Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.
Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya."
"Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan.
"Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.
Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakalan kabur atau jauhin orang yang maksain aku atau jauhin calon pasangan. Kecuali kalau calonnya seganteng Lee Min Ho, jelas aku mau lah."
"Yeee, kamu mah!" sahut Elina singkat. Kali ini gadis itu yang nampak berpikir, memikirkan saran Kayla barusan. Ia membatin, "Kabur? Kayaknya ide bagus. Tapi papa kan tetap bisa nemuin aku. Hm .... Tapi kabur lebih baik daripada diam doang dan nerima perjodohan sama Tuan Spongebob itu segitu mudahnya. Sip lah, ide bagus Elina!"
"Kay, weekend nanti kamu ada acara atau pergi dari rumah gitu nggak?"
"Enggak tuh. Sebenarnya aku diajak ikut ke luar kota sama papa mama, tapi aku nggak mau. Jadi besok sabtu dan minggu aku di rumah sendirian. Kenapa? Kamu mau ke rumahku?" Tanya Kayla.
"Iya."
***
Sore di hari selanjutnya.
"Gue bisa gila. Sekarang tinggal sehari sebelum upacara pernikahan berlangsung. Mana papa nggak segera kabarin kalau perjodohan ini dibatalin. Apa jangan-jangan perjodohan ini memang sudah tidak bisa dihindari lagi? I am going crazy!!! Lagian papa apaan sih pakai jodoh-jodohin gue segala?" batin Elina yang sekarang berada di dalam mobil. Di depan kanannya, duduk seorang supir keluarganya yang sedang mengendarai kendaraan ini.
Saat mobilnya berhenti tepat di pekarangan rumah setelah gerbang dibuka satpam, Elina turun. Manik cokelat yang dimiliki Elina menangkap sebuah mobil yang terpakir sekitar tujuh meter dari lokasinya. Keningnya berkerut dalam melihat kendaraan yang terlihat asing baginya. "Mobil siapa tuh?"
Karena penasaran, Elina dengan seragam sekolahnya bergegas masuk ke dalam rumah. Sepatu hitam bercorak putih ia taruh terlebih dahulu di rak. Beberapa langkah terlalui, kini terhenti di depan ruang tamu. Mata Elina membulat, mengetahui kedatangan keluarga sekaligus calon suaminya. "Sial, ngapain dia di sini? Dia pikir aku mau menerima perjodohan ini?!"
"Elina .... Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba," sapa Mami Dania.
"Lin, kemarilah! Coba pilih salah satu gaun pengantin ini dan cobalah di kamar. Jika cocok dan kamu suka, pakai saat upacara pernikahan nanti," timpal Papa Chandra.
Mata Elina semakin membeliak mendengarnya. Sementara Devid menatapnya datar dan dingin, seolah tak peduli dengan ekspresi gadis itu. Sebenarnya pria itu tak ingin berlama-lama ada di sini. Tapi bagaimana lagi, paksaan maminya tidak bisa ia tolak seperti semalam.
"Mami nggak mau tau! Pokoknya akhir pekan nanti kamu harus menikah dengan Elina. Dia itu gadis baik, cantik, sopan, dan sangat pintar. Mami yakin dia adalah jodoh terbaik untuk kamu. Mami capek lihat kamu sendiri terus tanpa pasangan semenjak putus sama wanita sialan itu. Sudah lah, Vid. Kalau kamu tidak menuruti perjodohan ini, mami dan papi akan cabut fasilitas mewah kamu, jabatan kamu di perusahaan, dan sebagainya. Mau?"
Itulah yang dikatakan Mami Dania semalam pada Devid anak tunggalnya. Sangat pusing jika Devid mengingatnya lagi. Karena pria itu tak bisa menolak kala maminya mengancam sebesar itu. Apalagi sebenarnya Devid sudah memiliki kekasih yang merupakan seorang model cukup terkenal yang terikat kontrak dengan Gunandra Company, perusahaan warisan dari kakeknya yang ternama dan teramat besar yang sekarang dipimpin oleh Devid.
"Elina..." Panggilan Papa Chandra barulah membuyarkan lamunan Elina. Gadis itu menoleh. Sontak tergagap, "I--iya, Pa."
Sangat dan sangat kesal yang Elina rasakan sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, semalam ia sampai berdebat dengan papanya. Tapi keputusan yang didapat tetap sama dan mutlak, yaitu Elina akan menikah dengan Devid pada akhir pekan.
Elina mengambil salah satu set gaun dari berbagai macam yang tersedia di atas meja dan sofa. Kemudian, Elina berjalan ke atas menuju kamar untuk melakukan apa yang diperintahkan papanya.
Elina menaruh tas sekolahnya setelah menutup pintu kamar. Sejenak ia melihat gaun berwarna putih cerah dengan hiasan manik-manik dari berlian pada bagian bahu itu. "Berlebihan sekali pakai berlian. Tapi lumayan sih." Elina pun memakainya.
***
Elina menatap pantulan bayangan dirinya pada cermin di kamarnya. Ia sadar dirinya nampak sangat anggun dan manis menggunakan gaun itu. Sesekali Elina berputar, membuat gaunnya nampak mekar atau melebar dari bagian pinggang sampai kaki.
Tok! Tok!
"Pintu tidak dikunci!" seru Elina.
Suara pintu yang terbuka menghentikan aktivitasnya. Elina beralih menatap sosok yang terlihat di balik pintu. Ada papanya dan keluarga calon suaminya. Mereka terpukau melihat kecantikan Elina.
Papa Chandra yang melihat anaknya sudah selesai berganti baju pun membuka pintu kamar lebih lebar.
"Astaga, Elina sayang .... Kamu terlihat sangat cantik dan dewasa!" Puji Mami Dania. Lantas wanita itu menarik kemeja Devid supaya pria itu melihat calon istrinya. "Devid! Elina ada di sana, bukan di vas itu!"
