"Selamat pagi, Bi Inah. Aku mau jalan-jalan sebentar di sekitar kompleks, ya," ujar Jelita sambil mengenakan sandal.Bi Inah, yang sedang menyapu teras, menoleh dengan wajah cemas. "Eh, Non Jelita yakin mau jalan-jalan sendiri? Nggak mau ditemani saya aja?"Jelita tersenyum, berusaha meyakinkan wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu. "Tidak apa-apa, Bi. Saya cuma sebentar kok. Lagipula, udara pagi bagus untuk janin.""Ya sudah kalau begitu," Bi Inah akhirnya mengalah. "Tapi hati-hati ya, Non. Kalau ada apa-apa langsung telepon saya."Jelita mengangguk dan melangkah keluar gerbang rumah. Udara pagi menyapa wajahnya, terasa segar dan menyenangkan. Entah sudah berapa lama Jelita tidak keluar rumah sendirian seperti ini. Sejak tinggal di rumah Novita dan Bambang, Jel
"Mbak Novita, aku mau izin pergi ke taman kota sebentar. Boleh?" tanya Jelita dengan hati-hati.Novita mengalihkan pandangannya dari laptop, menatap Jelita dengan ekspresi datar. "Siang-siang begini? Untuk apa?""Aku... aku ingin jalan-jalan sebentar. Menikmati udara segar," jawab Jelita berusaha terdengar yakin.Novita menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Dan suruh Pak Abdul mengantarmu.""Terima kasih, Mbak," ucap Jelita berusaha tersenyum meski merasakan dinginnya sikap Novita.Setelah berpamitan, Jelita bergegas menuju garasi di mana Pak Abdul, sopir keluarga Baskara, sudah menunggu."Mau ke mana, Non?" tanya Pak Abdul ramah.
"Diam," bisik suara berat di telinga Jelita. "Atau kau dan bayimu akan celaka." ucap pria itu sambil membekap mulut dan hidung Jelita dari belakang.Air mata Jelita mengalir deras. Ia ketakutan setengah mati. Siapa orang ini? Apa maunya?Kesadaran Jelita mulai menghilang. Hal terakhir yang ia ingat adalah tubuhnya yang diseret ke arah semak-semak sebelum semuanya menjadi gelap.***Sementara itu, di tempat parkir taman...Pak Abdul melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah dua jam lebih sejak Jelita masuk ke taman. Perasaannya mulai tidak enak."Kok lama sekali ya Non Jelita?" gumamnya cemas. "Apa sebaiknya saya cari saja?"S
Malam harinya, suasana di kediaman keluarga Baskara terasa mencekam. Ruang tamu yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh anggota keluarga dan beberapa staf keamanan. Wajah-wajah cemas terpancar dari setiap orang yang hadir."Bagaimana bisa ini terjadi?" suara Siska Baskara, ibu Novita memecah keheningan. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia telah menangis semalaman.Bambang, yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk, hanya bisa menggeleng lemah. "Aku... aku tidak tahu, Bu.""Kau bilang kau akan menjaganya!" Roni Baskara berdiri, suaranya meninggi. "Lalu sekarang di mana dia? Di mana Jelita?""Ayah, tolong tenang," Novita angkat bicara, meski wajahnya juga tampak pucat. "Kita semua di sini sama khawatirnya. Tapi kita harus tetap tenang untuk bisa berpikir jernih."
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Siapa ini?" tanya Bambang menjawab telepon dari nomor tak dikenal itu, ia berusaha terdengar tegas meski jantungnya berdegup kencang.Tawa kecil terdengar dari speaker telepon genggam Bambang. "Oh, aku yakin kau sudah bisa menebak siapa aku, Tuan Bambang. Aku orang yang saat ini sedang menjaga 'tamu spesial' kalian."Wajah Bambang memucat. "Di mana Jelita? Apa yang kau lakukan padanya?""Tenanglah," jawab suara itu santai. "Istrimu dan calon pewaris Baskara Group aman... untuk saat ini. Kurasa…"Novita, yang duduk di sebelah Bambang, mengepalkan tangannya erat. Matanya menatap tajam ke arah ponsel seolah-olah bisa menembus dan melihat si penelepon."Apa maumu?" tanya Roni, yang kini berdiri di belakang Bambang.
"Kami ikut," ujar Faris tegas, diikuti anggukan Bambang dan Novita."Ini bisa berbahaya," peringat komandan polisi."Kami tidak akan tinggal diam melihat calon penerus Baskara yang sedang diculik," Novita berkata dengan nada final. "Kami ikut."Melihat tekad di mata mereka, komandan polisi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kalian harus mengikuti instruksi dari kami."***Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota...Jelita membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat dan pandangannya kabur. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari di mana ia berada. Tangannya diikat ke belakang di kursi yang ia duduki."Ah, akhirnya
Suasana mencekam masih menyelimuti area di sekitar gudang tua. Jelita berdiri gemetar, pistol masih menempel di pelipisnya. Penculik bertubuh besar itu terus berteriak, memperingatkan polisi untuk tidak mendekat. Faris, yang sejak tadi mengamati situasi dari dalam mobil, tiba-tiba mendapat sebuah ide. Ia berbisik pada Bambang dan Novita, "Aku punya rencana. Tapi ini berisiko." "Apa pun itu, lakukan!" Bambang menjawab dengan suara tertahan. "Kita harus menyelamatkan Jelita!" Faris mengangguk, lalu perlahan membuka pintu mobil. Seorang petugas keamanan mencoba menahannya, tapi Novita mengisyaratkan untuk membiarkannya pergi. "Hei!" Faris berteriak, melangkah ke depan dengan tangan terangkat. "Aku temannya Jelita. Biarkan aku bicara denganmu!" Penculik itu mengalihkan pandangannya ke arah Faris, matanya menyipit curiga. "Jangan mendekat! Atau kubunuh dia!" Faris terus melangkah perlahan, suaranya tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak bersenjata. Lihat, tanganku terang