Sinar mentari pagi menembus tirai jendela rumah sakit, menerangi ruangan tempat Jelita dirawat. Suasana tenang, kontras dengan kekacauan yang mereka alami semalam. Jelita berbaring di ranjang, sementara Faris duduk di kursi roda di sampingnya. Keduanya tampak lelah, namun ada kelegaan yang terpancar dari wajah mereka.
"Bagaimana keadaanmu, Jel?" tanya Faris, memecah keheningan.Jelita tersenyum lemah. "Baik. Dokter bilang bayiku juga baik-baik saja. Syukurlah." Ia menatap pundak Faris yang dibalut perban. "Kau sendiri? Masih sakit?"Faris menggeleng. "Tidak seberapa. Aku lebih khawatir padamu."Hening sejenak. Faris tampak gelisah, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu."Jel," akhirnya Faris bersuara. "Ada... ada yang ingin kukatakan padamu."Jelita menoleh, menatap Faris dengan penasaran. "Apa itu?"Faris menarik napas dalam. "Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi setelah apa yang terjadi semalam, aku sadar bahwa hidup ini singkat. Ada haKeesokan harinya, sinar mentari pagi kembali menerangi kamar rumah sakit tempat Jelita dirawat. Suasana terasa lebih ringan dibandingkan hari sebelumnya.Dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Jelita dan memberikan kabar gembira bahwa ia sudah diperbolehkan pulang.Novita, yang sejak pagi sudah berada di rumah sakit untuk menjemput Jelita, tersenyum ringan mendengar kabar tersebut. Ia segera membantu Jelita bersiap-siap, sementara Bambang mengurus administrasi rumah sakit."Syukurlah kamu sudah boleh pulang, Jel," ucap Novita sambil membantu Jelita mengemasi barang-barangnya. "Kau tahu kan, kami semua sangat khawatir."Jelita menunduk. "Terima kasih, Mbak Novi. Maaf sudah membuat kalian cemas."Saat mereka sedang bersiap-siap, Faris muncul di pintu kamar. "Kudengar kau sudah boleh pulang, Jel?" tanyanya dengan senyum lega.Jelita mengangguk. "Iya, Kak. Dokter bilang kondisiku dan bayiku sudah stabil."Novita menatap Faris, kemudian beralih ke Jelita.
"Jel, aku baru ingat sesuatu," ujar Faris tiba-tiba, memecah keheningan di taman belakang rumah keluarga Baskara.Jelita menoleh, menatap Faris dengan pandangan bertanya. "Apa itu, Kak?"Faris tersenyum misterius. "Tunggu sebentar ya." Ia bangkit dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jelita yang kebingungan.Beberapa saat kemudian, Faris kembali dengan sebuah bingkisan di tangannya. "Ini," katanya sambil menyerahkan bingkisan itu kepada Jelita. "Sebenarnya aku membawa ini saat... yah, saat insiden itu terjadi."Jelita menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu. "Apa ini, Kak?""Bukalah," jawab Faris, senyum masih tersungging di wajahnya.Dengan hati-hati, Jelita membuka bingkisan itu. Matanya melebar saat melihat isinya. "Ini...""Baju couple untuk kamu dan bayimu," Faris menjelaskan. "Bergambar gajah lucu. Kamu masih menyukai gajah kan?"Jelita mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Tentu saja masih, Kak. Tapi... bagaimana kak
"Wah, lihat baju hamil itu, Kak! Bagus sekali," seru Jelita dengan mata berbinar-binar.Faris mengikuti arah pandang Jelita. Mereka baru saja tiba di pusat perbelanjaan kota dan langsung menuju ke sebuah toko pakaian ibu hamil."Iya, bagus," Faris mengangguk setuju. "Kamu mau mencobanya?"Jelita mengangguk antusias. Seorang pelayan toko, wanita paruh baya dengan senyum ramah, menghampiri mereka."Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu."Ah, iya," jawab Jelita. "Saya ingin mencoba baju hamil yang di sana itu."Pelayan itu mengangguk dan mengambilkan baju yang ditunjuk Jelita. "Silakan, ruang ganti ada di sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah pojok toko.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian, Kak Faris," ujar Jelita dengan senyum lembut saat mereka tiba di depan kediaman Baskara. Langit sudah mulai menggelap, memberi tanda bahwa hari telah beranjak petang.Faris mengangguk, membalas senyuman Jelita. "Sama-sama, Jel. Aku senang bisa menemanimu hari ini."Jelita turun dari mobil, diikuti oleh Faris yang membantunya membawakan beberapa tas belanjaan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu depan rumah megah itu.Mereka masuk ke dalam rumah. Jelita langsung menuju ke kamarnya, sementara Faris masih duduk di ruang tamu. Ia memandang sekeliling, mengamati interior mewah kediaman Baskara yang selalu membuatnya merasa tertegun.Tak lama kemudian, Bambang muncul dari arah ruang kerja. Matanya menyipit saat melihat Faris duduk s
"Jelita." Suara dingin Novita terdengar dari balik pintu kamar, disusul dengan ketukan keras yang mengejutkan.Jelita tersentak dari lamunannya, cepat-cepat menghapus sisa air mata. "Ya, Mbak. Silakan masuk."Pintu terbuka, dan Novita melangkah masuk dengan wajah kaku. Matanya yang tajam langsung menyapu ruangan, berhenti sejenak pada tas-tas belanjaan di lantai sebelum akhirnya menatap Jelita dengan pandangan menilai."Kulihat kau habis berbelanja," ujar Novita datar, tanpa nada ketertarikan sedikit pun.Jelita mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Beberapa perlengkapan untukku."Novita mendengus pelan. "Hmm. Setidaknya kau mulai mempersiapkan diri untuk peranmu."
