Pagi itu, sinar mentari menembus tirai-tirai jendela ruang makan keluarga Baskara, menerangi meja makan yang telah ditata rapi dengan berbagai hidangan sarapan. Bambang, Novita, dan Roni duduk mengelilingi meja, suasana terasa tegang meski tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.
Roni memecah keheningan, "Jadi, Bambang, bagaimana dengan rencana kita semalam? Sudah kau pikirkan?"
Bambang meletakkan sendoknya, matanya menatap piring di hadapannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Roni dan Novita bergantian.
"Maaf, Ayah, Novita. Saya... saya tidak bisa melakukannya," ujar Bambang dengan suara pelan namun tegas.
Novita hampir tersedak kopinya. "Apa maksudmu, Bang?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Malam telah larut ketika Bambang melangkahkan kakinya menuju kamar Jelita. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara terasa begitu sunyi, hanya detak jam dinding yang sesekali memecah keheningan.Bambang berhenti sejenak di depan pintu kamar Jelita, tangannya terangkat hendak mengetuk, namun ia ragu. Pikirannya kembali pada percakapan di meja makan pagi tadi, tentang rencana perceraian yang diusulkan Novita. Hatinya berkecamuk, antara rasa bersalah dan kebingungan yang tak berkesudahan.Akhirnya, dengan satu tarikan napas dalam, Bambang memberanikan diri mengetuk pintu. "Jelita? Ini aku, Bambang. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara pelan.Terdengar suara langkah kaki dari dalam kamar, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Jelita berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur sederhana namun tetap memancarkan kecantikan alaminya. Matanya yang lelah menatap Bambang dengan sedikit terkejut."Abang? Ada apa malam-malam begini?" tanya Jelita, suaranya lembut namun terdengar sedikit kha
Pagi menjelang, sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar Bambang. Ia terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.Semalaman ia nyaris tak bisa memejamkan mata, pikirannya terus berputar pada percakapannya dengan Jelita dan rencana perceraian yang diusulkan Novita.Bambang bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju jendela dan menyibak tirai. Pemandangan taman belakang rumahnya yang asri menyambutnya, namun bahkan keindahan alam pagi itu tak mampu mengusir kegelisahan yang bersarang di hatinya.Ia menghela napas panjang, mengingat kembali setiap detail percakapannya dengan Jelita semalam. Kelembutan suaranya, kesabaran dalam matanya, dan bagaimana ia dengan mudah memaafkan semua perlakuan tidak adil yang telah ia terima.
Siang itu, Jelita sedang duduk termenung di taman belakang rumah keluarga Baskara. Matanya menerawang jauh, menatap hamparan taman yang indah namun tak mampu menghibur hatinya yang gundah. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan yang menyelimutinya.Dengan enggan, Jelita meraih ponselnya. Matanya melebar ketika melihat nama pengirim pesan yang muncul di layar: Faris."Jelita, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita bertemu di taman tengah kota sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Jelita tertegun membaca pesan tersebut. Sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan Faris. Faris adalah satu-satunya orang di luar keluarga Baskara yang mengetahui situasi sulit yang dihadapinya.Sejenak, Jelita ragu. Ia tahu betul bahwa Novita tidak akan senang jika ia pergi keluar rumah tanpa pengawasan. Namun, hatinya merindukan sebuah pelarian, sebuah kesempatan untuk berbicara dengan seseorang yang benar-benar peduli padanya.Dengan tangan gemetar, Jelita membalas pesan Faris, menye
Malam telah larut ketika Jelita tiba kembali di kediaman keluarga Baskara. Rumah besar itu tampak sunyi, hanya terdengar deru halus pendingin ruangan yang memecah keheningan. Dengan langkah pelan, Jelita memasuki rumah, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan penghuni lainnya.Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati Novita masih terjaga, duduk di ruang keluarga dengan tatapan tajam mengarah padanya."Dari mana saja kau?" tanya Novita dingin, matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam.Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Aku... aku hanya bertemu teman lama, seperti yang kukatakan tadi, Mbak."Novita bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Teman lama? Siapa? Apa yang kalia
Sinar mentari pagi menembus dedaunan rimbun di taman belakang kediaman keluarga Baskara. Jelita melangkah perlahan menuruni tangga menuju halaman, matanya terpaku pada sosok Bambang yang sedang bermain dengan Raditya. Hatinya bergemuruh, campuran antara keraguan dan tekad yang baru saja ia bangun. Bambang menyadari kehadiran Jelita dan menoleh. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Ada sesuatu yang berbeda di mata Bambang pagi ini, sesuatu yang tidak bisa Jelita artikan. "Pagi, Jelita," sapa Bambang, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Pagi, Bang. Bisa... bisa kita bicara sebentar?" Bambang mengangguk, lalu menyerahkan Raditya pada pengasuhnya yang berdiri tak jauh dari sana. Ia mengisyaratkan Jelita untuk mengikutinya ke gazebo di sudut taman. Begitu mereka duduk berhadapan, Jelita merasakan tekadnya goyah. Namun, ia menguatkan hati dan mulai berbicara, “Bang, ada yang ingin aku bicarakan. Ini... ini tenta
Jelita menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang nyaris lolos. Semua ini terlalu mendadak, terlalu membingungkan. Ia datang ke sini dengan niat untuk mengakhiri semuanya, tapi sekarang... “Bang, aku… aku tidak tahu harus bagaimana," Jelita akhirnya berkata. "Ini semua terlalu... tiba-tiba." Bambang mengangguk paham. "Aku mengerti, Jelita. Ini pasti membingungkan untukmu. Tapi bisakah kau memberiku... memberi kita kesempatan? Mungkin kita bisa mencoba menjalani ini dengan cara yang berbeda." Jelita menatap Bambang, mencari-cari kepastian di matanya. "Maksudnya, Bang?" "Mungkin kita bisa mencoba untuk benar-benar menjadi keluarga," Bambang menjawab pelan. "Bukan hanya karena perjanjian, tapi sungguh-sungguh mencoba membangun hubungan yang lebih baik. Demi Raditya, dan mungkin... demi kita juga." Jelita merasa seolah napasnya tercekat. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia hanya berpikir tentang bagaimana cara keluar dari situasi ini
Malam itu, kediaman keluarga Baskara yang biasanya tenang dipenuhi oleh tangisan memilukan. Suara Raditya yang meraung-raung memecah keheningan, menggema di setiap sudut rumah.Bambang mondar-mandir di ruang keluarga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Novita duduk di sofa, tangannya gemetar memegang segelas air yang belum ia sentuh sejak tadi."Sudah berapa lama dia menangis seperti ini?" tanya Bambang, suaranya terdengar frustasi.Novita menggeleng lemah. "Entahlah, Bang. Rasanya sudah berjam-jam. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi."Pengasuh Raditya, keluar dari kamar anak itu dengan wajah lesu. "Maaf, Pak, Bu. Tuan Raditya masih belum mau berhenti menangis. Saya sudah coba semua cara, tapi..."Bambang menghela napas berat. "Bagaimana dengan obatnya? Sudah diminum?""Sudah, Pak," jawab pengasuh itu. "Tapi sepertinya belum bereaksi. Demamnya masih tinggi."Novita bangkit dari duduknya, air matanya mulai menggenang. "Aku akan coba menenangkannya lagi."Namun, belum
Fajar mulai menyingsing, sinar mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai kamar Raditya. Jelita, yang semalaman tidak bisa tidur nyenyak, perlahan membuka matanya. Ia merasakan kehangatan tubuh mungil Raditya yang masih terlelap dalam pelukannya.Dengan hati-hati, Jelita menyentuh kening Raditya. Ia menghela napas lega saat merasakan suhu tubuh bayi berusia satu tahun itu sudah tidak sepanas semalam. Demamnya sudah turun."Syukurlah," bisik Jelita, mengecup lembut kening Raditya.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka perlahan. Novita muncul, wajahnya menunjukkan kelelahan sekaligus kecemasan."Bagaimana keadaannya?" tanya Novita, suaranya terdengar serak.Jelita menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga jarak dengan Raditya