Suasana di kediaman Baskara berubah drastis setelah kepergian Faris. Jelita merasakan kekosongan yang menyelimuti rumah besar itu, seolah cahaya terakhir yang menerangi hidupnya telah padam. Ia kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari tanpa kehadiran Faris.
Namun, belum sempat Jelita benar-benar menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Bambang masuk dengan wajah merah padam, matanya menyala-nyala penuh amarah.
"Apa-apaan yang tadi itu?" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
Jelita tersentak kaget, tubuhnya gemetar menghadapi kemarahan Bambang. "A-apa maksudnya, Bang?"
Bambang mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Jangan pura-pura bodoh! Aku melihat semuanya. Pelukan itu, ciuman itu..
"Jelita, ayo makan dulu," suara Bi Inah, pelayan setia keluarga Baskara, terdengar lembut dari balik pintu kamar.Jelita berbaring menyamping di ranjangnya, matanya kosong menatap jendela. "Nanti saja, Bi. Aku belum lapar," jawabnya pelan.Bibi Inah menghela nafas panjang. Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Faris, dan selama itu pula Jelita seolah kehilangan semangat hidupnya. Perutnya yang semakin membesar seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, namun justru semakin menambah beban di pundaknya.Hari-hari Jelita dipenuhi dengan kesedihan dan kekosongan. Ia jarang keluar kamar, hanya sesekali turun untuk makan atau check-up rutin kehamilannya. Bambang dan Novita pun semakin jarang berinteraksi dengannya, seolah Jelita hanyalah wadah yang harus dijaga sampai saatnya tiba.
"Selamat pagi, Jelita," suara Novita memecah keheningan pagi itu, membuat Jelita tersentak dari lamunannya. "Sudah waktunya."Jelita menatap Novita dengan mata sembab, tangannya masih erat mendekap bayi mungil yang tertidur lelap di pelukannya. "Mbak, kumohon... beri aku waktu sedikit lagi," pintanya dengan suara bergetar.Novita menggeleng tegas. "Kita sudah sepakat, Jelita. Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang, biarkan kami yang mengambil alih."Air mata kembali mengalir di pipi Jelita saat ia mencium kening bayinya untuk terakhir kali. "Ibu mencintaimu, sayang," bisiknya lirih. "Selalu."Dengan hati yang hancur, Jelita menyerahkan bayinya kepada Novita. Saat tangan mungil itu terlepas dari genggamannya, Jelita merasakan sebagian dari dirinya ikut terenggut.Novita menggendong bayi itu dengan canggung, seolah tidak terbiasa dengan kehangatan makhluk mungil di pelukannya. "Dia akan mendapatkan yang terbaik, Jelita. Percayalah."Jelita hanya bisa mengangguk lemah, matany
"Selamat datang, Ayah," sapa Novita dengan senyum lebar, menyambut ayahnya yang baru saja tiba di kediaman mewah keluarga Baskara. "Kami sangat senang Ayah bisa hadir di acara istimewa ini."Roni Baskara, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, mengangguk puas. "Tentu saja, Novita. Ini adalah momen yang sangat penting bagi keluarga kita. Kelahiran penerus Baskara harus dirayakan dengan semestinya."Bambang yang berdiri di samping Novita ikut menyambut, "Selamat datang, Ayah. Mari, silakan masuk. Para tamu sudah mulai berdatangan."Kediaman Baskara telah disulap menjadi venue pesta yang mewah dan elegan. Rangkaian bunga segar menghiasi setiap sudut, aroma harum pengharum ruangan bercampur dengan wangi hidangan lezat yang telah disiapkan. Para pelayan berseragam rapi hilir mudik melayani tamu undangan yang mulai me
Malam telah larut ketika Jelita duduk di tepi ranjangnya, tangannya memegang botol berisi ASI yang baru saja ia pompa. Matanya menatap kosong ke arah pintu, membayangkan kamar Raditya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada."Bi Inah," panggil Jelita pelan. "Bisakah kau memberikan ini kepada pengasuh Radit?"Bi Inah mengangguk, mengambil botol itu dari tangan Jelita. "Baik, Nona. Akan saya antarkan sekarang."Sebelum Bi Inah keluar, Jelita menahan tangannya. "Bi, bisakah... bisakah kau memberitahuku bagaimana keadaan Radit? Apakah dia sudah tidur?"Raut wajah Bi Inah melembut, ia bisa merasakan kerinduan yang mendalam dari suara Jelita. "Baiklah, Nona. Saya akan mengeceknya sekalian."Beberapa menit kemudian,
