“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?”
Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.
“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”
“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.”
Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”
Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.
“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana ayahku?” ujar Deniz yang kini memasang wajah cukup serius.
Malam mulai menyapa ketika mereka berdua sampai di kediaman, Ghazy. Semburat jingga di langit menandakan jika tugas matahari akan digantikan dengan bulan. Perputaran waktu hari ini terasa cukup lama bagi, Marissa. Terlalu banyak kejadian yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bahkan rencana untuk menikah 2 bulan kemudian, bisa-bisanya Tuhan mempercepat dengan mengabulkan pintanya hari ini juga.
“Ayahmu? Dia sudah menunggu di ruangan kerja.” Jawab nyonya Ghazy, atau lebih tepatnya ibu sambung dari Deniz.
Tanpa menunggu lebih lama, Deniz langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di sudut rumah super megah ini.
“Tunggu! Kamu tidak aku izinkan untuk masuk ke dalam. Tunggulah di situ! Jangan membuat onar sedikitpun! Mengerti, Nona?” Marissa pun menghentikan langkahnya saat ia hendak ikut mendampingi Deniz untuk bertemu dengan seseorang di dalam sana.
Deniz menoleh pada, Marissa. Ia mengangguk kecil ketika gadis itu menatapnya tanda tidak mengerti. “Tidak apa-apa. Tunggu aku di sini! Aku akan kembali secepatnya,”
“Tapi ….” Marissa yang merasakan ketidaknyamanan terlihat sedikit membantah, ia tidak mau ditinggalkan oleh Deniz sedetikpun.
“Sudah. Tidak apa-apa,” Deniz menepuk pelan punggung tangan, Marissa. Pria itu tidak akan membiarkan ibu sambungnya menyakiti Marissa meski secuil.
Marissa menoleh kembali ke arah, nyonya Ghazy. Wanita berlipstik maroon itu nampak mengedikkan bahunya, lalu membalas tatapan Marissa dengan bibir dimanyunkan.
‘Kenapa aku seperti terjebak dalam Deja Vu? Bukankah dia ….’ (Marissa bertanya-tanya dalam hatinya sendiri).
Ia memilih untuk duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan jendela besar. Sebuah jendela berukuran raksasa dengan kayu mahoni di tiap sisinya itu mengarah pada sebuah taman di samping rumah. Marissa menghela napas dengan cukup dalam, ada perasaan lega saat ia membuang rasa kesalnya. Tapi entah, rasa dongkol di dadanya itu kembali datang tanpa diundang.
“Dia memilihmu? Atau kamu yang menawarkan diri, Nona?” tiba-tiba saja nyonya Ghazy sudah berdiri di dekatnya.
Tangan wanita itu disilangkan di depan dada, sehingga terlihat begitu angkuh. Marissa menoleh ke sumber suara, ia melihat nyonya Ghazy menatapnya tak suka.
“Apa maksud Anda, Nyonya?” Marissa berdiri dari tempat duduknya, bola matanya menatap lekat pada wanita yang mengenakan dress bermotif polkadot tersebut.
“Masih kurang jelaskah apa yang aku katakan padamu? Atau kamu berpura-pura bodoh di hadapanku?” ujar nyonya Ghazy memancing emosi Marissa yang tertahan sedari awal.
“Anda berpikir jika saya adalah seorang pelac*r?” Marissa menebak isi kepala wanita itu.
Nyonya Ghazy terlihat begitu senang saat Marissa mengatakan sesuatu yang sedari tadi ingin didengarnya. Wanita berusia 50 tahun, tapi tetap terlihat cantik itupun tertawa kecil.
“Aku tidak mengatakan hal memalukan itu. Kamu sendiri yang sudah mengakuinya bukan?” nyonya Ghazy memperoloknya secara terang-terangan.
“Siapapun pasti tidak akan menolak pesona, Deniz. Seorang pewaris keluarga Ghazy yang kaya raya meski hartanya dimakan oleh 7 turunan sekalipun.”
Perlahan Marissa menunjukkan perasaan terkejut saat wanita itu menjelaskan posisi Deniz saat ini. Ia tidak menyangka jika Deniz yang dulu disangka miskin karena masuk sekolah ternama lewat jalur beasiswa, ternyata adalah seorang miliarder.
