“Apa yang bisa diharapkan dari perawan tua sepertimu? Mendapatkan pria kaya raya dan hidup enak layaknya kisah Cinderella?” Kevin tertawa lepas saat mendengar penjelasan dari, Marissa.
Gadis itu mundur satu jengkal ketika Kevin berusaha merangsek di hadapannya. Dengan perlahan Marissa menurunkan jari telunjuk, Kevin.
“Apa kamu takut, Kevin?” sindir Marissa dengan senyuman mengejek.
Kevin salah tingkah, bola matanya bergerak tak tentu arah. “T-Tidak! S-Siapa yang takut? A-Aku, takut padamu? Jangan konyol, Marissa!”
Kevin mengelak, saat tuduhan Marissa tepat pada sasaran. Pria itu tertawa kecil untuk menutupi perasaan was-was yang tiba-tiba saja menyergapnya.
“Ayolah, Marissa! Jangan buang-buang waktu dengan percuma! Bukankah aku telah memberikan pilihan terbaik untukmu?” kata Kevin yang mencoba untuk mengalihkan percakapan yang menurutnya tidak berarti.
“Pilihan terbaik? Pilihan terbaik apa?!” dahi Marissa berkerut tanda tidak mengerti.
“Aku akan menjamin hidupmu jika kamu menjadi istriku. Perusahaan konstruksi yang kini sedang kamu jalankan, aku tidak akan mengusiknya. Terserah! Mau kamu apakan aku tidak akan ikut campur. Begitu pula dengan kesejahteraan keluargamu, aku akan tanggung semua itu. Bagaimana? Apa ada yang kurang? Apa yang kamu inginkan, aku akan mengabulkannya. Kurang baik apa aku padamu, hah?”
Kevin merentangkan kedua tangannya. Ia merasa jadi super hero, hingga apa yang dijanjikan Kevin saat ini membuat Marissa ingin muntah di hadapan mereka.
“Ck, dasar! Mana mungkin aku percaya dengan semua bualan itu? Sudah cukup aku menjadi gadis bodoh di mata kalian,” mulut Marissa mencebik ketika mendengar penjelasan dari, Kevin. Gadis yang mengenakan setelan overall berbahan jeans tersebut sudah tidak percaya dengan semua kalimat yang diucapkan oleh pria itu.
“Kenapa? Apa kamu meragukan semua ucapanku, Marissa? Aku tidak akan mangkir dari semua rencana kita dulu. Kamu tahu jika aku adalah ….”
“Ya! Hanya perempuan gila yang masih sudi menerima kehadiranmu setelah melihat dengan mata kepala sendiri jika kalian ….” Marissa menelan salivanya, ia menghentikan kalimatnya sejenak.
“Sudahlah! Aku akan mendapatkan penggantimu secepatnya. Kamu harus bersiap untuk mundur. Atau ….” Marissa menggantung kalimatnya setelah menyela ucapan, Kevin.
“Atau apa ….?” tanya Kevin yang nyatanya memang takut kehilangan, Marissa.
“Kamu bisa menikah dengan, Joanna. Seharusnya dia yang kamu nikahi, bukan aku. Toh kalian sudah main enak-enakan, kan?”
“Kau ….!” Joanna menunjuk Marissa dengan tatapan yang sengit.
“Santai, Jo! Jangan jadi gadis pemarah!” sahut Marissa tanpa memberinya jeda.
“Tahukah kamu, Joanna? Saat pertama kali kakimu menginjak di lantai rumah kami. Sore itu, paman Mike memohon padaku untuk menerimamu sebagai adikku. Aku sangat senang ketika mendengar jika kamu akan menjadi saudaraku. Aku memelukmu setelah hampir saja bersujud di kaki paman.” Pandangan Marissa menunduk dengan tatapan yang kosong. Ia meremas ujung dress overall yang dikenakan untuk menahan perasaannya yang sedang kacau.
Perubahan ekspresi Marissa membuat Joanna sedikit salah tingkah. Ia mengalihkan perhatiannya ke tempat lain dengan raut yang datar. Mungkin saat ini dalam hati Joanna sedang mengumpat, karena hampir saja membuat semua orang di dalam ruangan tersentuh dengan kalimat yang diucapkan oleh, Marissa.
“Kalian, bukankah seharusnya membelaku? Kenapa kalian seolah membenarkan perbuatan, Joanna? Apalagi kalian berhutang cukup besar tanpa sepengetahuanku. Tahukah kalian, Ma ….” Marissa mengangkat wajahnya dan menatap nyonya Sawyer dengan bola mata yang sendu.
