"Jelita, ayo makan dulu," suara Bi Inah, pelayan setia keluarga Baskara, terdengar lembut dari balik pintu kamar.
Jelita berbaring menyamping di ranjangnya, matanya kosong menatap jendela. "Nanti saja, Bi. Aku belum lapar," jawabnya pelan.
Bibi Inah menghela nafas panjang. Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Faris, dan selama itu pula Jelita seolah kehilangan semangat hidupnya. Perutnya yang semakin membesar seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, namun justru semakin menambah beban di pundaknya.
Hari-hari Jelita dipenuhi dengan kesedihan dan kekosongan. Ia jarang keluar kamar, hanya sesekali turun untuk makan atau check-up rutin kehamilannya. Bambang dan Novita pun semakin jarang berinteraksi dengannya, seolah Jelita hanyalah wadah yang harus dijaga sampai saatnya tiba.
"Selamat pagi, Jelita," suara Novita memecah keheningan pagi itu, membuat Jelita tersentak dari lamunannya. "Sudah waktunya."Jelita menatap Novita dengan mata sembab, tangannya masih erat mendekap bayi mungil yang tertidur lelap di pelukannya. "Mbak, kumohon... beri aku waktu sedikit lagi," pintanya dengan suara bergetar.Novita menggeleng tegas. "Kita sudah sepakat, Jelita. Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang, biarkan kami yang mengambil alih."Air mata kembali mengalir di pipi Jelita saat ia mencium kening bayinya untuk terakhir kali. "Ibu mencintaimu, sayang," bisiknya lirih. "Selalu."Dengan hati yang hancur, Jelita menyerahkan bayinya kepada Novita. Saat tangan mungil itu terlepas dari genggamannya, Jelita merasakan sebagian dari dirinya ikut terenggut.Novita menggendong bayi itu dengan canggung, seolah tidak terbiasa dengan kehangatan makhluk mungil di pelukannya. "Dia akan mendapatkan yang terbaik, Jelita. Percayalah."Jelita hanya bisa mengangguk lemah, matany
"Selamat datang, Ayah," sapa Novita dengan senyum lebar, menyambut ayahnya yang baru saja tiba di kediaman mewah keluarga Baskara. "Kami sangat senang Ayah bisa hadir di acara istimewa ini."Roni Baskara, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, mengangguk puas. "Tentu saja, Novita. Ini adalah momen yang sangat penting bagi keluarga kita. Kelahiran penerus Baskara harus dirayakan dengan semestinya."Bambang yang berdiri di samping Novita ikut menyambut, "Selamat datang, Ayah. Mari, silakan masuk. Para tamu sudah mulai berdatangan."Kediaman Baskara telah disulap menjadi venue pesta yang mewah dan elegan. Rangkaian bunga segar menghiasi setiap sudut, aroma harum pengharum ruangan bercampur dengan wangi hidangan lezat yang telah disiapkan. Para pelayan berseragam rapi hilir mudik melayani tamu undangan yang mulai me
Malam telah larut ketika Jelita duduk di tepi ranjangnya, tangannya memegang botol berisi ASI yang baru saja ia pompa. Matanya menatap kosong ke arah pintu, membayangkan kamar Raditya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada."Bi Inah," panggil Jelita pelan. "Bisakah kau memberikan ini kepada pengasuh Radit?"Bi Inah mengangguk, mengambil botol itu dari tangan Jelita. "Baik, Nona. Akan saya antarkan sekarang."Sebelum Bi Inah keluar, Jelita menahan tangannya. "Bi, bisakah... bisakah kau memberitahuku bagaimana keadaan Radit? Apakah dia sudah tidur?"Raut wajah Bi Inah melembut, ia bisa merasakan kerinduan yang mendalam dari suara Jelita. "Baiklah, Nona. Saya akan mengeceknya sekalian."Beberapa menit kemudian,
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai jendela, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia terdiam, mencoba mengingat mimpi indah yang baru saja ia alami—mimpi di mana ia bisa memeluk dan menimang Raditya sepuasnya.Namun, kenyataan yang pahit segera menghantamnya kembali. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru yang penuh tantangan.Setelah bersiap-siap, Jelita melangkah keluar kamar. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara masih sepi, hanya terdengar sayup-sayup suara para pelayan yang mulai beraktivitas di dapur.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke depan pintu kamar Raditya. Ia berhenti sejenak, tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu namun ragu. Akhirnya, dengan berat hati, ia menurunkan tangannya dan berbal
