Setiap wanita memiliki impian pernikahan dan rumah tangganya. Membangun dengan rasa saling mencinta. Menghabiskan sisa hidup bersama dengan membesarkan buah cinta dengan bahagia, tetapi ... bagaimana dengan Hara? Ia juga wanita dengan impian yang sama. Namun, takdir memaksanya menikah dengan pria yang tak ia cinta. Harus menghadapi wanita yang dicintai suaminya, dan kejamnya ibu mertua. Apakah Hara mampu mempertahankan bahtera rumah tangga? Di sisi lain, pernikahan itu adalah permintaan terakhir sang ibu sebelum meninggal dunia.
Lihat lebih banyak"Apa? Ibu mau aku menikah dengannya?"
Pupil matanya membesar karena terkejut dan tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Bahkan ia tak habis pikir dengan permintaan aneh sang ibu yang tiba-tiba.
"Bu, aku sama dia beda tujuh belas tahun! Bagaimana kami bisa menikah? Terlebih aku sudah menganggapnya sebagai omku sendiri."
Suara keras terdengar ke seluruh ruangan.Marah, kecewa, dan sedih menjadi satu. Kamar rawat inap yang kecil itu menangkap suara yang keluar dari mulut mungilnya. Sementara lawan bicaranya hanya memejamkan mata, menikmati setiap kemarahan putrinya. Karena putrinya berhak merasa begitu.
Mencoba tidak terlihat lemah, sang ibu Kembali berkata, "apa salahnya? Dia baik untuk kamu. Dia dewasa, cocok untuk kamu yang masih kekanak-kanakan. Dia kaya, cocok untuk kita yang tidak memiliki apa-apa," ucap Mirna ketus.
Terdengar decakan sebal dari bibir mungil merah muda itu. "Usia kami berbeda jauh, Bu. Mana mungkin kami bisa menikah?"
"Memangnya kenapa usia kalian? Hanya berbeda tujuh belas tahun. Tidak ada yang salah."
Apa katanya? Hanya berbeda tujuh belas tahun dan itu tidak masalah? Oh, ayolah. Bahkan yang berbeda sepuluh tahun saja sudah bisa menjadi gunjingan tetangga. Apalagi ini. Sungguh ia tak mengerti pemikiran ibunya itu.
"Terserah pemikiran Ibu bagaimana. Yang jelas aku tidak akan menikah dengannya!"
Setelah mengucapkan itu. Ia segera keluar ruangan. Ia tak mau melampiaskan marahnya kepada sang ibu lebih banyak. Saat hendak ke luar, ia berpapasan dengan lelaki yang dimaksud sang ibu di pintu. Tatapannya tajam saat melihat pria itu menjenguk sang ibu.
Tanpa banyak kata, ia memilih langsung pergi. Sementara lelaki itu menatap punggung gadis dengan rambut yang dikuncir kuda menjauh. Ia bisa merasakan kekesalan gadis yang sudah ia kenal sejak sepuluh tahun lalu. Bukan hal sulit menebak apa yang dirasakan gadis kecil itu.
"Biarkan saja dia, Dhan. Gadis keras kepala itu butuh mendinginkan kepalanya."
Aradhana Dwisa Pradaya atau biasa dipanggil Ardhan oleh orang terdekatnya hanya diam dan mendekati Mirna. Ia menarik kursi di samping brankar.
"Tante gimana keadaannya? Udah mendingan?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Alih-alih menjawab soal keadaannya Mirna justru bertanya soal pernikahan putrinya. "Kamu serius mau menikahi Hara?"
Ardhan menghela napas. "Saya sudah mendengarnya tadi. Saya rasa tidak baik memaksakan pernikahan ini," ujarnya diakhiri helaan napas.
"Tante mohon sama kamu, Dhan. Tolong nikahi Hara. Tante gak tau lagi harus percayakan dia sama siapa. Hanya kamu satu-satunya harapan Tante."
Melihat wajah dengan bibir pucat, Ardhan tak tega. Sebenarnya ia sama sekali tak berminat menjadikan Hara sebagai istrinya karena sudah menganggapnya sebagai keponakan sendiri. Namun, mengingat umur Mirna yang tinggal sebentar lagi. Membuatnya harus menerima tanggungjawab itu.
