dari suamiku? Kenapa kalian masih berada di sini? Ini kantorku, kalian tidak punya hak di sini.” Marissa yang merasa tidak terima memberondong Kevin dengan beberapa pertanyaan. Ia butuh penjelasan lebih detail, kenapa Kevin dan Joanna menduduki kursi dalam perusahaan miliknya.Kedua orang itu menatapnya tanpa rasa takut. Bahkan Kevin dengan santainya menopangkan kedua telapak tangannya di dagu. Sementara itu Joanna, adik angkatnya itu berdiri dengan manja di samping kursi yang diduduki oleh Kevin.“Hai, Marissa. Senang bertemu denganmu kembali. Selamat atas pernikahanmu, maaf kami tidak bisa memberi sambutan yang baik.” Joanna mengulas senyuman, sebuah senyuman yang penuh kemunafikan.“Duduk dulu! Baru datang, kenapa harus marah-marah?” sambung Kevin dengan paras tanpa bersalah sed
"Seberapa kaya dirimu, Mas?" tanya Marissa saat keduanya tengah menikmati semilir angin di teras balkon bungalow. Pemandangan laut telah menyihir mereka untuk tetap berlama-lama di waktu menjelang siang hari. Matahari bersinar cukup terik, tapi tidak mengusik ketenangan mereka sedikitpun. Bahkan sekarang keduanya tengah menikmati segelas jus nanas untuk Marissa dan segelas wine untuk, Deniz. Deniz memanyunkan bibirnya ketika mendengar pertanyaan dari, Marissa. "Sangat kaya," jawabnya kemudian menyesap minumannya dengan penuh perasaan. "Sebesar apa? Kenapa keluarga Ghazy bisa masuk ke jajaran pengusaha sukses di rate 10 orang terkaya di dunia?" Marissa penasaran, ia ingin mendapatkan satu kisah tentang keluarga Ghazy dari mulut suaminya sendiri. "Kamu tidak akan bisa menghitungnya, apalagi dengan jari-jari lentik itu." Deniz menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas yang ada di hadapannya. Marissa mengarahkan bola matanya ke samping dengan bibir dilipat k
Kaki jenjang sehalus susu itu berlari kencang menghampiri ombak yang menggulung di bibir pantai. Saat kaki indahnya basah karena sapuan air laut, Marissa tergelak senang. Tawanya begitu lebar hingga kelopak matanya hanya terlihat bagaikan garis melengkung.Deniz tersenyum tipis saat melihat perempuan cantik yang sedang menari dan berputar lincah itu sedang melambaikan tangan ke arahnya. Deniz membalasnya, hingga menampilkan deretan gigi putih rapi miliknya. Ia memilih untuk menikmati panorama senja dengan siluet Marissa yang menawan di hamparan pasir putih, bahagia; itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.Setelah memuaskan diri dengan hanya menatap presensi Marissa di tepi laut, Deniz yang mengenakan setelan casual pun menggulung celananya hingga batas betis dan berniat untuk ikut bergabung dengan istrinya. Sepertinya berlarian di atas pasir dan mengejar perempuan menawan di depannya dengan sebuah godaan adalah hal yang sangat menyenangkan saat ini, hin
“Really?” Marissa masih mematung di tempat, bola matanya hampir lepas dengan decak kagum menjadi-jadi.“Kamu belum pernah naik pesawat?” tanya Deniz saat langkah kakinya berhenti tepat di samping, Marissa.Marissa menoleh cepat, ia dengan wajahnya yang tercengang namun bagi Deniz apa yang dilihatnya sungguh menggemaskan. “Ini jet pribadi, Mas.” Jawabnya sangat antusias.“Iya, terus?” Deniz memiringkan kepalanya, nampak dua alisnya saling bertautan.“Kalau naik pesawat di bandara-bandara gitu sih udah biasa, Mas. Marissa kan belum pernah ngerasain naik pesawat pribadi model begini, apalagi ini adalah milik suaminya aku.” Gestur wajahnya berubah-ubah saat menjelaskan, kadang kelopaknya memicing serius, lalu berubah menjadi datar kemudian tergelak senang.Deniz menikmati pemandangan di hadapannya seperti sebuah mukjizat, baginya Marissa bukan hanya sebagai obat dalam hidupnya, namun perempuan itu adalah anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya. “Milik aku itu juga milik kamu, Sayang
"Jangan telat minum obat, Deniz! Apalagi sengaja untuk lupa," canda dokter Sunny. "Tenang saja Dok, kan sudah ada alarm original buat ingetin aku." Jawab Deniz dengan senyum simpulnya. "Alarm original?" ulang dokter Sunny sambil mengernyitkan keningnya. Deniz melirik Marissa yang duduk di sebelahnya, "Ini alarm original ku, Dok." Senggol Deniz pada lengan istrinya yang sejak datang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara. "Idih, apaan sih?" ujar Marissa malu-malu. "Tapi ada benarnya lho, sejak kalian kembali rujuk, aura Deniz berubah menjadi semacam lampu mercusuar yang menerangi lautan lepas." Kata dokter Sunny dengan antusias. "Jokes Anda sungguh terlalu Dokter, segala lampu mercusuar dibawa-bawa ...." Deniz tergelak. "Aku tidak bohong, Deniz. Kamu sebelum kembali dengannya, jangankan rutin melakukan fisioterapi ataupun medical check up. Untuk obat pun kamu sengaja tidak mau menebusnya, padahal dari segi finansial seorang CEO perusahaan manufaktur terbesar di dunia,