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari yang ditunggu-tunggu sekaligus ditakuti oleh Jelita pun tiba. Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara sudah riuh sejak subuh.Para pelayan sibuk mondar-mandir, memastikan segala sesuatunya sempurna untuk acara besar nanti malam.Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Selama seminggu terakhir, ia telah menjalani berbagai pelatihan intensif.Dari cara berjalan yang anggun, cara makan yang elegan, hingga cara berbicara yang santun ala kalangan atas. Meskipun awalnya canggung dan sering melakukan kesalahan, Jelita ternyata cepat belajar.Para pengajarnya bahkan memuji kemampuan adaptasinya yang luar biasa."Nona Jelita," panggil Bi Inah sambil mengetuk pintu kamarnya. "Sudah waktunya bersiap-siap. Tim rias akan datang sebentar lagi."Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. "Baik, Bi. Aku akan segera keluar."Begitu Jelita membuka pintu, ia disambut oleh sekelompok wanita yang m
Seiring berjalannya malam, suasana pesta semakin meriah. Para tamu berdansa di lantai dansa diiringi alunan musik orkestra yang memukau.Hidangan mewah terus mengalir, disajikan oleh para pramusaji berseragam rapi. Di tengah kemewahan itu, Jelita merasa seperti pengamat yang tak kasat mata, menyaksikan dunia yang begitu asing baginya.Beberapa kali ia hampir terjebak dalam percakapan yang sulit, namun berhasil mengelak dengan anggun berkat pelatihan intensif yang telah ia jalani.Namun, ketegangan terus menggerogoti batinnya. Setiap kali matanya bertemu pandang dengan Raditya—meski hanya sekilas—hatinya terasa diremas kuat-kuat."Ah, Nona Jelita," sebuah suara mengejutkannya. Jelita berbalik dan mendapati Hadi, rekan bisnis Bambang yang tadi dikenalkan padanya. "Sendirian saja?"Jelita tersenyum sopan, "Ah, ya Pak Hadi. Saya sedang menikmati suasana pesta yang meriah ini.""Bagus, bagus," Hadi mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong,
"Nona, Anda tampak sedikit pucat. Apakah Anda baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja bergabung dalam lingkaran kecil tempat Jelita berdiri.Jelita memaksakan senyum sopan, berusaha menyembunyikan gejolak emosi yang baru saja ia alami. "Ah, saya baik-baik saja, Bu. Mungkin hanya sedikit lelah dengan suasana pesta yang ramai.""Ah, saya mengerti. Pesta-pesta seperti ini memang bisa sangat melelahkan, terutama bagi orang yang tidak terbiasa," wanita itu mengangguk simpatik. "Ngomong-ngomong, saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Anda tamu baru dalam pesta ini?"Jelita mengangguk sopan. "Benar, Bu. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan ini adalah pesta pertama yang saya hadiri sejak kepulangan saya.""Oh, begitu rupanya. Pantas saja Anda terlihat sedikit canggung," wanita itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, Anda akan segera terbiasa. Ngomong-ngomong, saya Ibu Amelia, istri Pak Santoso dari Santoso Group. Boleh saya
Pesta mewah itu akhirnya mencapai penghujungnya. Satu per satu, para tamu undangan mulai berpamitan, meninggalkan ballroom yang tadinya dipenuhi gelak tawa dan alunan musik.Jelita, yang telah menjalani malam yang menegangkan, merasa lega sekaligus cemas. Ia berhasil melewati malam ini tanpa membongkar penyamarannya, namun entah berapa lama lagi ia bisa mempertahankan kebohongan ini.Bambang, dengan senyum diplomatis yang masih terpasang di wajahnya, menghampiri Jelita yang sedang berdiri di sudut ruangan. "Kau sudah siap untuk pulang?" tanyanya dengan suara pelan.Jelita mengangguk lemah. "Ya, aku rasa sudah waktunya kita pergi."Mereka berdua berjalan menuju tempat Novita berdiri, masih menggendong Raditya yang tertidur pulas. Melihat kedatangan mereka, Novita tersenyum, namun Jelita bisa melihat ketegangan di balik senyum itu."Sayang, aku rasa sudah waktunya kita pulang," ujar Bambang pada istrinya. "Raditya juga sudah tertidur pulas."Novita mengangguk setuju. "Baiklah, ayo kita p
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No