Maaf lama update. InsyaAllah akan rutin update meski satu bab :)
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
"Apa? Ibu mau aku menikah dengannya?" Pupil matanya membesar karena terkejut dan tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Bahkan ia tak habis pikir dengan permintaan aneh sang ibu yang tiba-tiba."Bu, aku sama dia beda tujuh belas tahun! Bagaimana kami bisa menikah? Terlebih aku sudah menganggapnya sebagai omku sendiri."Suara keras terdengar ke seluruh ruangan.Marah, kecewa, dan sedih menjadi satu. Kamar rawat inap yang kecil itu menangkap suara yang keluar dari mulut mungilnya. Sementara lawan bicaranya hanya memejamkan mata, menikmati setiap kemarahan putrinya. Karena putrinya berhak merasa begitu.Mencoba tidak terlihat lemah, sang ibu Kembali berkata, "apa salahnya? Dia baik untuk kamu. Dia dewasa, cocok untuk kamu yang masih kekanak-kanakan. Dia kaya, cocok untuk kita yang tidak memiliki apa-apa," ucap Mirna ketus. Terdengar decakan sebal dari bibir mungil merah muda itu. "Usia kami berbeda jauh, Bu. Mana mungkin kami bisa menikah?""Memangnya kenapa usia kalian? Hanya
Selesai mengucapkan hal itu, Hara tak sanggup menahan air matanya untuk tak tumpah. Kekesalahan tadi sinar, berganti dengan kesediyan. Dia memanglah gadis cengeng. Dengan kepekaan tingkat tinggi Ardhan langsung mengusap air mata itu. Hara masih memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat ibunya juga menangis. Apa lagi itu karenanya.Mirna tersenyum melihat interaksi itu. Keperdulian Ardhan adalah salah satu alasan ia yakin Hara akan baik-baik saja bila bersamanya. "Lihatlah! Apa kamu tak merasakan kasih sayang Om Ardhan untukmu?"Saat menoleh mata keduanya bertemu. Netra cokelat milik Hara menatap lekat netra hitam elang milik Ardhan. Ia semakin menangis. Membuat Ardhan spontan memeluknya. Membiarkan Hara menangis di dada bidangnya yang terbalut stelan jas berwarna hitam."Ibu harap kamu tidak menolaknya. Ini permintaan terakhir Ibu, Sayang," ucapan Mirna membuat Hara menangis lebih kencang. Terlihat dari punggungnya yang bergetar dalam dekapan Ardhan.
Langit gelap mulai dipenuhi bintang. Hara yang akan ke rumah sakit terpaksa mau dijemput oleh Ardhan. Padahal, ia berniat menghindarinya sekarang. Setelah berdebatan panjang, kemenangan ada di pihak Ardhan. Sebab Hara hanya mengatakan alasan konyol yang tidak kuat dasarnya."Bisakah kamu memakai pakaian yang lebih tertutup, Hara?"Baru saja mobil berjalan, tetapi Ardhan sudah mengacaukan emosinya. Padahal ia memakai rok selutut dengan atasan baju panjang. Di mana sisi terbukanya? Bukankah roknya juga masih wajar? Bahkan pahanya sama sekali tak terlihat."Saya sudah memilih beberapa pasang gaun untuk pernikahan. Semoga saja ada yang kamu suka."Ardhan menyodorkan ponselnya. Hara hanya menatap dan tak mengambilnya."Untuk apa gaun pernikahan? Kita tidak akan menikah. Aku tidak setuju," ucapnya dengan nada kesal."Setuju atau tidak kita akan menikah, Hara. Itu kemauan ibumu. Jadi saya harap kamu bisa menjadi anak yang be
"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya.Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan.Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu.Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik.Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R