Satu bulan berlalu, sejak masa fisioterapi yang dilakukan Deniz di London kala itu. Kini Deniz aktif melakukan olahraga rutin seperti jogging ringan untuk membantu mempercepat proses pemulihannya. Semua perubahan drastis itu tidak lepas dari peran Marissa yang menyiapkan makanan sehat untuk menyeimbangkan asupan yang masuk ke dalam tubuh, Deniz. "Mas, diminum dulu jusnya." Marissa membawakan satu gelas jus jeruk segar setelah Deniz datang dengan keringat penuh membasah hampir di seluruh tubuhnya. "Makasih Sayang," lalu Deniz menghabiskan jus jeruk di tangannya seperti onta yang sedang berada di tengah gurun Sahara. "Hm ...." jawab Marissa bergumam, tentu saja di bibir berpoles warna pink nude itu tidak lepas menarik garis senyuman. "Oh ya, Mas mau sarapan apa? Aku masakin bentar ya, setelah ini Mas mandi dulu. Kita ada janji lho sama dokter Sunny, aku tidak ingin Mas terlambat untuk itu." Lanjut Marissa yang hendak pergi ke arah dapur. "Eeeh .... tunggu dulu, mau ke mana Sa
Genap 3 Minggu mereka menghabiskan waktu di London, Inggris. Marissa dengan sabarnya mendampingi Deniz dalam segi pengobatan dan juga kesembuhan mentalnya. Seperti hari ini di mana Marissa menghabiskan waktu setengah harinya melatih Deniz untuk berjalan meskipun masih dengan bantuan tongkat penyangga. Merasa lelah setelah berputar di taman rumah sakit, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke dalam ruangan. Tak putus kata semangat Marissa lontarkan, "Bagus Mas, ya, terus .... pelan-pelan, kalau capek kita bisa berhenti dulu." Marissa memegang pinggang Deniz dengan erat, sementara tangan kiri suaminya dilingkarkan pada bahunya agar mereka bisa berjalan secara beriringan. "Kalimat kamu itu, bisa diralat nggak sih?" sahut Deniz dengan napas sedikit tersengal karena menahan nyeri di bagian sendinya. "Kalimat aku? Bagian yang mananya, Mas?" tanya Marissa dengan dua alis menukik tajam. "Kalau kalimat itu terucap lagi dari bibir kamu, bisa-bisa orang menyangka kalau kamu itu lagi a
Marissa masih terjaga saat jarum jam di dinding menunjukkan angka 11 malam. Ia melihat Deniz sudah tertidur pulas sejak kepulangan mereka 4 jam yang lalu. Marissa membuka kacamata minusnya, lalu meletakkan ke samping lembaran dokumen yang baru saja ia pelajari, Marissa harus memenuhi konsekuensinya untuk membantu mengembalikan data perusahaan milik suaminya. seperti yang diketahui sebelumnya data perusahaan yang Deniz pimpin telah bocor, akibat beberapa akses perusahaan manufaktur yang dipegang terakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dipijatnya pangkal hidung yang terasa nyeri, "Kenapa tingkat keamanannya tidak berlapis? Padahal perusahaan ini begitu besar. Selama ini mereka fokus ngerjain apa aja sih? Bisa-bisanya data investor, kolega serta pemilik saham bisa kecolongan seperti ini." Monolog Marissa dengan helaan napas berat. Langkah kakinya menuntun Marissa menuju dapur apartemen, ia membuka satu botol Tequila dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. Otaknya harus ri
Di kursi belakang, Marissa merebahkan bobot tubuh Deniz di atas kursi penumpang. Ia meminta agar Sam memberi mereka waktu sebentar. Berbekal beberapa lembar uang yang diberikan Marissa, Sam pun memilih untuk menunggu dua anak manusia yang tengah terbakar gelora itu di sebuah Coffee Shop. Menyesap kopinya dengan penuh hati-hati, Sam hanya bisa bergumam kala melihat SUV berwarna hitam di tepi parkir tengah bergoyang secara perlahan. Bibirnya berjengit menarik senyuman, lalu menggeleng kecil saat memikirkan apa yang telah terjadi di dalam sana. Kepulan asap yang keluar dari arah pods yang dihembuskan oleh Sam membuat perasaannya sedikit lega. Hingga tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda mereka yang ada di dalam mobil akan menyerah. "Harap maklum, Sam. Mereka sudah menahannya cukup lama ...." monolog Sam pada dirinya sendiri. Dan suara geram tertahan itu berkali-kali lolos dari mulut Deniz saat Marissa mencari kepuasan di bawah sana. Dengan posisinya yang mendominasi di
"Sakit, Sayang ...." Peluh Deniz menetes dari keningnya, ia menahan bobot tubuhnya di tiang penyangga yang terdapat di kedua sisi tangannya. Hampir saja menyerah ketika dirinya sudah terlalu nyaman duduk di kursi roda. Penyakit tidak percaya dirinya muncul begitu saja saat dua kakinya tidak lagi mampu berpijak dengan tepat di atas lantai. "Ada aku, Mas. Jangan menyerah!" bisik Marissa sambil mengangkat sebelah tangan suaminya dan meletakkan di bahu agar Deniz tidak terjatuh. Deniz menggeleng lemah, deru napasnya tidak teratur. "Mas duduk dulu, istirahat lah! Aku ambil minum sebentar, Mas." Marissa pergi ke sudut ruang setelah mendudukkan Deniz di sebuah sofa untuk mengambil satu botol air mineral. "Jangan dipaksa, pelan-pelan saja Nyonya Sawyer." Ucap salah satu perawat yang menghampirinya. Marissa menoleh, ia terlihat sangat tegang. "Oh, i-iya." Kata Marissa sambil mengangguk ragu. "Butuh waktu, Nyonya harus bersabar saat mendampingi tuan Ghazy." Sambung perawat di ha