Ardhan menghampiri Hara yang dibantu berdiri oleh pekerja di rumah mereka. "Kamu tidak apa-apa? Ayo ke kamar. Saya obati lukanya," ujar Ardhan dengan anda khawatir.
Hara tersenyum, ia senang ada orang lain yang khawatir padanya selain keluarganya. "Aku enggak apa-apa, Om. Cuma kaget aja sama sikap Mama," jawab Hara dengan lembut seolah-olah ia baik-baik saja.
Ardhan mengangguk mengerti. Lalu tangannya merangkul pundak Hara. Keduanya naik ke kamar Hara. Ardhan meminta pembantu untuk membawakan es dan kain yang akan digunakan untuk mengompres pipi Hara yang terlihat memar akibat tamparan Weni.
Ardhan menyuruh Hara duduk di sofa yang ada di kamar. Sementara itu ia jongkok di depannya. "Duduk dulu, Hara." Ardhan mengambil napas panjang sebelum berbicara lagi.
"Saya ingin minta maaf soal kelakukan Mama saya. Saya merasa bersalah, karena Mama pipi kamu memar seperti ini." Ardhan mengatakannya dengan membelai pipi Hara yang terlihat bekas
Hara menjadi gugup. Apakah maksudnya perasaan itu perasaan antara laki-laki dan seorang wanita? "Ma-maksud, Om?" "Satu-satunya yang akan berubah soal perasaan saya terhadap kamu itu, yang awalnya sebagai adik mungkin akan berubah menjadi perasaan suka terhadap wanita. Setelah suka menjadi sayang, dan menjadi jatuh cinta. Saya tidak bisa menjamin untuk tidak memandang kamu sebagai wanita." Meski saat mengucapkan hal itu Ardhan tidak memandang Hara, tetapi efeknya membuat pipi Hara merona dengan jantung yang berdegup kencang. Sudut bibirnya terangkat. Bukannya merasa takut, Hara merasakan perasaan bahagia. Dahi Ardhan berkerut saat menyadari Hara tersenyum karena ucapannya. "Kenapa kamu tersenyum?" Ketahuan tersenyum Hara mendadak salah tingkah. "Eh, apaan. Enggak kok. Ini tu karena enggak sakit lagi. Iya enggak sakit lagi." *** Ini hari pertamanya tinggal di rumah Ardhan. Matanya tak kunjung terpejam meski wakt
Skak mat. Hara tak mampu berkata-kata. Melihat Hara yang diam, Ardhan terbahak sampai tersedak. "Uhuk, uhuk." Hara memberikan segelas air. "Makanya, jangan suka usilin anak kecil. Kena karma, 'kan?" Setelah mengucapkan itu Hara pergi tanpa sarapan. Meninggalkan Ardhan yang harus menghabiskan sarapan sendirian. Ardhan langsung berangkat kerja setelahnya. Hara bosan di rumah sendirian tanpa adanya Ardhan. "Mau rumah sebagus apapun kalau sendirian tanpa keluarga enggak enak, ya. Jadi kangen ayah sama ibu." *** Di kantor, Ardhan sibuk dengan setumpuk pekerjaan. Satu minggu tidak masuk membuatnya harus mengerjakan banyak hal. Tidak ada kesempatan untuk bersantai barang sejenak. "Hara sedang apa, ya?" gumam Ardhan di sela-sela menandatangani berkas-berkas di mejanya. Ia melihat foto yang terpajang di mejanya. Seorang anak kecil dengan rambut kuncir kuda yang tengah menikmati es krim. Itu foto sepuluh t
Di rumah, Hara merasa sangat bosan. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar. "Bosen." Netranya menatap jam yang menggantung di dinding kamar. Masih pukul dua siang, artinya Ardhan masih lama pulang. Hara berjalan turun, ia mencoba melihat apakah ada yang bisa ia kerjakan untuk menghilangkan kebosanan. Rumah tampak sepi, semuanya sudah tertata rapi. Hara ke belakang, terlihat ada beberapa pekerja yang sedang mengerjakan pekerjaannya. Ada Mbok Sur yang sedang merawat bunga yang ada di taman belakang. Hara mendekat, berniat membantu. "Mbok, Hara bantu, ya," ucapnya saat berjongkok di samping Mbok Sur dan mengejutkannya. "Astaghfirullah, Non Hara. Bikin kaget saja." Hara tersenyum, ia sedikit merasa bersalah. "Maaf, Mbok. Tapi Hara boleh bantu, kan? Hara bosen," ujarnya tanpa basa-basi. Mbok Sur membersihkan tangannya dari tanah yang menempel di tangannya karena ia baru saja m
Hari cepat berlalu, jam menunjuk pukul delapan malam, tetapi Ardhan belum juga pulang. Hara yang diminta tidak menunggu malah melakukan sebaliknya. Sejak tadi pagi Hara memang tak nafsu makan. Ia bahkan sampai sekarang tak mau makan. Bila ditawarkan alasannya menunggu Ardhan pulang. Tangan Hara gatal ingin menelpon, tetapi ia juga gengsi. Lagipula bukankah sudah jelas Ardhan bilang bahwa ia akan pulang malam? Lalu entah mengapa Hara menjadi cemas begini. Persis seperti istri yang khawatir terhadap suaminya. "Udah jam delapan kok belum pulang, sih," gumam Hara dengan hembusan napas yang ia hembuskan secara kasar. Tadi sore, ia sudah memasak untuk Ardhan. Ia meminta pada Mbok Sur agar membolehkannya. Hara memakai alasan bahwa cinta bisa datang dari perut lalu ke hati. Dengan itu ia membujuk Mbok Sur. Tanpa curiga, Mbok Sur mengizinkannya, berpikiran bahwa Hara memang ingin menunjukkan rasa cinta. Pintu kamar diketuk