“Kenapa bengong begitu? Memangnya kamu tidak tahu siapa dia? Heh, Nona! Kamu dipungut Deniz dari mana? Dari selokan? Masa kamu tidak tahu dengan siapa kamu pergi sekarang?” nyonya Ghazy terus saja memojokkan Marissa hingga gadis itu hilang kesabarannya.
“Nih orang, kalau nggak dikasih pelajaran makin ngelunjak.” Gumam Marissa dengan mengepalkan tangannya. Emosi yang ditahan sedari tadi tidak bisa dibendung lagi.
“Apa? Kamu tidak terima dengan apa yang aku katakan?” tantang nyonya Ghazy yang terus mendesak sisi lain dari, Marissa.
Napasnya yang tertahan membuat dada Marissa terlihat naik turun tidak beraturan. Habis sudah kesabaran gadis itu, ia tidak memperdulikan pesan Deniz yang menginginkan dirinya menjadi gadis manis untuk sementara waktu.
PLAK ….!
Tamparan itu dilayangkan pada, nyonya Ghazy. Wanita paruh baya itu melebarkan kelopak matanya sambil memegang sebelah pipi yang terasa panas. Marissa berdiri dengan menaikkan posisi dagunya untuk membalas tantangan dari, nyonya Ghazy.
“K-Kau! Beraninya kamu, dasar perempuan murahan!” nyonya Ghazy mengarahkan jari telunjuknya pada Marissa setelah ia berhasil berdiri tegak kembali.
Wajah nyonya Ghazy hampir terpelanting ke samping saat tamparan Marissa mendarat tepat pada pipinya. Tatapan nyalang itu terlihat sangat menakutkan, namun tidak menyurutkan Marissa untuk tetap membela harga dirinya.
“Anda yang memulainya, bukan saya. Saya hanya tidak suka mulut pedas Anda itu berbicara tidak sopan pada saya.” Jawab Marissa tanpa takut sedikitpun.
“Oh, ya? Kalau kamu tidak merasa, kenapa harus tersinggung? Memang benar kan, jika kamu itu perempuan murahan.” Nyonya Ghazy terus saja menyahut, ia tidak mau mengalah sama sekali.
“Sial! Mulutnya benar-benar mau disumpal dengan sepatu,” gerutu Marissa yang sudah mulai geram.
“Hei! Apa-apaan kamu, hah! Dasar gadis gila! Berani-beraninya kamu sama saya.” Wanita itu tidak menyangka, jika Marissa telah melepas salah satu flat shoes yang ia kenakan.
Marissa maju tanpa ragu, ia menjejalkan sepatu miliknya ke dalam mulut nyonya Ghazy. Gadis itu terus saja memasukkan ujung sepatunya tanpa jeda, sehingga nyonya Ghazy terlihat kewalahan dan kehabisan udara yang bersih.
“T-Tolong! T-Tolong ….!” teriak nyonya Ghazy yang terdengar seperti lolongan anjing.
Semakin nyonya Ghazy memberontak, semakin membuat keberanian Marissa tertantang untuk memberi efek jera pada wanita itu. Ia sudah tidak tahan dengan semua ocehan wanita yang nyatanya sekarang menjadi ibu mertuanya tersebut. Bahkan Marissa kini tengah menjambak rambut wanita itu, sehingga merusak sanggul yang sempat disombongkan padanya. Pergulatan itu kini berpindah ke bawah lantai, dengan posisi nyonya Ghazy yang tertindih oleh tubuh Marissa. Tamparan, jambakan serta cakaran tak luput dilayangkan Marissa secara bertubi-tubi.
“Aaa, tolong ….!” kini hanya kalimat permintaan tolong yang bisa keluar dari mulut, nyonya Ghazy.
“Berteriaklah yang kencang! Hanya segini kemampuanmu? Dasar wanita tua bangka!” Marissa tidak melepaskan jambakan pada rambut wanita itu. Ia tidak peduli, meski dari sudut bibir nyonya Ghazy sudah meneteskan cairan kental berwarna merah.
“Tunggu! Hentikan! Apa-apaan ini, Marissa?”
Saat tangan kanan Marissa meraih sepatunya dan hendak memukulkan pada wajah, nyonya Ghazy. Tiba-tiba terdengar suara Deniz dari arah belakang tubuhnya.
‘Mati aku,’ (ujar Marissa dalam hati).
Posisinya yang tidak berubah, ia genggam erat sepatunya di tangan kanan yang masih terangkat. Marissa menengok ke arah belakang, gadis berpenampilan acak-acakan itu melihat ada dua sosok lelaki di sana dengan rentang usia yang berbeda.