“Mati-matian aku mempertahankan perusahaan konstruksi itu. Jatuh bangun aku membangkitkan kembali saham dan investor yang hampir saja gulung tikar. Meski aku tahu kalian tidak peduli seperti apa jatuh bangunnya perjuanganku waktu itu, tapi aku tetap berusaha. Dan setelah semuanya kembali terkendali, kalian mengejutkanku dengan kejadian seperti ini? Ya! Aku benar-benar terkejut dengan lelucon kalian.” Marissa terkekeh dengan bola mata yang berkaca-kaca. Ia melihat kedua orang tuanya, Joanna dan Kevin secara bergantian.
“Kevin memilihmu, tidak ada yang bisa merubah keputusan itu.” Tuan Sawyer menjawab singkat agar tidak memperpanjang perdebatan.
“Aku bukan barang. Aku punya hak untuk menentukan jalan hidupku sendiri,” bela Marissa pada dirinya sendiri.
“Bukankah aku telah memudahkan hubungan kalian?” lanjut Marissa sambil melihat ke arah, Joanna.
“Marissa ….!” kali ini Kevin yang berteriak, membuat Marissa harus memalingkan wajahnya. Ia merasa lengkingan suara Kevin kali ini memekakkan telinga, hingga membuat gema di dalam ruangan.
“Jangan berteriak seperti itu! Hobi banget sih marah-marah nggak jelas. Telingaku tidak tuli lho,” Marissa tersenyum tipis, ia melirik sinis pada dua orang yang telah mengkhianatinya.
***
"Aku bersedia," Marissa terkesiap ketika sebaris kata terdengar begitu nyaring di telinganya. Kalimat pendek tersebut mampu membuyarkan lamunannya tentang sengketa kecil yang terjadi di tengah-tengah keluarganya siang tadi.
Kalimat yang terucap dari Deniz begitu fasih. Kini keduanya berhadapan di atas mimbar untuk mengucapkan janji suci, hingga Marissa terpaku saat Deniz meraih salah satu tangannya. Gadis itu membiarkan Deniz memasukkan cincin bertahta permata di jari manis lentiknya.
‘Bagaimana mungkin dia sudah mempersiapkan semua ini?’ (batin Marissa bertanya-tanya saat Deniz telah menyematkan cincin itu).
Hingga tanpa Marissa sadari, pria tersebut sudah mengecup keningnya dengan penuh rasa. Ia sedikit terkejut, buru-buru Marissa menormalkan kembali perasaan gugupnya.
“Kalian sudah sah menjadi suami istri,” suara itu membuat jantung Marissa seakan berhenti berdetak.
Ketika Marissa mengangkat wajahnya, ia disuguhkan dengan senyuman Deniz yang mengembang sempurna. Entah apa yang membuat Deniz terlihat begitu bahagia? Apakah pria itu tengah menertawakan Marissa yang terlihat linglung di hadapannya?
“Bolehkan saya membawa istri saya pulang?” Deniz menoleh pada lelaki yang berdiri di depan mereka.
“Silahkan! Gadis manis ini sudah sah menjadi milik Anda,” jawab lelaki berambut putih itu dengan senyuman yang tak kalah senangnya.
“Terima kasih banyak atas bantuannya.” Dengan sopannya Deniz menjabat erat tangan lelaki tersebut.
“Tuhan memberkati kalian berdua,” lelaki paruh baya yang berperan sebagai pendeta tersebut, mendoakan pasangan pengantin baru itu agar pernikahan mereka tetap langgeng.
Deniz kembali meraih tangan, Marissa. Gadis itu terlihat sangat syok dengan apa yang baru saja dialaminya. Tapi bukankah ini yang diinginkan oleh Marissa agar bisa pergi dari kehidupan Kevin dan keluarganya.
“Apa kamu menyesal sekarang, Nona Marissa?” tanya Deniz saat keduanya berjalan menuju pelataran gereja.
“Jangan memintaku untuk membelikan gaun pengantin atau buket bunga yang cantik untukmu! Aku tidak tahu ukuran tubuhmu, kecuali ….” Deniz berhenti tepat di depan pintu mobil.
Marissa menoleh dengan tatapan enggan ke arahnya. Gadis itu masih tidak percaya jika dirinya sudah menikah dengan teman lamanya—Deniz Ansel Ghazy.
“Kecuali aku bisa menyentuh pinggangmu dengan kedua tanganku ini,” kedua tangan Deniz sudah berada di depan mata Marissa dengan posisi hendak memeluk.
“Sialan! Dasar pria mesum,”
“Aduh! Hei, Marissa ….!”
