"Jel, aku baru ingat sesuatu," ujar Faris tiba-tiba, memecah keheningan di taman belakang rumah keluarga Baskara.
Jelita menoleh, menatap Faris dengan pandangan bertanya. "Apa itu, Kak?"Faris tersenyum misterius. "Tunggu sebentar ya." Ia bangkit dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jelita yang kebingungan.Beberapa saat kemudian, Faris kembali dengan sebuah bingkisan di tangannya. "Ini," katanya sambil menyerahkan bingkisan itu kepada Jelita. "Sebenarnya aku membawa ini saat... yah, saat insiden itu terjadi."Jelita menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu. "Apa ini, Kak?""Bukalah," jawab Faris, senyum masih tersungging di wajahnya.Dengan hati-hati, Jelita membuka bingkisan itu. Matanya melebar saat melihat isinya. "Ini...""Baju couple untuk kamu dan bayimu," Faris menjelaskan. "Bergambar gajah lucu. Kamu masih menyukai gajah kan?"Jelita mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Tentu saja masih, Kak. Tapi... bagaimana kak"Wah, lihat baju hamil itu, Kak! Bagus sekali," seru Jelita dengan mata berbinar-binar.Faris mengikuti arah pandang Jelita. Mereka baru saja tiba di pusat perbelanjaan kota dan langsung menuju ke sebuah toko pakaian ibu hamil."Iya, bagus," Faris mengangguk setuju. "Kamu mau mencobanya?"Jelita mengangguk antusias. Seorang pelayan toko, wanita paruh baya dengan senyum ramah, menghampiri mereka."Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu."Ah, iya," jawab Jelita. "Saya ingin mencoba baju hamil yang di sana itu."Pelayan itu mengangguk dan mengambilkan baju yang ditunjuk Jelita. "Silakan, ruang ganti ada di sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah pojok toko.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian, Kak Faris," ujar Jelita dengan senyum lembut saat mereka tiba di depan kediaman Baskara. Langit sudah mulai menggelap, memberi tanda bahwa hari telah beranjak petang.Faris mengangguk, membalas senyuman Jelita. "Sama-sama, Jel. Aku senang bisa menemanimu hari ini."Jelita turun dari mobil, diikuti oleh Faris yang membantunya membawakan beberapa tas belanjaan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu depan rumah megah itu.Mereka masuk ke dalam rumah. Jelita langsung menuju ke kamarnya, sementara Faris masih duduk di ruang tamu. Ia memandang sekeliling, mengamati interior mewah kediaman Baskara yang selalu membuatnya merasa tertegun.Tak lama kemudian, Bambang muncul dari arah ruang kerja. Matanya menyipit saat melihat Faris duduk s
"Jelita." Suara dingin Novita terdengar dari balik pintu kamar, disusul dengan ketukan keras yang mengejutkan.Jelita tersentak dari lamunannya, cepat-cepat menghapus sisa air mata. "Ya, Mbak. Silakan masuk."Pintu terbuka, dan Novita melangkah masuk dengan wajah kaku. Matanya yang tajam langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada tas-tas belanjaan di lantai sebelum akhirnya menatap Jelita dengan pandangan menilai."Kulihat kau habis berbelanja," ujar Novita datar, tanpa nada ketertarikan sedikit pun.Jelita mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Beberapa perlengkapan untukku."Novita mendengus pelan. "Hmm. Setidaknya kau mulai mempersiapkan diri untuk peranmu."
