"Raditya, sayang..." bisik Jelita lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan mungil putranya yang terbaring di box bayi.
Pagi itu, Jelita terbangun lebih awal dari biasanya. Tidurnya tak nyenyak, dihantui mimpi-mimpi tentang Raditya. Ketika ia melangkah ke ruang tamu untuk menenangkan pikirannya, betapa terkejutnya ia mendapati box bayi Raditya ada di sana. Tanpa pikir panjang, ia mendekat, hatinya berdebar kencang.
Raditya, seolah merasakan kehadiran ibunya, membuka matanya perlahan. Tatapan polosnya bertemu dengan mata Jelita yang berkaca-kaca. Tangan mungilnya bergerak, seakan mencari kehangatan yang familiar.
Jelita tak kuasa menahan diri. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Raditya dengan lembut. Betapa terkejutnya ia ketika Raditya menggenggam jarinya erat, seolah tak ingin melepaskan.
Hari demi hari berlalu dengan begitu lambat bagi Jelita. Setiap pagi ia terbangun dengan harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk, namun kenyataan selalu menghantamnya dengan kejam. Raditya, putra kecilnya yang begitu ia rindukan, berada begitu dekat namun terasa begitu jauh.Setiap hari, Jelita harus menyaksikan putranya tumbuh di bawah asuhan orang lain. Ia melihat bagaimana Raditya belajar tengkurap, kemudian merangkak, dan akhirnya berdiri dengan bantuan.Setiap pencapaian kecil Raditya membuat hati Jelita membuncah dengan kebanggaan, namun pada saat yang sama juga membuatnya hancur karena ia tak bisa merayakannya bersama putranya.Novita, dengan kewaspadaannya yang tak pernah surut, selalu memastikan Jelita tak pernah berada terlalu dekat dengan Raditya. Setiap kali Jelita mencoba mendekati Raditya, Novita
Pagi itu, kediaman Baskara tampak berbeda dari biasanya. Hiasan warna-warni menghiasi setiap sudut rumah, balon-balon berbentuk karakter kartun favorit Raditya mengambang di udara, dan aroma lezat kue-kue serta hidangan pesta menguar dari dapur. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba - ulang tahun pertama Raditya.Jelita bangun pagi-pagi sekali, hatinya berdebar-debar menyambut hari istimewa ini. Meski ia tahu posisinya yang sulit, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik pada hari ulang tahun putranya. Dengan hati-hati, ia mengenakan gaun terbaiknya, sebuah gaun berwarna biru muda yang elegan namun sederhana.Sementara itu, Bambang dan Novita sibuk menyambut tamu-tamu yang mulai berdatangan. Para rekan bisnis Baskara Group, tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis, serta kerabat dekat keluarga Baskara memenuhi halaman dan ruang tamu yang luas.Raditya, yang menjadi bintang utama acara, digendong bergantian oleh Bambang dan Novita, dipeluk dan dicium oleh para tamu yang gemas melihat
Malam telah larut ketika pesta akhirnya usai. Para tamu mulai berpamitan satu per satu, meninggalkan rumah keluarga Baskara yang kini tampak berantakan dengan sisa-sisa pesta. Jelita, yang sepanjang acara berusaha untuk tetap tidak mencolok, akhirnya bisa kembali ke kamarnya.Begitu pintu tertutup di belakangnya, pertahanan Jelita runtuh. Ia jatuh terduduk di lantai, isakan yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi gaun biru mudanya yang indah.Bayangan Raditya yang memanggil "Ma... ma..." terus berputar dalam benaknya. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah di suatu tempat dalam diri putra kecilnya itu, masih ada ingatan tentang ibunya yang sebenarnya?Sementara Jelita larut dalam kesedihannya, di ruang keluarga, Bambang, Novita, dan Roni Baskara sedang terlibat dalam percakapan s
