"Pagi, Mbak Novita," sapa Jelita hati-hati saat memasuki dapur keesokan paginya. Novita yang sedang menyiapkan sarapan hanya mengangguk singkat.
Suasana canggung menyelimuti ruangan itu, hingga tiba-tiba terdengar suara tangisan Raditya dari kamarnya.
"Biar aku yang lihat," tawar Jelita spontan, namun langsung menyesali kata-katanya begitu melihat ekspresi Novita mengeras.
"Tidak perlu. Aku saja." ujar Novita dingin, bergegas menuju kamar Raditya.
Jelita menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan situasi yang seolah tak ada habisnya ini. Ia baru saja akan melanjutkan pekerjaannya ketika mendengar suara Bambang dari ruang keluarga.
"Jelita, bisa tolong ambilkan map biru di laci meja kerjaku? Aku perlu beberapa dokumen unt
Malam telah larut ketika Jelita akhirnya bisa menyendiri di kamarnya. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Percakapan yang tak sengaja ia dengar antara Bambang dan Novita masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya terasa berat.Jelita baru saja hendak berbaring ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya tertegun sejenak: Faris.Dengan tangan sedikit gemetar, Jelita mengangkat panggilan itu. "Halo, Kak Faris?""Jelita," suara Faris terdengar lembut di seberang sana. "Bagaimana kabarmu?"Jelita menghela napas panjang sebelum menjawab, "Baik... kurasa. Bagaimana denganmu, Kak?""Aku baik-baik saja," jawab Faris. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyinari kota. Jelita telah bangun sejak subuh, menyiapkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, warna kesukaan ibunya.Setelah berpamitan dengan Bambang, dan Novita. Tak lupa, ia juga berpamitan dengan Bi Inah untuk memastikan semua pekerjaan rumah sudah beres. Jelita melangkah keluar rumah dengan hati yang bercampur aduk.Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu di depan dengan mobil yang sudah disiapkan. "Sudah siap, Non Jelita?" tanya Pak Abdul ramah.Jelita mengangguk, tersenyum tipis. "Sudah, Pak. Terima kasih sudah mau mengantar saya."Selama perjalanan, Jelita hanya diam, memandang ke luar jendela. Pikirannya melayang ke Raditya yang masih tertidur pulas saat ia meningg
Ayah Jelita menambahkan, "Benar kata ibumu, Nak. Kita harus selalu ingat kebaikan orang lain. Jadilah orang yang tahu berterima kasih."Jelita hanya bisa mengangguk, berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Melihat putrinya yang tiba-tiba menjadi murung, Ibu Jelita beranjak dan duduk di samping Jelita."Ada apa, Nak?" tanya Ibu Jelita lembut, menggenggam tangan putrinya. "Cerita sama Ibu kalau ada masalah."Jelita menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Bu. Jelita hanya... hanya sedikit lelah."Ibu Jelita menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun Jelita berusaha menyembunyikannya, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya."Jelita," ujar Ibu J
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara tampak lebih ramai dari biasanya. Bambang, yang biasanya sudah berangkat ke kantor pada jam ini, masih duduk santai di meja makan, menyesap kopi hitamnya sambil membaca koran pagi.Novita sibuk mondar-mandir, menyiapkan berbagai keperluan untuk perjalanan mereka hari ini. Sementara itu, Jelita baru saja selesai memandikan Raditya dan kini sedang menyuapinya sarapan.Kali ini, Jelita ikut andil dalam mengurus Raditya karena desakan dari Bambang. Novita pun sebenarnya menolak, tapi melihat banyak hal yang harus disiapkan, mau tidak mau Novita mengiyakan."Jadi, kita benar-benar akan pergi ke kebun binatang hari ini?" tanya Novita, sambil memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam tas ransel besar.Bambang menurunkan korann
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka tiba di kebun binatang. Raditya, yang sempat tertidur selama perjalanan, langsung terbangun begitu mobil berhenti. Matanya langsung berbinar-binar melihat gerbang besar kebun binatang di depan mereka."Tuh! Tuh!" seru Raditya antusias, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah gerbang.Bambang tertawa melihat tingkah putranya. "Iya, Sayang. Kita sudah sampai di tempat hewan-hewan."Mereka turun dari mobil dan mulai berjalan menuju loket tiket. Novita menggendong Raditya, sementara Bambang dan Jelita membawa tas-tas berisi perlengkapan mereka.Setelah membeli tiket, mereka pun memasuki area kebun binatang. Suasana hari itu cukup ramai, banyak keluarga lain yang juga memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di sini.
"Raditya, ayo sayang, nanti terlambat ke sekolah," suara Novita terdengar dari ruang tamu, memanggil putranya yang masih berada di kamar."Iya, Mama! Radit sedang pakai sepatu!" sahut suara kecil Raditya dari dalam kamarnya.Jelita, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, tersenyum mendengar percakapan ibu dan anak itu. Sudah lima tahun berlalu sejak Raditya lahir, dan hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah taman kanak-kanak. Waktu memang berlalu begitu cepat.Seiring berjalannya waktu, peran Jelita dalam mengasuh Raditya semakin berkurang. Novita dan Bambang telah memutuskan untuk mempekerjakan dua pengasuh, dan Jelita kembali ke posisinya untuk membantu Bi Inah dalam mengurus rumah tangga. Meski begitu, ikatan batin antara Jelita dan Raditya tetap tidak bisa dipisahkan.
"Tentu saja boleh, sayang," jawab Novita, berusaha terdengar ceria. "Tapi ingat, Radit juga harus mendengarkan apa yang diceritakan teman-teman ya."Raditya mengangguk patuh. "Siap, Ma!"Tak lama kemudian, mereka tiba di sekolah. Halaman sekolah sudah ramai dengan anak-anak dan orang tua mereka. Raditya, yang tadinya sangat bersemangat, tiba-tiba menjadi sedikit malu-malu melihat banyaknya orang asing di sekelilingnya.Novita menggenggam tangan Raditya lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mama akan menemani Radit sampai masuk kelas."Mereka berjalan memasuki gedung sekolah, mencari kelas Raditya. Di depan kelas, seorang guru muda menyambut mereka dengan senyum ramah."Selamat pagi," sapa guru itu. "Siapa nama adik ganteng ini?"
Siang itu, matahari bersinar terik di atas kota Jakarta. Di kediaman keluarga Bambang, suasana mulai berubah seiring mendekatinya waktu penjemputan Raditya dari sekolah.Novita, yang sejak tadi gelisah memikirkan putranya itu, kini bersiap-siap untuk menjemput Raditya di hari pertamanya bersekolah."Pak Abdul, tolong siapkan mobilnya ya. Kita akan menjemput Raditya," ujar Novita sambil merapikan rambutnya di depan cermin ruang tamu."Baik, Nyonya. Mobil akan siap dalam lima menit," jawab Pak Abdul sopan sebelum bergegas ke garasi.Sementara itu, di dapur, Jelita sedang membereskan peralatan makan siang. Ia bisa mendengar kesibukan Novita dan Pak Abdul yang bersiap untuk menjemput Raditya.Hatinya terasa berat; ia sangat ingin
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No