Pagi itu, mentari bersinar redup, seolah enggan menyambut hari yang akan datang. Faris berdiri di ruang tamu kediaman Baskara, tas travel kecil di sampingnya. Ia telah memutuskan untuk kembali ke apartemennya, meski hatinya berat meninggalkan Jelita."Saya pamit, Bu Novita, Pak Bambang," ujar Faris dengan sopan, mengangguk kepada pasangan Baskara yang berdiri di hadapannya.Novita mengangguk singkat, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hati-hati di jalan, Faris."Bambang, di sisi lain, hanya menatap Faris dengan dingin, tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di antara mereka terasa begitu pekat, seolah bisa dipotong dengan pisau.Jelita berdiri di samping Bambang, matanya berkaca-kaca. "Kak Faris..." bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis.Faris tersenyum lembut pada Jelita. "Jaga dirimu baik-baik, Jel. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup."Jelita mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Ia ingin berlari, memeluk Faris dan memintanya untuk tinggal. Namun, ke
Suasana di kediaman Baskara berubah drastis setelah kepergian Faris. Jelita merasakan kekosongan yang menyelimuti rumah besar itu, seolah cahaya terakhir yang menerangi hidupnya telah padam. Ia kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari-hari tanpa kehadiran Faris.Namun, belum sempat Jelita benar-benar menenangkan diri, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Bambang masuk dengan wajah merah padam, matanya menyala-nyala penuh amarah."Apa-apaan yang tadi itu?" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Jelita tersentak kaget, tubuhnya gemetar menghadapi kemarahan Bambang. "A-apa maksudnya, Bang?"Bambang mendekati Jelita dengan langkah mengancam. "Jangan pura-pura bodoh! Aku melihat semuanya. Pelukan itu, ciuman itu..
"Jelita, ayo makan dulu," suara Bi Inah, pelayan setia keluarga Baskara, terdengar lembut dari balik pintu kamar.Jelita berbaring menyamping di ranjangnya, matanya kosong menatap jendela. "Nanti saja, Bi. Aku belum lapar," jawabnya pelan.Bibi Inah menghela nafas panjang. Sudah dua bulan berlalu sejak kepergian Faris, dan selama itu pula Jelita seolah kehilangan semangat hidupnya. Perutnya yang semakin membesar seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, namun justru semakin menambah beban di pundaknya.Hari-hari Jelita dipenuhi dengan kesedihan dan kekosongan. Ia jarang keluar kamar, hanya sesekali turun untuk makan atau check-up rutin kehamilannya. Bambang dan Novita pun semakin jarang berinteraksi dengannya, seolah Jelita hanyalah wadah yang harus dijaga sampai saatnya tiba.
