Malam itu, setelah Raditya tertidur, Bambang memanggil Novita dan Jelita ke ruang kerjanya. Ada ketegangan yang jelas terasa di udara saat kedua wanita itu memasuki ruangan.
"Ada apa, Bang?" tanya Novita, matanya sesekali melirik ke arah Jelita dengan curiga.
Bambang menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kita perlu membicarakan tentang apa yang terjadi hari ini."
Jelita, yang berdiri agak jauh dari Novita, hanya bisa menunduk. Ia tahu persis apa yang akan dibicarakan.
"Apa maksudmu?" Novita bertanya, meski dari nada suaranya, ia juga sudah bisa menebak.
"Tentang Raditya dan... mainan yang dia berikan pada Jelita," jawab Bambang hati-hati.
Novita langsung menegang. "Itu hanya
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Baskara masih terasa mencekam. Novita, dengan mata sembab dan wajah lelah, sibuk mondar-mandir di ruang keluarga, berusaha menjaga Raditya yang baru berusia satu tahun.Bocah kecil itu berjalan dengan lincah, dan mencoba mengambil apa saja yang bisa diraihnya. Sementara itu, Jelita hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, hatinya perih melihat putranya begitu dekat namun tak terjangkau."Radit, jangan, Nak," ujar Novita lembut sambil mengambil remote TV dari tangan mungil Raditya. Balita itu mulai merengek, tangannya menggapai-gapai ingin mengambil kembali benda yang menarik perhatiannya.Jelita, yang sejak tadi hanya berdiri di ambang pintu, akhirnya memberanikan diri untuk mendekat. "Mbak, biar saya bantu—""Tidak perlu," potong
Hari-hari berlalu dengan atmosfer yang semakin mencekam di kediaman keluarga Baskara. Novita, dengan tekadnya yang kuat, berusaha keras mengurus Raditya sendirian. Namun, kelelahan dan frustrasi mulai tampak jelas di wajahnya.Pagi itu, seperti biasa, Raditya bangun dengan penuh semangat. Ia berjalan dengan cepat di sekitar ruang tamu, sesekali berlari di sekitar sofa atau meja, membuat Novita kewalahan mengawasinya."Radit, jangan, Nak," ujar Novita lelah, berusaha mengambil vas bunga yang hampir dijatuhkan oleh tangan mungil Raditya.Namun Raditya, dengan rasa ingin tahunya yang besar, terus berusaha meraih benda-benda di sekitarnya. Novita berusaha mengikutinya, tapi ia tersandung mainan yang berserakan di lantai dan jatuh tersungkur."Aduh!" pekiknya kesakitan.
"Radit, ayo makan dulu, Sayang," bujuk Novita sambil mengangkat sendok berisi bubur yang sudah mulai dingin. Raditya, bocah satu tahun itu, hanya menggeleng dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Bambang yang duduk di sebelah mereka di ruang tamu menghela napas panjang. "Biar aku coba, Nov," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk dari tangan istrinya.Novita menyerahkan mangkuk itu dengan enggan. Matanya menyiratkan kelelahan dan frustrasi yang dalam. "Dia belum makan apa-apa sejak pagi, Bang. Aku khawatir."Sementara itu, dari arah dapur, Jelita diam-diam mengamati pemandangan itu. Hatinya terasa diremas melihat putra kandungnya menolak makan, sementara ia tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh ke pipinya."Non Jelita, kenapa men
"Pagi, Mbak Novita," sapa Jelita hati-hati saat memasuki dapur keesokan paginya. Novita yang sedang menyiapkan sarapan hanya mengangguk singkat.Suasana canggung menyelimuti ruangan itu, hingga tiba-tiba terdengar suara tangisan Raditya dari kamarnya."Biar aku yang lihat," tawar Jelita spontan, namun langsung menyesali kata-katanya begitu melihat ekspresi Novita mengeras."Tidak perlu. Aku saja." ujar Novita dingin, bergegas menuju kamar Raditya.Jelita menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan situasi yang seolah tak ada habisnya ini. Ia baru saja akan melanjutkan pekerjaannya ketika mendengar suara Bambang dari ruang keluarga."Jelita, bisa tolong ambilkan map biru di laci meja kerjaku? Aku perlu beberapa dokumen unt
Malam telah larut ketika Jelita akhirnya bisa menyendiri di kamarnya. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Percakapan yang tak sengaja ia dengar antara Bambang dan Novita masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya terasa berat.Jelita baru saja hendak berbaring ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya tertegun sejenak: Faris.Dengan tangan sedikit gemetar, Jelita mengangkat panggilan itu. "Halo, Kak Faris?""Jelita," suara Faris terdengar lembut di seberang sana. "Bagaimana kabarmu?"Jelita menghela napas panjang sebelum menjawab, "Baik... kurasa. Bagaimana denganmu, Kak?""Aku baik-baik saja," jawab Faris. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan
Pagi itu, mentari bersinar lembut menyinari kota. Jelita telah bangun sejak subuh, menyiapkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, warna kesukaan ibunya.Setelah berpamitan dengan Bambang, dan Novita. Tak lupa, ia juga berpamitan dengan Bi Inah untuk memastikan semua pekerjaan rumah sudah beres. Jelita melangkah keluar rumah dengan hati yang bercampur aduk.Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu di depan dengan mobil yang sudah disiapkan. "Sudah siap, Non Jelita?" tanya Pak Abdul ramah.Jelita mengangguk, tersenyum tipis. "Sudah, Pak. Terima kasih sudah mau mengantar saya."Selama perjalanan, Jelita hanya diam, memandang ke luar jendela. Pikirannya melayang ke Raditya yang masih tertidur pulas saat ia meningg
Ayah Jelita menambahkan, "Benar kata ibumu, Nak. Kita harus selalu ingat kebaikan orang lain. Jadilah orang yang tahu berterima kasih."Jelita hanya bisa mengangguk, berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Melihat putrinya yang tiba-tiba menjadi murung, Ibu Jelita beranjak dan duduk di samping Jelita."Ada apa, Nak?" tanya Ibu Jelita lembut, menggenggam tangan putrinya. "Cerita sama Ibu kalau ada masalah."Jelita menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Bu. Jelita hanya... hanya sedikit lelah."Ibu Jelita menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun Jelita berusaha menyembunyikannya, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya."Jelita," ujar Ibu J
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara tampak lebih ramai dari biasanya. Bambang, yang biasanya sudah berangkat ke kantor pada jam ini, masih duduk santai di meja makan, menyesap kopi hitamnya sambil membaca koran pagi.Novita sibuk mondar-mandir, menyiapkan berbagai keperluan untuk perjalanan mereka hari ini. Sementara itu, Jelita baru saja selesai memandikan Raditya dan kini sedang menyuapinya sarapan.Kali ini, Jelita ikut andil dalam mengurus Raditya karena desakan dari Bambang. Novita pun sebenarnya menolak, tapi melihat banyak hal yang harus disiapkan, mau tidak mau Novita mengiyakan."Jadi, kita benar-benar akan pergi ke kebun binatang hari ini?" tanya Novita, sambil memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam tas ransel besar.Bambang menurunkan korann