Dengan penuh kejengahan, Devid melirik sekilas. Tapi yang tadinya hanya sekilas kini menjadi lama. Dari tatapannya, sepertinya Devid terpukau dengan perubahan penampilan Elina. Yang sebelumnya seperti gadis sekolahan lugu dan polos, sekarang menjelma layaknya bidadari.
"Kenapa dia bisa secantik itu?" ucap Devid dalam hati, "eh tidak-tidak! Lebih cantik Celyn kekasihku!" Devid berusaha mengingatkan dirinya akan tidak terlarut pada pesona Elina karena sudah memiliki kekasih bernama Jocelyn.
Jocelyn ialah wanita model yang sudah lama menjalin hubungan Devid. Hubungannya sejak dulu ditentang oleh Mami Dania karena perilaku Jocelyn tidak seperti kriteria menantu idamannya. Jocelyn tidak hormat, sopan, tidak bisa memasak, dan hampir setiap ada barang mewah limited edition selalu dibeli menggunakan uang Devid. Menurut Mami Dania, itu sama saja menghabiskan uang Devid. Karena itu, Mami Dania meminta Devid putus dengan Jocelyn. Devid hanya mengiyakan dan membuat maminya lega. Tapi kenyataan yang sebenarnya dan Mami Dania tak pernah tahu, hingga sekarang Devid masih menjalin hubungan dengan Jocelyn.
"Bagaimana menurutmu? Elina sangat cantik, kan?" Tanya Mami Dania, memastikan pada Devid sembari menempelkan kedua tangannya di pipi kiri.
"Hm, terserah mami."
"Ngomong-ngomong apa kalian tidak mau berbicara lebih dekat supaya saling kenal begitu," celetuk Papa Chandra.
"Kau benar, mereka harus cipika-cipiki dulu sebelum pernikahan besok. Setidaknya basa-basi menanyakan satu sama lain. Ayo kita tinggal mereka di sini saja," sahut Papi Andra.
"Good idea! Kita kembali ruang tamu saja. Devid, masuklah ke dalam kamar Elina, tapi jangan tutup pintunya, hehe. Bahaya, kan. Ah satu lagi, bicaralah secara nonformal supaya lebih enak didengar satu sama lain!" suruh Mami Dania seraya mendorong-dorong tubuh anaknya supaya masuk ke dalam ruangan luas itu.
"Mi, astaga, mami!" Devid dibuat semakin kesal. Akhirnya tinggallah dirinya bersama Elina dalam kamar terbuka itu. Sementara para orangtua sudah kembali ke bawah dan melarang mereka untuk menyusul sebelum bercakap bersama.
Detik-detik berlalu; Elina hanya menatap datar pada pria yang berekspresi layaknya patung itu, datar dan tak ada kehangatan yang terpancar. Elina bisa menebak sifat yang dimiliki Devid adalah dingin dan kurang friendly, buktinya sedari tadi mereka belum memulai percakapan. Seperti yang dikatakan Mami Dania yaitu bicara secara nonformal alias bukan saya-anda, Elina pun memulai percakapan. "Hei, kenapa kau menatapku begitu? Kau pikir aku ini bendera yang harus dilihat dengan hikmat, diam di tempat, dan tak boleh berbicara seperti sedang upacara?!"
Devid sontak membuang wajah. Ekspresi merendahkannya lagi-lagi berhasil membuat Elina jengkel karena sorotan mata Devid seolah menganggap dirinya seorang bocil. "Heh, bocah! Sopanlah sedikit! Jangan berani membuat diriku marah atau tidak setelah menikah nanti aku tidak akan memperlakukanmu dengan baik, mau?!"
"Memangnya siapa yang mau menikah denganmu? Dasar om-om kebanyakan gaya!" ketus Elina sambil berkacak pinggang. Ia bicara tanpa ada rasa takut pada Devid karena memang dari awal ia tak menyukai pria sombong itu.
Devid pun memberi tatapan tajam pada gadis itu. Tak terima dipanggil 'om' seperti di restoran beberapa hari lalu. "Hei, lebih baik jika kau memanggilku 'Tuan'. Sangat tidak cocok jika aku dipanggil 'om', mengerti?!"
Elina mengangkat sebelah alisnya. "Apa? 'Tuan'? Kau pikir aku babumu? Wajahmu memang terlihat tua, pantas saja jika kupanggil 'om'!"
Devid semakin geram. Daripada terbawa emosi, pria itu memilih pergi dari kamar. Tapi sebelum itu, Devid berkata dengan intonasi yang sepadan dengan pengucapan Elina yang ketus sedari tadi. "Sudahlah, terserahmu saja. Kau tau? Kau adalah perempuan pertama yang berani dan berlaku tidak sopan padaku. Di saat perempuan lain mencoba menarik perhatianku, kau malah mencoba memancing emosiku. Dasar! Bisa-bisanya mami menjodohkanku dengan anak kecil sepertimu!"
Mata Elina membulat kala kata demi kata yang diucapkan Devid terdengar menusuk di indera pendengarannya. Selepas kepergian pria itu, ia bermonolog, "Astaga, dia pikir aku ini perempuan lain! Mana dikatain anak kecil lagi. Ini benar-benar sesuatu yang buruk, bisa-bisanya aku dianggap seperti bocil! Aku ini Elina!"
Sementara di luar kamar; Devid terlebih dahulu berkaca pada kaca jendela di luar kamar Elina. Ia mengelus rahangnya. Menikmati ketampanan yang ia miliki melalui pantulan bayangan di kaca jendela itu. "Sialan gadis itu. Wajah setampan ini dibilang tua."
***
Bersambung
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."