"Engh...." lenguhan Hara membuat Ardhan menyudahi permainannya. Ia membuang muka. Sekarang wajahnya merona. Niat hati ingin mengecup sekilas, tetapi malah berakhir dengan lumatan.
Hara masih enggan membuka mata. Ia masih mengatur napas sembari menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru dirasa. Entah mengapa saat bibir Ardhan menempel pada bibirnya ia tak menghindarinya, tetapi justru membiarkan. Seolah ia juga menginginkannya.
"Ma-maaf, Hara. Saya tidak bermaksud melakukannya. Awalnya saya hanya ingin mengecup sekilas, tetapi ... ini terjadi begitu saja. Maafkan saya Hara," ujar Ardhan penuh penyesalan. Ia takut Hara akan takut dan menjauhinya.
Namun, tangan mungil Hara memegang pipi Ardhan yang tidak menatapnya. Menarik, dan membuat keduanya bertatapan. Netra hitam dan cokelat itu saling memandang.
Entah karena bisikan setan atau memang keinginan pribadi. Hara mendekatkan wajahnya pada Ardhan. Ia mendaratkan bibir merah mudanya
Aaaa apa yang aku tulis xixixi. Terima kasih sudah mampir
"Eugh, Om. Tolong hentikan," pinta Hara saat tatapan Ardhan membuatnya dag dig dug tak karuan. Ardhan tak langsung menyingkir, ia memandang lekat wajah istri kecilnya. Ia sudah sangat bernafsu sekarang, tetapi bukan berarti kehilangan akal sehatnya. Ia masih sadar bahwa pernikahan keduanya tak sama dengan yang lain. "Maaf," ujar Ardhan lalu melepaskan Hara dari kungkungannya. Ardhan langsung kembali ke kamarnya dan meninggalkan Hara yang jantungnya dibuat berdegup kencang. "Fyuh. Untung saja," ucap Hara lega karena Ardhan sudah pergi, tetapi tidak dengan perasaannya. Ia tak menampik bahwa baru saja hatinya bergejolak karena pria itu. Namun, ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu tak lebih karena sentuhan fisik semata. *** "Saya yakin kamu belum mengetahui kebenaran atas kematian ayahmu sehingga mau menikah dengan Ardhan." Ucapannya terdengar lembut, tetapi entah mengapa Hara merasa takut. Saat ini Hara keda
"Om, sebenarnya apa penyebab kematian ayah aku?"Suasana makan malam tiba-tiba berubah. Ardhan yang sejak pulang dari kantor diam karena canggung akibat perbuatannya tadi pagi. Kini terdiam karena pertanyaan itu."Ayah kamu meninggal saat kecelakaan kerja."Ardhan menjawab dengan gugup tanpa melihat Hara."Kenapa memangnya?" tanya Ardhan. Ia penasaran, kenapa Hara mempertanyakan itu sekarang. Padahal saat Weni datang dan marah-marah Hara tak memikirkannya. Apa mungkin saat itu ketakutan lebih menguasai pikiran dibandingkan rasa penasaran?Namun, aneh bila tiba-tiba Hara bertanya seperti itu tanpa sebuah pemicu. Apakah ini waktunya memberitahu Hara yang sebenarnya?"Hara ragu untuk memberitahu bahwa Weni datang. Ia takut Ardhan kecewa karena tak memberitahu dari tadi. "Em, enggak, Om. Cuma penasaran aja. Soalnya waktu itu Hara enggak ngeliat wajah ayah. Karena waktu itu aku kan masih kecil, jadi nangis dan enggak ngeliat
Dengan wajah lesu dan bagian bawah mata yang menghitam Hara memasak sarapan pagi ini. Sudah bisa ditebak, tanpa Ardhan di sampingnya, ia tak dapat tidur dengan nyenyak. Ingin mengeluh, tetapi malu mengatakan. Hara tipikal orang yang jika sudah nyaman akan sulit lepas dari kenyamanan itu.Ardhan yang baru turun dengan tangan sedang mengancingkan kancing lengannya terdiam saat melihat Hara yang menata meja makan. Tanpa sadar senyumnya terbit melihat hal itu."Eh, udah siap. Sarapan dulu, Om," ucap Hara saat melihat Ardhan berdiri tak jauh dari meja makan.Hara sejujurnya terpesona dengan tampilan Ardhan pagi ini. Memakai kemeja putih bersih dengan dasi berwarna hitam, tak lupa jas berwarna hitam tersampir di lengan tangan kanan yang sedang ia kancingkan. Tubuhnya begitu proposional, seperti pria-pria Korea yang ditonton Hara. Meski tua, pesonanya tak pudar dimakan usia.Ardhan berjalan dengan memakai jasnya ke arah meja makan. "Lain
"Ya sudah, saya berangkat dulu," pamit Ardhan.Mobilnya sudah tak terlihat, tetapi Hara masih setia di pintu rumah dengan senyuman. 'Astaga, aku kenapa? Sadar Hara, jangan terpesona.' Namun sisi lain dirinya memberontak. 'Bukankah wajar seorang istri terpesona pada suaminya sendiri?' Begitulah pemikiran sisi lain dalam dirinya.Setelah Ardhan pergi Hara merasa malas untuk keluar. Ia memilih merebahkan tubuhnya. Niat hati hanya ingin rebahan sebentar, malah kelepasan hingga ketiduran. Saat bangun Hara terkejut karena hari sudah siang."Kenapa bisa ketiduran, sih. Huu, udah siang. Jadi males keluar," kesalnya dan turun ke dapur. Ia melihat Mbok Sur sedang mengolah sesuatu."Bikin apa, Mbok," tanya Hara dan duduk di kursi meja makan membuat Mbok Sur terkejut karena Hara yang datang tiba-tiba."Astaghfirullah, Non ini. Ngagetin aja," ujarnya membuat Hara merasa bersalah."Non Hara enggak jadi pergi?" Hara terl
Hara pulang diantar dengan lelaki yang ia tahu bernama Radit setelah berkenalan."Jadi em, Pak Radit ini asisten suami aku?" tanya Hara mengusir keheningan di mobil."Iya, Nyonya. Tapi tolong jangan panggil, Pak. Panggil nama saja," ujar Radit sopan."Baiklah, tapi juga jangan panggil Nyonya. Kesannya tua banget." Hara dari tadi sebenarnya memang keberatan dipanggil nyonya. Karena menurutnya berlebihan dan menjadikan kesan dirinya sudah tua."Tapi saya harus memanggil dengan apa? Nyonya ini istri Pak Ardhan, jadi sama seperti atasan saya," tanyanya sopan.Hara meringis, apakah seperti ini rasanya menjadi istri seorang bos? Ini baru satu pekerja, apalagi jika semua pekerja Ardhan tahu?"Panggil nama aja, kayaknya kalau dilihat umurnya enggak jauh beda."Ya, Hara sedari tadi memerhatikan Radit. Hara memperkirakan usianya mungkin dua puluh tiga tahun atau dua puluh lima tahu.Radit memanda
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m
Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka
"Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab
Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R