"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.
Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara.
Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat.
Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham.
Ardhan ingin kembali ke kamar, tetapi sering ponsel menghentikan tangannya yang akan membuka pintu kamar. Dari ekspresi wajahnya ia nampak tak nyaman mendapat telepon itu. Namun, ia tetap menjawab dan menjauh, ia memilih tempat sepi di kamar lainnya.
"Hal---." Belum sempat Ardhan menyelesaikan ucapannya, sosok di seberang sana sudah banyak bicara.
"Apa ini Ardhan? Apa benar kamu menikah dengan anak perempuan jalang itu? Jawab Mama Ardhan. Jangan diam saja!" ucapnya dengan emosi.
Ardhan menghela napas. "Iya."
"Iya apa? Kamu benar menikah dengannya? Apa yang kamu pikirkan! Mama tidak menerima pernikahan ini!"
Inilah alasan ia tak memberitahu keluarganya, meski papanya memberi restu. Ia sudah menduga sang mama tak akan mengizinkan, mengingat kesalahpahaman masa lalu yang pernah terjadi. Dan dugaannya sekarang benar.
"Saya sudah dewasa, Ma. Lagi pula selama ini Mama memaksa saya untuk menikah. Sekarang saya sudah menikah, harusnya Mama senang sekarang."
Terdengar teriakan kemarahan dari sebrang sana. Enggan menanggapi kemarahan lebih lama. Ardhan memutus telepon itu secara sepihak. Ia tahu mamanya pasti akan bertambah marah, tetapi ia sudah tiga puluh tujuh tahun, sudah sangat cukup memiliki kebebasan untuk memilih istri.
Masih dilingkupi emosi akibat telepon dari mamanya Ardha memejamkan mata dan mengepalkan tangan. Ia tahu rumah tangganya dengan Hara tak akan mudah. Namun, ia sudah berjanji untuk membahagiakan Hara, bagaimanapun ia akan selalu menjadi tameng dan pelindung bagi istrinya itu.
Ardhan hendak kembali ke kamar di mana Hara berada, tetapi belum sampai ia sudah melihat Hara yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rumahan. Terlihat pula wajahnya lebih baik meski sedikit pucat.
"Kamu mau ke mana? " Dalam pertanyaan Ardhan mengandung perasaan khawatir.
"Mau bantu ibu-ibu masak. Enggak enak kalau enggak bantu."
"Istirahat saja, wajahmu pucat, " titah Ardhan disambut penolakan Hara.
"Enggak. Aku mau bantu mereka. Enggak enak, masa iya sebagai tuan rumah aku enggak ngapa-ngapain. "
Hara berjalan meninggalkan Ardhan tanpa menunggu persetujuan. Ardhan membiarkan, lagipula yang dikatakan Hara ada benarnya. Jika Hara tidak membantu Ardhan takut akan ada gosip tak enak lagi yang mungkin akan sampai di telinganya.
Karena pernikahan yang begitu mendadak Ardhan sekarang bingung hendak berganti pakaian dengan apa. Sebab ia hanya memakai kemeja yang ia pakai sekarang.
Ardhan langsung menyuruh anak buahnya untuk mengantarkan pakaiannya. Ia sudah tak tahan mengenakan baju yang basah oleh keringat itu. Setelah menunggu beberapa lama, ia ke luar untuk mengambil pakaian yang dibawakan anak buahnya.
"Saya tidak akan masuk kantor beberapa hari ke depan. Saya juga tidak ingin diganggu. Jadi jangan menelepon sebelum saya telepon. Sampaikan juga hal ini pada sekretaris saya. Kamu boleh pergi."
***
Malam hari, di rumah Hara terdengar suara orang mengaji. Sekarang sedang dilaksanakan acara tahlilan untuk kepergian ibu Hara. Ardhan menjadi tuan rumah, ia yang bertanggungjawab atas rumah itu dan Hara. Ia sedang menemani bapak-bapak yang mengaji. Sementara Hara di dapur bersama ibu-ibu yang membantu memasak.
Selesai acara rumah itu kembali sepi. Hanya ada Hara dan Ardhan yang membereskan rumah. Awalnya Ardhan meminta Hara untuk beristirahat saja, tetapi ditolak dengan alasan tidak enak hati.
"Tidur saja, sudah malam. Biar saya yang menyelesaikan sisanya," ucap Ardhan saat melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
"Enggak. Ini bentar lagi juga selesai, nanggung," jawab Hara dan meneruskan menyapu bagian dapur.
Ardhan menghela napas. Ia kembali ke depan untuk mengecek pintu dan jendela apakah sudah ia kunci. Saat kembali ia masih melihat Hara di dapur memasukkan beberapa peralatan makan ke lemari di atas wastafel.
Karena postur tubuh yang pendek Hara kesusahan untuk menaruhnya. Dengan cekatan Ardhan mengambil alih peralatan makan yang ada di tangan Hara. Lalu ia juga mengambil peralatan makan lain yang ada di hadapan mereka.
Bila ada orang yang melihatnya akan berpikir Ardhan memeluk Hara dari belakang, padahal tidak. Posisi mereka sangat dekat, bahkan rambut Hara menyentuh pakaian Ardhan saat pria itu bergerak.
Hara yang bingung hanya diam mematung. Ia tak berniat untuk menoleh ataupun bergeser. Ardhan juga acuh, niatnya hanya ingin membantu Hara, tidak lebih.
"Kenapa aku deg-degan gini, sih. Sadar Hara, sadar," ucap Hara dalam hati. Entah mengapa ia merasakan perasaan aneh ini.