Tanpa Deniz sangka, gadis itu telah mengarahkan tendangannya tepat di bagian sensitif. Sontak saja, Deniz memegang bagian yang sakit dengan raut wajah meringis menahan sesuatu.
“Dasar gadis aneh! Aku sekarang suami kamu. Bisa tidak, bersikap manis sedikit saja?” Deniz menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tendangan maut, Marissa. Ia melirik ke sebelah, di mana gadis yang baru saja dinikahinya itu duduk dengan wajah cemberut. Benar saja, Marissa menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah yang tidak dapat Deniz deskripsikan. “Tapi kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan mengirim kamu sebagai jodohku?” ujar Marissa yang membuat pria itu melebarkan kelopak matanya. “T-Tunggu! Apa maksud dari ucapanmu itu, Nona?” Deniz tersinggung, ia meminta penjelasan dari, Marissa. “Ya itu lah. Seharusnya Tuhan tidak memilih kamu untuk menggantikan, Kevin.” Jawab Marissa dengan begitu polosnya. “Hei, Nona! Memangnya apa kekuranganku?” Deniz tidak terima, ia membuka kedua tangannya. Marissa menoleh, ia memindai sosok pria tersebut dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian Marissa mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran
“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?” Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.” Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
“Deniz, ah! Hentikan ….” napasnya terengah-engah. Marissa tidak diberi kesempatan untuk bergerak sedikitpun. Kimono yang semula menutup rapat tubuhnya, kini telah terlepas entah ke mana. “Oh, shit ….!” umpat Marissa saat melihat sebagian tubuhnya sudah terpampang nyata di hadapan suaminya.“Yakin mau menghentikan kenikmatan ini, Nona?” bisik Deniz setelah berhasil mengaduk-aduk perasaan Marissa.Entah sejak kapan kedua anak manusia itu sudah berada di atas kasur yang empuk. Kepala pria itu kembali merangsek pada dua aset berharga milik, Marissa. Sementara tangannya yang nakal meremas dengan gemas.“D-Deniz, Ahhh ….” desahan itu kembali menghiasi ruangan. Berganti dengan adu napas yang berderu layaknya pelari marathon.Deniz memberinya jeda sejenak, ia melihat Marissa kelabakan dengan aksinya. Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibir, lalu menarik diri dari hadapan Marissa. “T-Tapi kenapa ….?” Marissa berusaha menstabilkan diri. Ia melihat Deniz perlahan menjauh darinya setela
“Selamat pagi, Nona. Oh, maaf! Sepertinya hari sudah beranjak siang, Maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Anda.” Seorang pelayan membuka kain gorden yang menutupi jendela tepat berada di sampingnya. Gadis berambut coklat keemasan itu membuka kelopak matanya yang terasa masih berat. Ia melihat bayangan seseorang tengah mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak seberapa luas tersebut.“Jam berapa sekarang?” tanya Marissa dengan memicingkan kelopak matanya. Rupanya ia tertidur di kursi sofa semalam suntuk. Kejadian kemarin serta perdebatannya dengan Deniz, membuat tubuh dan otaknya benar-benar lelah. Marissa menggeliat, ia merenggangkan ototnya yang terasa kaku.Pelayan tersebut menghentikan langkahnya, ia pun berdiri di hadapan Marissa dengan tegap. Perempuan berusia kisaran 45 tahun tersebut melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, lalu mengangkat wajahnya kembali.“Tepat jam 11 siang, Nona!” jawab pelayan tersebut tanpa basa-basi.Marissa langsung berdi
"Seberapa kaya dirimu, Mas?" tanya Marissa saat keduanya tengah menikmati semilir angin di teras balkon bungalow. Pemandangan laut telah menyihir mereka untuk tetap berlama-lama di waktu menjelang siang hari. Matahari bersinar cukup terik, tapi tidak mengusik ketenangan mereka sedikitpun. Bahkan sekarang keduanya tengah menikmati segelas jus nanas untuk Marissa dan segelas wine untuk, Deniz. Deniz memanyunkan bibirnya ketika mendengar pertanyaan dari, Marissa. "Sangat kaya," jawabnya kemudian menyesap minumannya dengan penuh perasaan. "Sebesar apa? Kenapa keluarga Ghazy bisa masuk ke jajaran pengusaha sukses di rate 10 orang terkaya di dunia?" Marissa penasaran, ia ingin mendapatkan satu kisah tentang keluarga Ghazy dari mulut suaminya sendiri. "Kamu tidak akan bisa menghitungnya, apalagi dengan jari-jari lentik itu." Deniz menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke laut lepas yang ada di hadapannya. Marissa mengarahkan bola matanya ke samping dengan bibir dilipat k