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai-tirai jendela ruang makan keluarga Baskara, menerangi meja makan yang telah ditata rapi dengan berbagai hidangan sarapan. Bambang, Novita, dan Roni duduk mengelilingi meja, suasana terasa tegang meski tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.Roni memecah keheningan, "Jadi, Bambang, bagaimana dengan rencana kita semalam? Sudah kau pikirkan?"Bambang meletakkan sendoknya, matanya menatap piring di hadapannya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Roni dan Novita bergantian."Maaf, Ayah, Novita. Saya... saya tidak bisa melakukannya," ujar Bambang dengan suara pelan namun tegas.Novita hampir tersedak kopinya. "Apa maksudmu, Bang?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Malam telah larut ketika Bambang melangkahkan kakinya menuju kamar Jelita. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara terasa begitu sunyi, hanya detak jam dinding yang sesekali memecah keheningan.Bambang berhenti sejenak di depan pintu kamar Jelita, tangannya terangkat hendak mengetuk, namun ia ragu. Pikirannya kembali pada percakapan di meja makan pagi tadi, tentang rencana perceraian yang diusulkan Novita. Hatinya berkecamuk, antara rasa bersalah dan kebingungan yang tak berkesudahan.Akhirnya, dengan satu tarikan napas dalam, Bambang memberanikan diri mengetuk pintu. "Jelita? Ini aku, Bambang. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan suara pelan.Terdengar suara langkah kaki dari dalam kamar, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Jelita berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur sederhana namun tetap memancarkan kecantikan alaminya. Matanya yang lelah menatap Bambang dengan sedikit terkejut."Abang? Ada apa malam-malam begini?" tanya Jelita, suaranya lembut namun terdengar sedikit kha
Pagi menjelang, sinar mentari perlahan merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar Bambang. Ia terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.Semalaman ia nyaris tak bisa memejamkan mata, pikirannya terus berputar pada percakapannya dengan Jelita dan rencana perceraian yang diusulkan Novita.Bambang bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju jendela dan menyibak tirai. Pemandangan taman belakang rumahnya yang asri menyambutnya, namun bahkan keindahan alam pagi itu tak mampu mengusir kegelisahan yang bersarang di hatinya.Ia menghela napas panjang, mengingat kembali setiap detail percakapannya dengan Jelita semalam. Kelembutan suaranya, kesabaran dalam matanya, dan bagaimana ia dengan mudah memaafkan semua perlakuan tidak adil yang telah ia terima.
Siang itu, Jelita sedang duduk termenung di taman belakang rumah keluarga Baskara. Matanya menerawang jauh, menatap hamparan taman yang indah namun tak mampu menghibur hatinya yang gundah. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan yang menyelimutinya.Dengan enggan, Jelita meraih ponselnya. Matanya melebar ketika melihat nama pengirim pesan yang muncul di layar: Faris."Jelita, aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita bertemu di taman tengah kota sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Jelita tertegun membaca pesan tersebut. Sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan Faris. Faris adalah satu-satunya orang di luar keluarga Baskara yang mengetahui situasi sulit yang dihadapinya.Sejenak, Jelita ragu. Ia tahu betul bahwa Novita tidak akan senang jika ia pergi keluar rumah tanpa pengawasan. Namun, hatinya merindukan sebuah pelarian, sebuah kesempatan untuk berbicara dengan seseorang yang benar-benar peduli padanya.Dengan tangan gemetar, Jelita membalas pesan Faris, menye
Malam telah larut ketika Jelita tiba kembali di kediaman keluarga Baskara. Rumah besar itu tampak sunyi, hanya terdengar deru halus pendingin ruangan yang memecah keheningan. Dengan langkah pelan, Jelita memasuki rumah, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan penghuni lainnya.Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati Novita masih terjaga, duduk di ruang keluarga dengan tatapan tajam mengarah padanya."Dari mana saja kau?" tanya Novita dingin, matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam.Jelita menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. "Aku... aku hanya bertemu teman lama, seperti yang kukatakan tadi, Mbak."Novita bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Teman lama? Siapa? Apa yang kalia