"Saya tidak memiliki niat lain." Ditatap tajam oleh Hara saat ia ikut masuk ke dalam kamar membuat Ardhan paham pemikiran istri kecilnya itu."Terus? Ngapain? Keluar sana. Aku mau tidur," ucap Hara mengusir Ardhan dari kamarnya.Ardhan terdiam sejenak. Lalu berucap, "saya tidur di mana?"Hara lupa bahwa hanya kamarnya yang bisa digunakan sekarang. Kamar almarhum ibunya tentunya cukup berdebu, sebab cukup lama ibunya di rumah sakit dan ia pun tak banyak waktu untuk membereskan rumah.Hanya ada tiga kamar di rumah Hara. Satu kamar di belakang dekat dapur digunakan untuk tempat penyimpanan. Satu kamar untuk almarhum ibunya dan satu kamar untuknya. Yang layak untuk dipakai tidur sekarang hanya kamarnya."Oke. Om bisa tidur di sini. Tapi jangan macam-macam. Awas aja kalau berani," ancam Hara dan membiarkan Ardhan tidur bersamanya.Ardhan berjalan dan duduk di tempat tidur. Saat itu Hara membawa pakaian dan hendak kel
"Kya ...."BugSuara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul."Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai."Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut."Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung."Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama.Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai."Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya.Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha
Netra cokelat gelap milik Ardhan tak henti-hentinya menatap Hara yang masih terlelap dalam tidurnya. Entah bagaimana sehingga posisi Hara sekarang berhadapan dengan Ardhan. Karena Hara lebih pendek daripada Ardhan. Ia tidur dengan bantal dada bidang Ardhan yang tengah terlentang. Kaki Hara menindih kaki Ardhan. Hara seperti sedang memeluk guling raksasa. Ardhan tak tahan untuk tidak mengulas senyum. Ia bahkan ingin tertawa membayangkan bagaimana reaksi Hara saat terbangun dan melihat posisi keduanya. Dari dekat, Ardhan bisa melihat jelas wajah istri kecilnya. Matanya terlihat sembab karena semalam menangis. Pandangannya turun dan berhenti pada bibir merah muda yang kemarin ia nikmati. 'Sadar Ardhan. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tidak boleh melakukannya,' ujarnya dalam hati memperingatkan nafsu yang mulai muncul. Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari bibir yang sekarang menjadi candu untuknya. Hara men
Ardhan dan Hara berjalan beriringan saat hendak masuk rumah. Setelah pintu terbuka, mulut Hara ikut terbuka. Bagian ruang tamu rumah itu tak kalah mewah. Tak hanya bagian luarnya yang indah, dalamnya tak kalah indah."Ayo ke kamarmu," ajak Ardhan dengan menggenggam tangan mungil Hara dan menariknya dengan lembut menuju lantai dua.Rumah itu cukup mewah dan pastinya mahal. Dilihat dari model, interior, dan eksteriornya. Bagian dalam rumah itu juga lebih di dominasi warna putih. Meski begitu, tak terlalu banyak barang juga. Hanya barang-barang penting.Hara kembali dibuat takjub oleh rumah itu. Kali ini kamarnya yang membuatnya ternganga. "I-ini kamar aku, Om? Serius?" Binar kebahagiaan terpancar dari mata kecilnya.Hara langsung masuk dan melihat lebih dalam. Kamar itu benar-benar luas dan indah. Perpaduan antara warna putih dan cokelat susu amat apik. Ada sofa, TV dengan layar besar, ranjang besar, dan ruangan luas.Ar
Kuku tajam Weni melukai pipi Hara. "Saya tidak akan tinggal diam. Saya akan memisahkan kamu dengan anak saya. Dan jangan harap kamu mendapat harta. Satu peserpun saya tidak akan memberikannya!" ujar Weni tepat di wajah Hara.Para pekerja tak ada yang berani melerai. Meski merasa kasihan, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Mereka takut oleh Weni.Jari-jari besar dengan warna kulit putih kecokelatan memegang tangan Weni dan melepaskan cengkramannya atas dagu Hara dengan kasar. "Cukup, Ma! Dia istri Ardhan. Seharusnya Mama tidak bersikap kasar seperti ini!"Tubuh Hara gemetar saat Ardhan memeluknya. Tangis Hara bahkan sudah tak bersuara. Suaranya tercekat karena ketakutan yang ia rasa."Berani kamu Ardhan sama Mama? Anak durhaka kamu!" geram Weni atas tingkah anaknya barusan. Karena selama ini Ardhan tak pernah sekasar itu padanya."Mama yang sudah keterlaluan. Sudah cukup selama ini Ardhan diam atas tingkah Mama terhadap keluar
Ardhan menghampiri Hara yang dibantu berdiri oleh pekerja di rumah mereka. "Kamu tidak apa-apa? Ayo ke kamar. Saya obati lukanya," ujar Ardhan dengan anda khawatir.Hara tersenyum, ia senang ada orang lain yang khawatir padanya selain keluarganya. "Aku enggak apa-apa, Om. Cuma kaget aja sama sikap Mama," jawab Hara dengan lembut seolah-olah ia baik-baik saja.Ardhan mengangguk mengerti. Lalu tangannya merangkul pundak Hara. Keduanya naik ke kamar Hara. Ardhan meminta pembantu untuk membawakan es dan kain yang akan digunakan untuk mengompres pipi Hara yang terlihat memar akibat tamparan Weni.Ardhan menyuruh Hara duduk di sofa yang ada di kamar. Sementara itu ia jongkok di depannya. "Duduk dulu, Hara." Ardhan mengambil napas panjang sebelum berbicara lagi."Saya ingin minta maaf soal kelakukan Mama saya. Saya merasa bersalah, karena Mama pipi kamu memar seperti ini." Ardhan mengatakannya dengan membelai pipi Hara yang terlihat bekas
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R