Kaki jenjang sehalus susu itu berlari kencang menghampiri ombak yang menggulung di bibir pantai. Saat kaki indahnya basah karena sapuan air laut, Marissa tergelak senang. Tawanya begitu lebar hingga kelopak matanya hanya terlihat bagaikan garis melengkung.Deniz tersenyum tipis saat melihat perempuan cantik yang sedang menari dan berputar lincah itu sedang melambaikan tangan ke arahnya. Deniz membalasnya, hingga menampilkan deretan gigi putih rapi miliknya. Ia memilih untuk menikmati panorama senja dengan siluet Marissa yang menawan di hamparan pasir putih, bahagia; itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.Setelah memuaskan diri dengan hanya menatap presensi Marissa di tepi laut, Deniz yang mengenakan setelan casual pun menggulung celananya hingga batas betis dan berniat untuk ikut bergabung dengan istrinya. Sepertinya berlarian di atas pasir dan mengejar perempuan menawan di depannya dengan sebuah godaan adalah hal yang sangat menyenangkan saat ini, hin
“Really?” Marissa masih mematung di tempat, bola matanya hampir lepas dengan decak kagum menjadi-jadi.“Kamu belum pernah naik pesawat?” tanya Deniz saat langkah kakinya berhenti tepat di samping, Marissa.Marissa menoleh cepat, ia dengan wajahnya yang tercengang namun bagi Deniz apa yang dilihatnya sungguh menggemaskan. “Ini jet pribadi, Mas.” Jawabnya sangat antusias.“Iya, terus?” Deniz memiringkan kepalanya, nampak dua alisnya saling bertautan.“Kalau naik pesawat di bandara-bandara gitu sih udah biasa, Mas. Marissa kan belum pernah ngerasain naik pesawat pribadi model begini, apalagi ini adalah milik suaminya aku.” Gestur wajahnya berubah-ubah saat menjelaskan, kadang kelopaknya memicing serius, lalu berubah menjadi datar kemudian tergelak senang.Deniz menikmati pemandangan di hadapannya seperti sebuah mukjizat, baginya Marissa bukan hanya sebagai obat dalam hidupnya, namun perempuan itu adalah anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya. “Milik aku itu juga milik kamu, Sayang
"Jangan telat minum obat, Deniz! Apalagi sengaja untuk lupa," canda dokter Sunny. "Tenang saja Dok, kan sudah ada alarm original buat ingetin aku." Jawab Deniz dengan senyum simpulnya. "Alarm original?" ulang dokter Sunny sambil mengernyitkan keningnya. Deniz melirik Marissa yang duduk di sebelahnya, "Ini alarm original ku, Dok." Senggol Deniz pada lengan istrinya yang sejak datang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara. "Idih, apaan sih?" ujar Marissa malu-malu. "Tapi ada benarnya lho, sejak kalian kembali rujuk, aura Deniz berubah menjadi semacam lampu mercusuar yang menerangi lautan lepas." Kata dokter Sunny dengan antusias. "Jokes Anda sungguh terlalu Dokter, segala lampu mercusuar dibawa-bawa ...." Deniz tergelak. "Aku tidak bohong, Deniz. Kamu sebelum kembali dengannya, jangankan rutin melakukan fisioterapi ataupun medical check up. Untuk obat pun kamu sengaja tidak mau menebusnya, padahal dari segi finansial seorang CEO perusahaan manufaktur terbesar di dunia,
Satu bulan berlalu, sejak masa fisioterapi yang dilakukan Deniz di London kala itu. Kini Deniz aktif melakukan olahraga rutin seperti jogging ringan untuk membantu mempercepat proses pemulihannya. Semua perubahan drastis itu tidak lepas dari peran Marissa yang menyiapkan makanan sehat untuk menyeimbangkan asupan yang masuk ke dalam tubuh, Deniz. "Mas, diminum dulu jusnya." Marissa membawakan satu gelas jus jeruk segar setelah Deniz datang dengan keringat penuh membasah hampir di seluruh tubuhnya. "Makasih Sayang," lalu Deniz menghabiskan jus jeruk di tangannya seperti onta yang sedang berada di tengah gurun Sahara. "Hm ...." jawab Marissa bergumam, tentu saja di bibir berpoles warna pink nude itu tidak lepas menarik garis senyuman. "Oh ya, Mas mau sarapan apa? Aku masakin bentar ya, setelah ini Mas mandi dulu. Kita ada janji lho sama dokter Sunny, aku tidak ingin Mas terlambat untuk itu." Lanjut Marissa yang hendak pergi ke arah dapur. "Eeeh .... tunggu dulu, mau ke mana Sa