“D-Deniz, ….” kata Marissa dengan bibir yang meringis, setelah ia menelan salivanya yang begitu alot.
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
“Deniz, ah! Hentikan ….” napasnya terengah-engah. Marissa tidak diberi kesempatan untuk bergerak sedikitpun. Kimono yang semula menutup rapat tubuhnya, kini telah terlepas entah ke mana. “Oh, shit ….!” umpat Marissa saat melihat sebagian tubuhnya sudah terpampang nyata di hadapan suaminya.“Yakin mau menghentikan kenikmatan ini, Nona?” bisik Deniz setelah berhasil mengaduk-aduk perasaan Marissa.Entah sejak kapan kedua anak manusia itu sudah berada di atas kasur yang empuk. Kepala pria itu kembali merangsek pada dua aset berharga milik, Marissa. Sementara tangannya yang nakal meremas dengan gemas.“D-Deniz, Ahhh ….” desahan itu kembali menghiasi ruangan. Berganti dengan adu napas yang berderu layaknya pelari marathon.Deniz memberinya jeda sejenak, ia melihat Marissa kelabakan dengan aksinya. Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibir, lalu menarik diri dari hadapan Marissa. “T-Tapi kenapa ….?” Marissa berusaha menstabilkan diri. Ia melihat Deniz perlahan menjauh darinya setela
“Selamat pagi, Nona. Oh, maaf! Sepertinya hari sudah beranjak siang, Maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Anda.” Seorang pelayan membuka kain gorden yang menutupi jendela tepat berada di sampingnya. Gadis berambut coklat keemasan itu membuka kelopak matanya yang terasa masih berat. Ia melihat bayangan seseorang tengah mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak seberapa luas tersebut.“Jam berapa sekarang?” tanya Marissa dengan memicingkan kelopak matanya. Rupanya ia tertidur di kursi sofa semalam suntuk. Kejadian kemarin serta perdebatannya dengan Deniz, membuat tubuh dan otaknya benar-benar lelah. Marissa menggeliat, ia merenggangkan ototnya yang terasa kaku.Pelayan tersebut menghentikan langkahnya, ia pun berdiri di hadapan Marissa dengan tegap. Perempuan berusia kisaran 45 tahun tersebut melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, lalu mengangkat wajahnya kembali.“Tepat jam 11 siang, Nona!” jawab pelayan tersebut tanpa basa-basi.Marissa langsung berdi
"Makan dulu!" Deniz mengangsurkan satu sendok berisi sup hangat pada, Marissa."Aku bukan anak kecil, Deniz. Aku bisa makan sendiri." Marissa sedikit menjauhkan wajahnya untuk menghindari suapan dari pria itu. Ah, ralat! Pria yang sudah menjadi suaminya dalam waktu semalam.“Bagaimana mau makan, jika tanganmu terlalu sibuk dengan layar ponsel?” sindir Deniz yang meletakkan sendok tersebut ke dalam mangkuk.Tidak ada sahutan dari arah, Marissa. Gadis itu tetap menunduk sambil membalas pesan pada seseorang.“Aku menyempatkan pulang dan kamu lebih sibuk dengan ponselmu? Lagi chat sama siapa sih?” Deniz memperhatikan dengan wajah tak suka. Apalagi Marissa terkesan acuh dengan kehadirannya saat ini.“Aku harus ke kantor,” tiba-tiba Marissa beranjak dari tempat duduknya.“Apa?! Jangan gila!” cegah Deniz yang kini ikut berdiri sebelum istrinya benar-benar nekat pergi.Marissa berjalan menuju meja rias. Ia merapikan rambutnya, kemudian mengikat dengan sebuah karet. Gadis itu memagut dirinya d
BRAK!Marissa menggebrak meja dengan cukup keras. Ia melemparkan beberapa lembar pas photo yang didapatnya dari sang suami—Deniz.“Apa maksud kalian sebenarnya, hah? Bukankah kamu sudah menerima banyak uang dari suamiku? Kenapa kalian masih berada di sini? Ini kantorku, kalian tidak punya hak di sini.” Marissa yang merasa tidak terima memberondong Kevin dengan beberapa pertanyaan. Ia butuh penjelasan lebih detail, kenapa Kevin dan Joanna menduduki kursi dalam perusahaan miliknya.Kedua orang itu menatapnya tanpa rasa takut. Bahkan Kevin dengan santainya menopangkan kedua telapak tangannya di dagu. Sementara itu Joanna, adik angkatnya itu berdiri dengan manja di samping kursi yang diduduki oleh Kevin.“Hai, Marissa. Senang bertemu denganmu kembali. Selamat atas pernikahanmu, maaf kami tidak bisa memberi sambutan yang baik.” Joanna mengulas senyuman, sebuah senyuman yang penuh kemunafikan.“Duduk dulu! Baru datang, kenapa harus marah-marah?” sambung Kevin dengan paras tanpa bersalah sed