"Ada apa, Hara?" tanya Ardhan mencoba bersikap biasa saja. Jujur, sebenarnya ia juga bingung harus bersikap seperti apa. "Em, anu." Hara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak dapat berpikir jernih sekarang. "Anu apa, Hara? Kalau bicara yang jelas, saya tidak mengerti." Alih-alih mendapatkan jawaban, Ardhan justru mendapat sebuah suara yang menggelitik. Ia tak tahan untuk tidak tertawa. Hara sampai dibuat malu kerenanya. "Jadi tadi kamu tidur belum makan?" tanya Ardhan dengan menahan tawanya. Sebab Hara terlihat sangat malu di matanya. Sementara Hara, hanya menunduk, melihat ujung kakinya. Ia merutuki dirinya. 'Kenapa malah jadi gini, astaga. Malu banget.' Sadar Hara yang malu, Ardhan mengambil inisiatif . "Tunggu saya di meja makan. Saya akan memakai pakaian dan akan segera menyusul," ujar Ardhan membuat Hara mendongakkan kepalanya. Saat melihat Ardhan, Hara kembali terhipnotis dengan apa yang se
Melihat Ardhan membalut lukanya yang tidak seberapa entah mengapa hatinya tetap menghangat. Padahal, dulu saat ia terjatuh Ardhan akan melakukan hal yang sama, tetapi, mengapa sekarang rasanya berbeda? "Hara?" ujar Ardhan membuat Hara tersadar dari lamunannya. Ardhan membereskan kotak P3K itu. "Kamu memikirkan apa? Kenapa melamun, hem?" tanya Ardhan lembut. Hara menggeleng dan tersenyum tipis. Ia enggan bersuara karena masih memikirkan perasaan apa yang baru saja ia rasakan. Karena menurutnya itu begitu asing dan baru ia rasa. "Karena baru makan tidak baik jika langsung tidur. Kamu mau menonton TV? Atau mau menonton film?" tawar Ardhan di tengah kebisuan Hara. Hara masih diam saja. Ardhan berpikiran mungkin Hara syok karena kejadian di kamarnya tadi. "Ya sudah, saya tinggal, ya?" Hara memegang tangan Ardhan saat hendak menjauh darinya. Ia menggeleng sebagai tanda tak mau ditinggalkan. 'Tadi d
"Engh...." lenguhan Hara membuat Ardhan menyudahi permainannya. Ia membuang muka. Sekarang wajahnya merona. Niat hati ingin mengecup sekilas, tetapi malah berakhir dengan lumatan. Hara masih enggan membuka mata. Ia masih mengatur napas sembari menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru dirasa. Entah mengapa saat bibir Ardhan menempel pada bibirnya ia tak menghindarinya, tetapi justru membiarkan. Seolah ia juga menginginkannya. "Ma-maaf, Hara. Saya tidak bermaksud melakukannya. Awalnya saya hanya ingin mengecup sekilas, tetapi ... ini terjadi begitu saja. Maafkan saya Hara," ujar Ardhan penuh penyesalan. Ia takut Hara akan takut dan menjauhinya. Namun, tangan mungil Hara memegang pipi Ardhan yang tidak menatapnya. Menarik, dan membuat keduanya bertatapan. Netra hitam dan cokelat itu saling memandang. Entah karena bisikan setan atau memang keinginan pribadi. Hara mendekatkan wajahnya pada Ardhan. Ia mendaratkan bibir merah mudanya
"Eugh, Om. Tolong hentikan," pinta Hara saat tatapan Ardhan membuatnya dag dig dug tak karuan. Ardhan tak langsung menyingkir, ia memandang lekat wajah istri kecilnya. Ia sudah sangat bernafsu sekarang, tetapi bukan berarti kehilangan akal sehatnya. Ia masih sadar bahwa pernikahan keduanya tak sama dengan yang lain. "Maaf," ujar Ardhan lalu melepaskan Hara dari kungkungannya. Ardhan langsung kembali ke kamarnya dan meninggalkan Hara yang jantungnya dibuat berdegup kencang. "Fyuh. Untung saja," ucap Hara lega karena Ardhan sudah pergi, tetapi tidak dengan perasaannya. Ia tak menampik bahwa baru saja hatinya bergejolak karena pria itu. Namun, ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu tak lebih karena sentuhan fisik semata. *** "Saya yakin kamu belum mengetahui kebenaran atas kematian ayahmu sehingga mau menikah dengan Ardhan." Ucapannya terdengar lembut, tetapi entah mengapa Hara merasa takut. Saat ini Hara keda
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R