Pagi itu, mentari bersinar lembut menyinari kota. Jelita telah bangun sejak subuh, menyiapkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, warna kesukaan ibunya.
Setelah berpamitan dengan Bambang, dan Novita. Tak lupa, ia juga berpamitan dengan Bi Inah untuk memastikan semua pekerjaan rumah sudah beres. Jelita melangkah keluar rumah dengan hati yang bercampur aduk.
Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu di depan dengan mobil yang sudah disiapkan. "Sudah siap, Non Jelita?" tanya Pak Abdul ramah.
Jelita mengangguk, tersenyum tipis. "Sudah, Pak. Terima kasih sudah mau mengantar saya."
Selama perjalanan, Jelita hanya diam, memandang ke luar jendela. Pikirannya melayang ke Raditya yang masih tertidur pulas saat ia meningg
Ayah Jelita menambahkan, "Benar kata ibumu, Nak. Kita harus selalu ingat kebaikan orang lain. Jadilah orang yang tahu berterima kasih."Jelita hanya bisa mengangguk, berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Melihat putrinya yang tiba-tiba menjadi murung, Ibu Jelita beranjak dan duduk di samping Jelita."Ada apa, Nak?" tanya Ibu Jelita lembut, menggenggam tangan putrinya. "Cerita sama Ibu kalau ada masalah."Jelita menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Bu. Jelita hanya... hanya sedikit lelah."Ibu Jelita menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun Jelita berusaha menyembunyikannya, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya."Jelita," ujar Ibu J
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara tampak lebih ramai dari biasanya. Bambang, yang biasanya sudah berangkat ke kantor pada jam ini, masih duduk santai di meja makan, menyesap kopi hitamnya sambil membaca koran pagi.Novita sibuk mondar-mandir, menyiapkan berbagai keperluan untuk perjalanan mereka hari ini. Sementara itu, Jelita baru saja selesai memandikan Raditya dan kini sedang menyuapinya sarapan.Kali ini, Jelita ikut andil dalam mengurus Raditya karena desakan dari Bambang. Novita pun sebenarnya menolak, tapi melihat banyak hal yang harus disiapkan, mau tidak mau Novita mengiyakan."Jadi, kita benar-benar akan pergi ke kebun binatang hari ini?" tanya Novita, sambil memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam tas ransel besar.Bambang menurunkan korann
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka tiba di kebun binatang. Raditya, yang sempat tertidur selama perjalanan, langsung terbangun begitu mobil berhenti. Matanya langsung berbinar-binar melihat gerbang besar kebun binatang di depan mereka."Tuh! Tuh!" seru Raditya antusias, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah gerbang.Bambang tertawa melihat tingkah putranya. "Iya, Sayang. Kita sudah sampai di tempat hewan-hewan."Mereka turun dari mobil dan mulai berjalan menuju loket tiket. Novita menggendong Raditya, sementara Bambang dan Jelita membawa tas-tas berisi perlengkapan mereka.Setelah membeli tiket, mereka pun memasuki area kebun binatang. Suasana hari itu cukup ramai, banyak keluarga lain yang juga memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di sini.
"Raditya, ayo sayang, nanti terlambat ke sekolah," suara Novita terdengar dari ruang tamu, memanggil putranya yang masih berada di kamar."Iya, Mama! Radit sedang pakai sepatu!" sahut suara kecil Raditya dari dalam kamarnya.Jelita, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, tersenyum mendengar percakapan ibu dan anak itu. Sudah lima tahun berlalu sejak Raditya lahir, dan hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah taman kanak-kanak. Waktu memang berlalu begitu cepat.Seiring berjalannya waktu, peran Jelita dalam mengasuh Raditya semakin berkurang. Novita dan Bambang telah memutuskan untuk mempekerjakan dua pengasuh, dan Jelita kembali ke posisinya untuk membantu Bi Inah dalam mengurus rumah tangga. Meski begitu, ikatan batin antara Jelita dan Raditya tetap tidak bisa dipisahkan.
"Tentu saja boleh, sayang," jawab Novita, berusaha terdengar ceria. "Tapi ingat, Radit juga harus mendengarkan apa yang diceritakan teman-teman ya."Raditya mengangguk patuh. "Siap, Ma!"Tak lama kemudian, mereka tiba di sekolah. Halaman sekolah sudah ramai dengan anak-anak dan orang tua mereka. Raditya, yang tadinya sangat bersemangat, tiba-tiba menjadi sedikit malu-malu melihat banyaknya orang asing di sekelilingnya.Novita menggenggam tangan Raditya lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mama akan menemani Radit sampai masuk kelas."Mereka berjalan memasuki gedung sekolah, mencari kelas Raditya. Di depan kelas, seorang guru muda menyambut mereka dengan senyum ramah."Selamat pagi," sapa guru itu. "Siapa nama adik ganteng ini?"
Siang itu, matahari bersinar terik di atas kota Jakarta. Di kediaman keluarga Bambang, suasana mulai berubah seiring mendekatinya waktu penjemputan Raditya dari sekolah.Novita, yang sejak tadi gelisah memikirkan putranya itu, kini bersiap-siap untuk menjemput Raditya di hari pertamanya bersekolah."Pak Abdul, tolong siapkan mobilnya ya. Kita akan menjemput Raditya," ujar Novita sambil merapikan rambutnya di depan cermin ruang tamu."Baik, Nyonya. Mobil akan siap dalam lima menit," jawab Pak Abdul sopan sebelum bergegas ke garasi.Sementara itu, di dapur, Jelita sedang membereskan peralatan makan siang. Ia bisa mendengar kesibukan Novita dan Pak Abdul yang bersiap untuk menjemput Raditya.Hatinya terasa berat; ia sangat ingin
Mobil yang membawa Novita dan Raditya akhirnya memasuki halaman rumah keluarga Baskara. Begitu mobil berhenti, Raditya langsung membuka pintu dan berlari ke dalam rumah, meninggalkan Novita yang masih duduk terpaku di dalam mobil."Tante Jelita! Tante Jelita!" suara Raditya terdengar memanggil-manggil dari dalam rumah.Novita menghela napas panjang sebelum akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan perlahan menuju pintu depan, pikirannya berkecamuk.Di satu sisi, ia senang melihat Raditya begitu bersemangat sepulang sekolah. Namun di sisi lain, kenyataan bahwa orang pertama yang dicari Raditya adalah Jelita, bukan dirinya, membuat hatinya terasa sakit.Begitu masuk ke dalam rumah, Novita melihat Raditya sudah berada dalam pelukan Jelita. Bocah lima tahun itu berceloteh riang
Malam telah turun di kediaman keluarga Baskara. Jam dinding di ruang tamu baru saja berdentang tujuh kali, menandakan pukul 7 malam telah tiba. Suasana rumah yang tadinya tenang mulai berubah saat terdengar deru mobil memasuki halaman.Raditya, yang sedang asyik menggambar di ruang keluarga, langsung melompat dari kursinya. "Papa pulang!" serunya riang, berlari menuju pintu depan.Novita, yang sedang membaca majalah di sofa, tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia pun bangkit, menyusul Raditya ke pintu depan.Pintu terbuka, dan sosok Bambang muncul dengan wajah lelah namun tersenyum lebar. "Halo, jagoan Papa!" sapanya, membungkuk untuk memeluk Raditya yang sudah menghambur ke arahnya."Papa! Papa! Radit mau cerita!" Raditya berceloteh dengan semangat, menarik-narik tan