Kenapa tangan Marissa begitu gemetar saat ia menerima setumpuk berkas yang diberikan oleh Sam — bodyguard mantan suaminya. “Kau bercanda, Sam?” Marissa mengangkat wajahnya setelah ia mematung sekian detik. “Tidak. Mana ada bercanda dalam kasus yang saya tangani Nona,” jawabnya sambil menopangkan kedua tangannya di ujung meja. Sam menatap Marissa dengan tajam, ia tahu jika perempuan itu belum siap dengan gebrakan baru yang dirancang olehnya bersama Deniz. “Aku tidak bisa menerimanya,” sahut Marissa dengan cepat. Ia meletakkan kembali beberapa map yang baru saja dibacanya dengan kasar. Kali ini sasaran kemarahannya ditujukan pada meja kerja Deniz yang dinilainya sebagai meja terkutuk. “…. Nona sudah di sini tidak bisa mundur lagi,” ujar Sam tidak memindahkan pandangannya. “Lho, kok maksa sih? Aku bisa menolak ‘kan? Lagian, imbalan sebesar ini pasti kerjasama yang ditawarkan oleh tuanmu juga nggak main-main resikonya, iya ‘kan?” Marissa membalas tatapan Sam dengan memicingkan kedu
Kenyataannya sampai sore menyapa, Marissa tidak meninggalkan tempat duduknya. Ia masih di posisi yang sama saat pria itu dibaringkan pada tempat tidur berukuran large. “Huft ….” Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia memainkan jemarinya yang terasa semakin dingin di suhu ruang normal. Marissa berusaha untuk bersikap tenang, meski bola matanya tidak lepas memindai jarum infus dan alat perekam detak jantung sedari tadi. Satu jam yang lalu ….“Dia akan baik-baik saja, percayalah ….” ucap dokter Sunny sambil menepuk pelan bahunya. Dokter keluarga tersebut seakan ingin membesarkan hati Marissa yang saat ini tak ubahnya sedang terjun payung tak tentu arah. “Sejak saat itu, kesehatan tuan muda Deniz semakin memburuk.”Marissa menunduk dalam-dalam, ia menghela napas agar perasaan yang membuat dadanya begitu sesak hilang sudah.“Apa tidak ada alternatif lain agar suami oh maaf, agar tuan Deniz bisa pulih kembali?” Yang ada dadanya semakin sesak dengan realita yang a
“Silahkan masuk, Nona.” Sam membuka pintu sebuah ruangan, ia mempersilahkan Marissa masuk ke dalamnya. Perempuan berpostur semampai tersebut terlihat begitu tegang. Selama dalam perjalanan ia menerka-nerka seperti bermain dalam sebuah teka-teki. Kira-kira apa yang telah membuat dua orang kepercayaan keluarga Ghazy tersebut datang menemuinya kembali setelah sekian lama menghilang. Marissa masuk ke dalam ruangan dengan pandangan lurus ke depan. Tidak ada senyuman di bibirnya, hanya suara hak sepatunya yang menggema di sepanjang lorong. Tepat di menit ke lima, ia berhenti di depan seseorang yang tengah duduk di kursi sofa yang cukup mewah. Sepertinya pria di hadapannya ingin sekali menyapa, ‘Hai, apa kabar?’Tapi situasi tidak mendukungnya menjadi pejantan tangguh seperti dulu, bahkan nyalinya berubah menciut setelah melihat kondisi Marissa jauh lebih baik setelah bercerai dengannya. Satu kata yang pantas ditujukan pada sosok Deniz saat ini, menyedihkan! “Kamu tidak bertanya keadaan
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. Lal