Pagi itu, matahari bersinar hangat menyambut hari kepulangan Raditya dari rumah sakit. Kediaman Baskara yang biasanya tenang kini dipenuhi kesibukan. Bi Inah sejak subuh sudah berkutat di dapur, menyiapkan bubur ayam special dan sup jagung kesukaan Radit. Aroma masakan menguar memenuhi setiap sudut rumah, menciptakan suasana hangat yang menenangkan. Tak lupa, Jelita juga sudah menyiapkan pancake kesukaan Radit. Jelita mondar-mandir merapikan kamar Radit untuk yang kesekian kalinya, memastikan semuanya sempurna untuk kepulangan putra sulungnya. Ayu yang baru bangun tidur menggeliat dalam gendongannya, tangan mungilnya menggapai-gapai udara kosong. "Sebentar ya, Sayang," Jelita mencium pipi tembem putrinya. "Kakak Radit sebentar lagi pulang." Pak Abdul yang sejak tadi berdiri di teras depan akhirnya berseru, "Mobilnya sudah masuk halaman!" Jelita merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu - bukan hanya kepulangan Radit dari rumah sakit, tapi
Suasana di ruang ICU malam itu semakin hangat dengan kedatangan Ayah dan Ibu Novita. Roni yang baru saja tiba langsung menghampiri ranjang tempat cucunya berbaring. Wajahnya yang biasanya tegas kini diliputi kekhawatiran melihat kondisi Raditya."Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan cucuku?" tanya Roni dengan suara bergetar, tangannya menggenggam tangan Radit yang masih terpasang selang infus.Novita, yang berdiri di samping ayahnya, mengusap air mata sebelum menjelaskan, "Radit mengalami pendarahan internal, Yah. Dia butuh transfusi darah darurat..." Ia berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Jelita yang masih menggendong Ayu. "Dan... dan Jelita yang menyelamatkannya."Roni mengangkat wajahnya, menatap sosok yang selama ini ia tentang kehadirannya karena takut jika ia merebut Raditya. Jelita berdiri dengan tenang, sesekali menimang Ayu yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Roni kali ini - sebuah pengakuan tak terucap atas kemuliaan hati per
Malam semakin larut di rumah sakit kota. Suara langkah tergesa terdengar di koridor ICU, diiringi tangisan bayi yang sesekali pecah."Jelita!" Ibu Jelita bergegas menghampiri putrinya yang baru keluar dari ruang ICU. Di gendongannya, Ayu menggeliat tak nyaman, seolah merasakan ketegangan di sekitarnya. "Bagaimana keadaan Radit?""Masih koma, Bu," Jelita mengusap air matanya. "Tapi dokter bilang transfusi darahnya berhasil."Ayah Jelita yang berjalan di belakang mereka mengedarkan pandangan, mendapati Bambang dan Novita berdiri tak jauh dari situ. Ada ketegangan sesaat di udara, sebelum akhirnya Novita melangkah maju."Hendra, Ratna," sapanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah datang.""Bagaimana tidak datang?" Ibu Jelita menjawab lembut. "Raditya tetap cucu kami."Ayu yang berada dalam gendongan Ibu Jelita mulai rewel, tangannya menggapai-gapai ke arah Jelita."Sini, Sayang," Jelita mengambil alih Ayu, menimangnya pelan. "Anak Ibu jangan nangis ya..."Bambang menatap putri kec
"Hubungi Jelita." Suara Novita terdengar lantang meskipun ia sedang lemah.Bambang mengangguk. Ia segera menelepon Jelita untuk memberi tahu kabar tentang Raditya.“Halo, Jel.” Suara Bambang terdengar serak.“Ya, Bang? Ada apa? Kenapa suaranya terdengar serak? Abang sakit?” Suara Jelita terdengar kebingungan.“Raditya… Radit kecelakaan, Jel.” Suara Bambang tersenggal oleh tangisnya.“Apa? Bagaimana bisa? Kondisinya bagaimana?” Jelita terdengar khawatir.“Sekarang masih koma. Cepatlah datang ke rumah sakit pusat kota. Kumohon.” Suara Bambang memohon.“Baik, Bang. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku.” Jelita segera bergegas dan bersiap. Ibunya yang tampak bingung bertanya mengapa Jelita sangat terburu-buru. Jelita hanya menjelaskan sekilas bahwa Raditya mengalami kecelakaan dan membutuhkan dirinya.“Bu, aku titip Ayu. Nanti aku akan telepon Ibu untuk mengabarkan kondisi Raditya.” Ujar Jelita sambil mengenakan sepatu.“Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Segera kabari Ibu dan Ayah.” ucap