Pagi itu, mentari bersinar redup, seolah enggan menyambut hari yang akan datang. Faris berdiri di ruang tamu kediaman Baskara, tas travel kecil di sampingnya. Ia telah memutuskan untuk kembali ke apartemennya, meski hatinya berat meninggalkan Jelita."Saya pamit, Bu Novita, Pak Bambang," ujar Faris dengan sopan, mengangguk kepada pasangan Baskara yang berdiri di hadapannya.Novita mengangguk singkat, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hati-hati di jalan, Faris."Bambang, di sisi lain, hanya menatap Faris dengan dingin, tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di antara mereka terasa begitu pekat, seolah bisa dipotong dengan pisau.Jelita berdiri di samping Bambang, matanya berkaca-kaca. "Kak Faris..." bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis.Faris tersenyum lembut pada Jelita. "Jaga dirimu baik-baik, Jel. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup."Jelita mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Ia ingin berlari, memeluk Faris dan memintanya untuk tinggal. Namun, ke
Suasana di kediaman Baskara berubah drastis setelah kepergian Faris. Jelita merasakan kekosongan yang menyelimuti rumah besar itu, seolah cahaya terakhir yang menerangi hidupnya telah padam. Ia kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari tanpa kehadiran Faris.Namun, belum sempat Jelita benar-benar menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Bambang masuk dengan wajah merah padam, matanya menyala-nyala penuh amarah."Apa-apaan yang tadi itu?" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Jelita tersentak kaget, tubuhnya gemetar menghadapi kemarahan Bambang. "A-apa maksudnya, Bang?"Bambang mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Jangan pura-pura bodoh! Aku melihat semuanya. Pelukan itu, ciuman itu..
"Jelita, ayo makan dulu," suara Bi Inah, pelayan setia keluarga Baskara, terdengar lembut dari balik pintu kamar.Jelita berbaring menyamping di ranjangnya, matanya kosong menatap jendela. "Nanti saja, Bi. Aku belum lapar," jawabnya pelan.Bibi Inah menghela nafas panjang. Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Faris, dan selama itu pula Jelita seolah kehilangan semangat hidupnya. Perutnya yang semakin membesar seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, namun justru semakin menambah beban di pundaknya.Hari-hari Jelita dipenuhi dengan kesedihan dan kekosongan. Ia jarang keluar kamar, hanya sesekali turun untuk makan atau check-up rutin kehamilannya. Bambang dan Novita pun semakin jarang berinteraksi dengannya, seolah Jelita hanyalah wadah yang harus dijaga sampai saatnya tiba.
"Selamat pagi, Jelita," suara Novita memecah keheningan pagi itu, membuat Jelita tersentak dari lamunannya. "Sudah waktunya."Jelita menatap Novita dengan mata sembab, tangannya masih erat mendekap bayi mungil yang tertidur lelap di pelukannya. "Mbak, kumohon... beri aku waktu sedikit lagi," pintanya dengan suara bergetar.Novita menggeleng tegas. "Kita sudah sepakat, Jelita. Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang, biarkan kami yang mengambil alih."Air mata kembali mengalir di pipi Jelita saat ia mencium kening bayinya untuk terakhir kali. "Ibu mencintaimu, sayang," bisiknya lirih. "Selalu."Dengan hati yang hancur, Jelita menyerahkan bayinya kepada Novita. Saat tangan mungil itu terlepas dari genggamannya, Jelita merasakan sebagian dari dirinya ikut terenggut.Novita menggendong bayi itu dengan canggung, seolah tidak terbiasa dengan kehangatan makhluk mungil di pelukannya. "Dia akan mendapatkan yang terbaik, Jelita. Percayalah."Jelita hanya bisa mengangguk lemah, matany
"Selamat datang, Ayah," sapa Novita dengan senyum lebar, menyambut ayahnya yang baru saja tiba di kediaman mewah keluarga Baskara. "Kami sangat senang Ayah bisa hadir di acara istimewa ini."Roni Baskara, pria paruh baya yang masih terlihat gagah, mengangguk puas. "Tentu saja, Novita. Ini adalah momen yang sangat penting bagi keluarga kita. Kelahiran penerus Baskara harus dirayakan dengan semestinya."Bambang yang berdiri di samping Novita ikut menyambut, "Selamat datang, Ayah. Mari, silakan masuk. Para tamu sudah mulai berdatangan."Kediaman Baskara telah disulap menjadi venue pesta yang mewah dan elegan. Rangkaian bunga segar menghiasi setiap sudut, aroma harum pengharum ruangan bercampur dengan wangi hidangan lezat yang telah disiapkan. Para pelayan berseragam rapi hilir mudik melayani tamu undangan yang mulai me