"Tapi kalau Hara menolak, saya bisa apa, Tante?
Mirna hening sejenak. Ia tahu Ardhan bukan tipikal pria yang suka memaksakan kehendaknya. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia tak akan meninggal dengan tenang kalau Hara tak menikah dengan Ardhan.
***
"Ibu enggak mau tahu. Kamu harus segera menikah dengan Ardhan. Jadi, sekarang pulang dan siapkan berkas yang diperlukan." Mirna berucap tegas kali ini. Meski wajahnya masih terlihat pucat, tetapi ekspresinya benar-benar serius.
"Becandanya enggak lucu, Bu." Hara tertawa hambar di ujung kalimatnya. Ia muak dengan percakapan ini. Sejak awal masuk rumah sakit, sang ibu selalu membahasnya.
"Tante Mirna serius, Ra. Jika kamu setuju kita akan segera menikah."
Suara berat terdengar setelah pintu terbuka. Menyadari ada orang yang datang membuat Hara menengok dan memastikan suara yang ia dengar berasal dari orang yang dia kenal. Matanya bersitatap dengan pria yang tadi ia temui. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bahkan pria itu sekarang ada di hadapannya.
"Om sama Ibu kenapa, sih. Enggak lucu bercandanya," ujarnya kesal. Amarahnya kembali terpancing. Lagipula mana mungkin ia akan menikah di usia sekarang? Ia masih sangat muda dan masih ingin bebas tanpa beban mengurus rumah tangga.
Pria itu berjalan ke arahnya, dengan stelan jas dan sepatu hitam membuatnya terlihat rapi. Ia berdiri di belakang kursi yang sedang di dudukki gadis muda itu. "Pernikahan bukan bahan lelucon, Hara. Saya dan Ibu kamu sudah sepakat."
Gadis itu diam dan mendengarkan sembari menyuapi sang ibu. Ia tak mau menatap mata pria yang sudah ia anggap sebagai omnya sendiri. Sebenarnya ia tak mau merasa terintimidasi lagi, karena tatapan pria itu sangat mematikan untuknya.
"Yang sepakat kan, Om sama Ibu. Bukan aku!" ucapnya ketus dengan wajah kesal.
"Sebenarnya saya tak membutuhkan persetujuanmu. Karena Ibumu sudah memberikan restunya. Hanya saja saya tak mau menjadi pria jahat dengan tak mempertimbangkan jawaban yang kamu berikan. Kamu tahu sendiri saya pria seperti apa," ucap pria itu lagi.
Gadis itu masih diam. Ia membersihkan sudut bibir sang ibu yang ada sisa makanan dengan lembut. Lalu menaruh mangkuk bekas makanan di meja yang ada di sebelah ranjang pasien.
"Hara." Digenggamnya tangan putri kesayangannya itu. Ia menatap penuh harap. "Kamu tahu, kan Ibu bisa pergi kapan saja. Ibu tak ingin membiarkan kamu sendirian di dunia ini." Kali ini Mirna mencoba menggunakan cara yang lebih lembut. Karena berdebat tak akan membuahkan hasil. Jadi, menyentuh hatinya adalah cara yang mungkin ampuh.
Hara tak menatap mata sang ibu yang tengah menatapnya. Ia memilih memandang gorden rumah sakit sembari menahan matanya yang sudah berkaca-kaca. Ia tidak suka situasi sekarang. Ia benci dengan fakta bahwa ibunya tak akan bertahan lebih lama. Ia juga kesal. Mengapa pria itu menyetujui, harusnya ia menolak. Lagipula pria mana yang mau menikahi gadis muda cengeng yang keras kepala.
"Dengarkan Ibu, Sayang. Ibu mau kamu menikah dengan Om Ardhan. Ibu mengenalnya dengan baik. Dia akan menjaga dan menyayangimu. Dia tak akan membiarkanmu sendirian dan menderita. Ibu mohon, Hara."
Wajah dengan kerutan di beberapa tempat itu kini menitikan air mata. Ia tak kuasa menahannya. Namun, dengan cepat juga ia mengusapnya. Mirna tak mau menangis di depan putri kesayangannya. Dalam hatinya ia merasa bersalah karena menggunakan cara ini agar putrinya mau menuruti permintaannya.
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen