Malam telah larut ketika Jelita tiba kembali di kediaman keluarga Baskara. Rumah besar itu tampak sunyi, hanya terdengar deru halus pendingin ruangan yang memecah keheningan. Dengan langkah pelan, Jelita memasuki rumah, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan penghuni lainnya.Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati Novita masih terjaga, duduk di ruang keluarga dengan tatapan tajam mengarah padanya."Dari mana saja kau?" tanya Novita dingin, matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam.Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Aku... aku hanya bertemu teman lama, seperti yang kukatakan tadi, Mbak."Novita bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Teman lama? Siapa? Apa yang kalia
Sinar mentari pagi menembus dedaunan rimbun di taman belakang kediaman keluarga Baskara. Jelita melangkah perlahan menuruni tangga menuju halaman, matanya terpaku pada sosok Bambang yang sedang bermain dengan Raditya. Hatinya bergemuruh, campuran antara keraguan dan tekad yang baru saja ia bangun. Bambang menyadari kehadiran Jelita dan menoleh. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Ada sesuatu yang berbeda di mata Bambang pagi ini, sesuatu yang tidak bisa Jelita artikan. "Pagi, Jelita," sapa Bambang, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Pagi, Bang. Bisa... bisa kita bicara sebentar?" Bambang mengangguk, lalu menyerahkan Raditya pada pengasuhnya yang berdiri tak jauh dari sana. Ia mengisyaratkan Jelita untuk mengikutinya ke gazebo di sudut taman. Begitu mereka duduk berhadapan, Jelita merasakan tekadnya goyah. Namun, ia menguatkan hati dan mulai berbicara, “Bang, ada yang ingin aku bicarakan. Ini... ini tenta
Jelita menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang nyaris lolos. Semua ini terlalu mendadak, terlalu membingungkan. Ia datang ke sini dengan niat untuk mengakhiri semuanya, tapi sekarang... “Bang, aku… aku tidak tahu harus bagaimana," Jelita akhirnya berkata. "Ini semua terlalu... tiba-tiba." Bambang mengangguk paham. "Aku mengerti, Jelita. Ini pasti membingungkan untukmu. Tapi bisakah kau memberiku... memberi kita kesempatan? Mungkin kita bisa mencoba menjalani ini dengan cara yang berbeda." Jelita menatap Bambang, mencari-cari kepastian di matanya. "Maksudnya, Bang?" "Mungkin kita bisa mencoba untuk benar-benar menjadi keluarga," Bambang menjawab pelan. "Bukan hanya karena perjanjian, tapi sungguh-sungguh mencoba membangun hubungan yang lebih baik. Demi Raditya, dan mungkin... demi kita juga." Jelita merasa seolah napasnya tercekat. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia hanya berpikir tentang bagaimana cara keluar dari situasi ini
Malam itu, kediaman keluarga Baskara yang biasanya tenang dipenuhi oleh tangisan memilukan. Suara Raditya yang meraung-raung memecah keheningan, menggema di setiap sudut rumah.Bambang mondar-mandir di ruang keluarga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Novita duduk di sofa, tangannya gemetar memegang segelas air yang belum ia sentuh sejak tadi."Sudah berapa lama dia menangis seperti ini?" tanya Bambang, suaranya terdengar frustasi.Novita menggeleng lemah. "Entahlah, Bang. Rasanya sudah berjam-jam. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi."Pengasuh Raditya, keluar dari kamar anak itu dengan wajah lesu. "Maaf, Pak, Bu. Tuan Raditya masih belum mau berhenti menangis. Saya sudah coba semua cara, tapi..."Bambang menghela napas berat. "Bagaimana dengan obatnya? Sudah diminum?""Sudah, Pak," jawab pengasuh itu. "Tapi sepertinya belum bereaksi. Demamnya masih tinggi."Novita bangkit dari duduknya, air matanya mulai menggenang. "Aku akan coba menenangkannya lagi."Namun, belum
Fajar mulai menyingsing, sinar mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai kamar Raditya. Jelita, yang semalaman tidak bisa tidur nyenyak, perlahan membuka matanya. Ia merasakan kehangatan tubuh mungil Raditya yang masih terlelap dalam pelukannya.Dengan hati-hati, Jelita menyentuh kening Raditya. Ia menghela napas lega saat merasakan suhu tubuh bayi berusia satu tahun itu sudah tidak sepanas semalam. Demamnya sudah turun."Syukurlah," bisik Jelita, mengecup lembut kening Raditya.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka perlahan. Novita muncul, wajahnya menunjukkan kelelahan sekaligus kecemasan."Bagaimana keadaannya?" tanya Novita, suaranya terdengar serak.Jelita menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga jarak dengan Raditya
"Syukurlah demam Raditya sudah benar-benar turun," ujar Novita lega, matanya mengawasi putranya yang sedang bermain di ruang tamu bersama pengasuhnya.Bambang mengangguk, senyum lega terpancar di wajahnya. "Iya, akhirnya kita bisa bernapas lega. Tiga hari ini benar-benar menegangkan.""Tapi lihat dia sekarang," Novita tersenyum lembut, "seolah-olah tidak pernah sakit. Energinya luar biasa."Memang benar, Raditya yang baru saja pulih dari demamnya terlihat sangat aktif. Bocah berusia satu tahun itu berlarian kesana-kemari di ruang tamu, sesekali berhenti untuk memainkan mainannya, lalu kembali berlari dengan tawa riang.Pengasuhnya, berusaha mengimbangi energi Raditya. "Aduh, Tuan Muda. Pelan-pelan ya, nanti jatuh," ujarnya dengan nada khawatir bercampur geli.
Malam itu, setelah Raditya tertidur, Bambang memanggil Novita dan Jelita ke ruang kerjanya. Ada ketegangan yang jelas terasa di udara saat kedua wanita itu memasuki ruangan."Ada apa, Bang?" tanya Novita, matanya sesekali melirik ke arah Jelita dengan curiga.Bambang menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kita perlu membicarakan tentang apa yang terjadi hari ini."Jelita, yang berdiri agak jauh dari Novita, hanya bisa menunduk. Ia tahu persis apa yang akan dibicarakan."Apa maksudmu?" Novita bertanya, meski dari nada suaranya, ia juga sudah bisa menebak."Tentang Raditya dan... mainan yang dia berikan pada Jelita," jawab Bambang hati-hati.Novita langsung menegang. "Itu hanya
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Baskara masih terasa mencekam. Novita, dengan mata sembab dan wajah lelah, sibuk mondar-mandir di ruang keluarga, berusaha menjaga Raditya yang baru berusia satu tahun.Bocah kecil itu berjalan dengan lincah, dan mencoba mengambil apa saja yang bisa diraihnya. Sementara itu, Jelita hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, hatinya perih melihat putranya begitu dekat namun tak terjangkau."Radit, jangan, Nak," ujar Novita lembut sambil mengambil remote TV dari tangan mungil Raditya. Balita itu mulai merengek, tangannya menggapai-gapai ingin mengambil kembali benda yang menarik perhatiannya.Jelita, yang sejak tadi hanya berdiri di ambang pintu, akhirnya memberanikan diri untuk mendekat. "Mbak, biar saya bantu—""Tidak perlu," potong