“Tidakkk ….!” Teriakan itu terdengar sangat pilu. Marissa bersimpuh di bawah lantai dengan posisi memeluk dirinya sendiri setelah ia histeris beberapa saat.“Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Sambung dokter Andrew yang telah mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan nyawa Elizabeth selama 5 tahun ini.Marissa mengira, jika suster memanggilnya karena operasi pencangkokan yang dijalani oleh putri dan mantan suaminya telah selesai. Tanpa disangka, dokter Andrew membawa berita yang membuat semangat yang tersisa pada dirinya telah luluh lantak saat itu juga.“M-Marissa,” suara Ruth terdengar bergetar.Ia meraih tubuh Marissa dengan segera, tapi rasa kecewa yang telah menyelimuti hatinya membuat Ruth terpaksa ikut bersimpuh di sampingnya. Sementara itu, dokter Andrew pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dokter paruh baya tersebut membiarkan Ruth dan Marissa meraung di dalam ruangan kerjanya. Ia merasa bersalah karena upaya yang dilakukannya sejauh ini berakhir dengan
“Menjauhlah dariku!” bentak Marissa saat ia mengangkat kaki kanannya.“Aduh!” Deniz memekik, kedua tangannya memegang bagian pangkal paha. Rupanya tendangan Marissa tepat mengenai sasaran dan membuat pria itu menjauh.“Jaga sikapmu, Deniz. Keluar dari ruangan ini dan biarkan aku mengenakan bajuku,” usir Marissa dengan tegas.“Tapi kemarin kamu,” “Apa? Kemarin ya kemarin, kalau sekarang— tidak!” mata Marissa melotot saat menjawab pertanyaan dari mantan suaminya tersebut.“Kenapa jual mahal begitu?” gerutu Deniz sambil mendesis menahan rasa sakit.“Cukup, Deniz! Kemarin adalah kesalahan, jangan harap kamu mendapatkannya kembali.” Ujar Marissa dengan tampang marah.“Sudah berapa pria yang kamu layani?” akhirnya pria itu bisa berdiri dengan tegap, ia menatap Marissa dengan wajah cukup sengit.Plak!Tamparan keras dari Marissa melayang tepat di pipi kiri Deniz. Wajah pria yang tidak siap dengan tindakan Marissa tersebut sedikit bergeser ke arah kanan. “Kau sudah tahu jika aku melakukan i
“Kalian memang berjodoh,” cibir Ruth setelah melihat Marissa datang bersama Deniz. “Si*alan kamu,” umpat Marissa dengan lirikan pedas. Ruth tersenyum tipis, ia berdiri di sisi tembok sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kenyataannya seperti itu, jangan marah. Kalian memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” sambung Ruth yang masih saja menggoda Marissa.“Hanya kebetulan bertemu, jangan berekspektasi terlalu tinggi.” Marissa mengelak.“Masih saja kamu berbohong, Marissa.” Ruth menggeleng pelan.“Tentang apa? Jangan mengada-ada,” Marissa menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi, perjalanan sepanjang hari ini membuat dirinya benar-benar letih.“Kamu masih mencintainya bukan?” Ruth sedikit memajukan wajahnya sambil mengedipkan sebelah mata.Pluk,Marissa melempar kotak tisu yang ada di atas meja, untung saja Ruth bisa menghindar. Perempuan berambut cepak tersebut tertawa puas karena berhasil menggoda sahabatnya.“Joshua meninggal,” tampak jelas jika Marissa begitu
“T-Tes DNA? A-Apa maksudnya ini?” “Lebih tepatnya, yang ada di hadapanmu saat ini adalah— hasil tes DNA.” Bruk, Dokumen yang ada dalam genggaman Marissa pun terjatuh begitu saja. Mendadak kakinya tidak bisa berdiri dengan sempurna, sehingga Marissa sedikit limbung dan hampir saja terjatuh. ***Marissa tidak berani mengangkat wajahnya, ia memilih untuk menghindari kontak mata dengan Deniz yang saat ini ingin menelannya hidup-hidup. “Gadis kecil yang ada di rumah sakit itu adalah putriku bukan?” jari telunjuk Deniz diarahkan dengan asal ke belakang dengan mimik muka yang serius. “Kenapa kamu menyembunyikannya dariku, Marissa?” lanjut Deniz yang mau tidak mau harus menginterogasi Marissa tentang keberadaan Eliza di tengah-tengah mereka. “A-Aku,” lidahnya benar-benar kaku, Marissa bingung hendak memulai jawaban dari mana. “5 tahun Marissa, dan kamu …. Argh ….!” Deniz sedikit menjauh dari Marissa yang mematung, ia mengacak rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan perasaan kesalnya