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai jendela, membangunkan Jelita dari tidur lelapnya. Untuk sesaat, ia terdiam, mencoba mengingat mimpi indah yang baru saja ia alami—mimpi di mana ia bisa memeluk dan menimang Raditya sepuasnya.Namun, kenyataan yang pahit segera menghantamnya kembali. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru yang penuh tantangan.Setelah bersiap-siap, Jelita melangkah keluar kamar. Lorong-lorong rumah mewah keluarga Baskara masih sepi, hanya terdengar sayup-sayup suara para pelayan yang mulai beraktivitas di dapur.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke depan pintu kamar Raditya. Ia berhenti sejenak, tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu namun ragu. Akhirnya, dengan berat hati, ia menurunkan tangannya dan berbal
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari yang ditunggu-tunggu sekaligus ditakuti oleh Jelita pun tiba. Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Baskara sudah riuh sejak subuh.Para pelayan sibuk mondar-mandir, memastikan segala sesuatunya sempurna untuk acara besar nanti malam.Jelita terbangun dengan perasaan campur aduk. Selama seminggu terakhir, ia telah menjalani berbagai pelatihan intensif.Dari cara berjalan yang anggun, cara makan yang elegan, hingga cara berbicara yang santun ala kalangan atas. Meskipun awalnya canggung dan sering melakukan kesalahan, Jelita ternyata cepat belajar.Para pengajarnya bahkan memuji kemampuan adaptasinya yang luar biasa."Nona Jelita," panggil Bi Inah sambil mengetuk pintu kamarnya. "Sudah waktunya bersiap-siap. Tim rias akan datang sebentar lagi."Jelita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. "Baik, Bi. Aku akan segera keluar."Begitu Jelita membuka pintu, ia disambut oleh sekelompok wanita yang m
Seiring berjalannya malam, suasana pesta semakin meriah. Para tamu berdansa di lantai dansa diiringi alunan musik orkestra yang memukau.Hidangan mewah terus mengalir, disajikan oleh para pramusaji berseragam rapi. Di tengah kemewahan itu, Jelita merasa seperti pengamat yang tak kasat mata, menyaksikan dunia yang begitu asing baginya.Beberapa kali ia hampir terjebak dalam percakapan yang sulit, namun berhasil mengelak dengan anggun berkat pelatihan intensif yang telah ia jalani.Namun, ketegangan terus menggerogoti batinnya. Setiap kali matanya bertemu pandang dengan Raditya—meski hanya sekilas—hatinya terasa diremas kuat-kuat."Ah, Nona Jelita," sebuah suara mengejutkannya. Jelita berbalik dan mendapati Hadi, rekan bisnis Bambang yang tadi dikenalkan padanya. "Sendirian saja?"Jelita tersenyum sopan, "Ah, ya Pak Hadi. Saya sedang menikmati suasana pesta yang meriah ini.""Bagus, bagus," Hadi mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong,
"Nona, Anda tampak sedikit pucat. Apakah Anda baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja bergabung dalam lingkaran kecil tempat Jelita berdiri.Jelita memaksakan senyum sopan, berusaha menyembunyikan gejolak emosi yang baru saja ia alami. "Ah, saya baik-baik saja, Bu. Mungkin hanya sedikit lelah dengan suasana pesta yang ramai.""Ah, saya mengerti. Pesta-pesta seperti ini memang bisa sangat melelahkan, terutama bagi orang yang tidak terbiasa," wanita itu mengangguk simpatik. "Ngomong-ngomong, saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Anda tamu baru dalam pesta ini?"Jelita mengangguk sopan. "Benar, Bu. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan ini adalah pesta pertama yang saya hadiri sejak kepulangan saya.""Oh, begitu rupanya. Pantas saja Anda terlihat sedikit canggung," wanita itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, Anda akan segera terbiasa. Ngomong-ngomong, saya Ibu Amelia, istri Pak Santoso dari Santoso Group. Boleh saya