Genap 3 Minggu mereka menghabiskan waktu di London, Inggris. Marissa dengan sabarnya mendampingi Deniz dalam segi pengobatan dan juga kesembuhan mentalnya. Seperti hari ini di mana Marissa menghabiskan waktu setengah harinya melatih Deniz untuk berjalan meskipun masih dengan bantuan tongkat penyangga. Merasa lelah setelah berputar di taman rumah sakit, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke dalam ruangan. Tak putus kata semangat Marissa lontarkan, "Bagus Mas, ya, terus .... pelan-pelan, kalau capek kita bisa berhenti dulu." Marissa memegang pinggang Deniz dengan erat, sementara tangan kiri suaminya dilingkarkan pada bahunya agar mereka bisa berjalan secara beriringan. "Kalimat kamu itu, bisa diralat nggak sih?" sahut Deniz dengan napas sedikit tersengal karena menahan nyeri di bagian sendinya. "Kalimat aku? Bagian yang mananya, Mas?" tanya Marissa dengan dua alis menukik tajam. "Kalau kalimat itu terucap lagi dari bibir kamu, bisa-bisa orang menyangka kalau kamu itu lagi a
Marissa masih terjaga saat jarum jam di dinding menunjukkan angka 11 malam. Ia melihat Deniz sudah tertidur pulas sejak kepulangan mereka 4 jam yang lalu. Marissa membuka kacamata minusnya, lalu meletakkan ke samping lembaran dokumen yang baru saja ia pelajari, Marissa harus memenuhi konsekuensinya untuk membantu mengembalikan data perusahaan milik suaminya. seperti yang diketahui sebelumnya data perusahaan yang Deniz pimpin telah bocor, akibat beberapa akses perusahaan manufaktur yang dipegang terakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dipijatnya pangkal hidung yang terasa nyeri, "Kenapa tingkat keamanannya tidak berlapis? Padahal perusahaan ini begitu besar. Selama ini mereka fokus ngerjain apa aja sih? Bisa-bisanya data investor, kolega serta pemilik saham bisa kecolongan seperti ini." Monolog Marissa dengan helaan napas berat. Langkah kakinya menuntun Marissa menuju dapur apartemen, ia membuka satu botol Tequila dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. Otaknya harus ri
Di kursi belakang, Marissa merebahkan bobot tubuh Deniz di atas kursi penumpang. Ia meminta agar Sam memberi mereka waktu sebentar. Berbekal beberapa lembar uang yang diberikan Marissa, Sam pun memilih untuk menunggu dua anak manusia yang tengah terbakar gelora itu di sebuah Coffee Shop. Menyesap kopinya dengan penuh hati-hati, Sam hanya bisa bergumam kala melihat SUV berwarna hitam di tepi parkir tengah bergoyang secara perlahan. Bibirnya berjengit menarik senyuman, lalu menggeleng kecil saat memikirkan apa yang telah terjadi di dalam sana. Kepulan asap yang keluar dari arah pods yang dihembuskan oleh Sam membuat perasaannya sedikit lega. Hingga tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda mereka yang ada di dalam mobil akan menyerah. "Harap maklum, Sam. Mereka sudah menahannya cukup lama ...." monolog Sam pada dirinya sendiri. Dan suara geram tertahan itu berkali-kali lolos dari mulut Deniz saat Marissa mencari kepuasan di bawah sana. Dengan posisinya yang mendominasi di
"Sakit, Sayang ...." Peluh Deniz menetes dari keningnya, ia menahan bobot tubuhnya di tiang penyangga yang terdapat di kedua sisi tangannya. Hampir saja menyerah ketika dirinya sudah terlalu nyaman duduk di kursi roda. Penyakit tidak percaya dirinya muncul begitu saja saat dua kakinya tidak lagi mampu berpijak dengan tepat di atas lantai. "Ada aku, Mas. Jangan menyerah!" bisik Marissa sambil mengangkat sebelah tangan suaminya dan meletakkan di bahu agar Deniz tidak terjatuh. Deniz menggeleng lemah, deru napasnya tidak teratur. "Mas duduk dulu, istirahat lah! Aku ambil minum sebentar, Mas." Marissa pergi ke sudut ruang setelah mendudukkan Deniz di sebuah sofa untuk mengambil satu botol air mineral. "Jangan dipaksa, pelan-pelan saja Nyonya Sawyer." Ucap salah satu perawat yang menghampirinya. Marissa menoleh, ia terlihat sangat tegang. "Oh, i-iya." Kata Marissa sambil mengangguk ragu. "Butuh waktu, Nyonya harus bersabar saat mendampingi tuan Ghazy." Sambung perawat di ha