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung. Novita melirik jam tangannya sambil menyandarkan tubuh pada mobil yang ia parkir di seberang sekolah TK Raditya. Sudah hampir pukul sebelas, sebentar lagi bel pulang akan berbunyi. Hari ini ia memutuskan untuk menjemput Raditya sendiri, memberikan kejutan untuk putra kesayangannya itu."Pak Abdul sedang tidak enak badan, tapi nggak apa-apa," gumamnya pada diri sendiri. "Sekali-sekali aku yang jemput Radit sendirian."Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Para orang tua yang sudah menunggu di depan gerbang mulai bersiap menyambut anak-anak mereka. Satu per satu, murid-murid TK itu berhamburan keluar dengan tas ransel kecil mereka."Mama!" suara familiar itu membuat Novita menoleh.Di sana, Raditya berdiri di depan gerba
Sore itu, Jelita duduk di teras rumahnya sambil memandangi Ayu yang tertidur pulas di box bayi dan menikmati secangkir teh. Sudah dua bulan berlalu sejak terakhir kali Bambang menginjakkan kaki di rumah ini. Meski demikian, setiap awal bulan, rekening Jelita selalu terisi dengan nominal yang bahkan lebih besar dari biasanya.Tiba-tiba teleponnya berdering. Muncul nama Bi Inah di layarnya. Jelita segera mengangkat telepon dari Bi Inah."Non," Suara Bi Inah terdengar di ujung sana. "Apa kabar? Non Jelita dan Non Ayu sehat kan?."Jelita tersenyum lemah. "Alhamdulillah sehat, Bi. Bi Inah ada kabar baru dari Radit?"Bi Inah berbicara sambil mengirimkan beberapa foto terbaru. "Ini Non, kemarin Tuan Radit ikut lomba mewarnai di sekolahnya. Dapat juara dua."
Malam semakin larut di kediaman keluarga Jelita. Ayu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan ASI-nya. Faris sudah pamit pulang sejam yang lalu, meski dengan berat hati dan berulang kali menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Di ruang keluarga yang temaram, Ibu Jelita duduk di samping putrinya yang masih tampak gelisah."Jelita," panggil Ibu Jelita lembut. "Sebenarnya ada apa? Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan dari kami."Jelita menggeleng pelan, matanya masih sembab. "Mungkin hanya salah paham, Bu.""Feeling seorang ibu tidak pernah salah, Nak," Ibu Jelita menggenggam tangan putrinya. "Ibu lihat caramu memandang Raditya setiap kali Ibu berkunjung ke rumah Mbak Novita. Ada kerinduan yang dalam di matamu. Dan tadi, Mbak Novita marah-marah seperti itu... pasti ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui."
Setelah memarkir mobil di garasi rumahnya, Bambang menghela napas panjang. Ia tahu, perdebatan dengan Novita belum selesai. Benar saja, begitu memasuki ruang keluarga, istrinya langsung menghempaskan diri di sofa dan menatapnya dengan mata yang masih menyala-nyala."Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Bang?" Novita memulai dengan suara bergetar. "Bukan karena kamu sering ke sana. Bukan karena kamu memanjakan mereka dengan berbagai barang. Tapi karena kamu merasa perlu berbohong padaku."Bambang duduk di sofa single di hadapan Novita, mengusap wajahnya yang letih. "Nov, aku...""Setiap kali kamu bilang ada meeting di luar kantor, sebenarnya kamu ke sana kan?" potong Novita. "Kenapa harus bohong? Apa karena kamu tahu yang kamu lakukan itu berlebihan?""Aku membawakan me
Suasana semakin mencekam di depan rumah Jelita. Beberapa tetangga mulai bermunculan dari rumah mereka, berbisik-bisik menyaksikan drama yang tengah berlangsung. Pak Karyo, tetangga sebelah, bahkan sudah berdiri di depan pagarnya dengan wajah prihatin."Novita, sudah cukup!" Bambang akhirnya membentak, sesuatu yang belum pernah ia lakukan pada istrinya selama belasan tahun pernikahan mereka. "Kita pulang sekarang!""Kau berani membentakku sekarang?" Novita tertawa getir, matanya masih menatap tajam ke arah Jelita yang berdiri gemetar di belakang Faris. "Demi perempuan ini?"Ayah Jelita, melangkah maju. "Mbak Novita, saya mohon... ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan masalah keluarga. Tetangga-tetangga sudah mulai berkumpul.""Biar saja!" Novita menjerit histeris. "Biar semua orang tahu kalau anak kalian adalah perusak rumah tangga orang!""Cukup!" kali ini Ibu Jelita yang angkat bicara, suaranya bergetar menahan amarah. "Mbak No