Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.
Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."
Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati Elina.
"Hufftt, huffttt!" Elina ngos-ngosan setelah berjuang melompat untuk yang ketiga kali. Sekarang ia berada di luar wilayah rumah, tepatnya berada di jalan kompleks yang sangat dekat menuju jalan raya. Elina menyalakan ponselnya. Dibuka aplikasi ojek online dan memesan pengantaran menuju rumah Kayla.
***
"Lin, kamu ngapain bawa tas ransel segala?" Tanya Kayla sembari menutup pintu rumah. "Yuk ke kamar aja, aku lagi nonton drakor."
Elina mengikuti langkah Kayla ke kamar sahabatnya itu. "Aku mau nginep di sini kayak biasanya. Semalam aja, besok sore pulang deh."
"Ooh. Asik deh ada teman. Btw pembantuku lagi pulang kampung. Jadi aku di sini sendirian," ucap Kayla.
"Pas banget dong." Elina merebahkan dirinya di kasur Kayla, kasur putih yang sering ia pakai bersama gadis itu setiap kali sedang menginap di rumahnya.
"Lin, ngomong-ngomong, tentang pemaksaan hubungan yang kamu omongin kemarin-kemarin itu .... Jadinya gimana? Masih berlanjut?" Tanya Kayla penasaran.
Elina memijat kening. "Nggak tau lah, Kay. Pusing kalau mengingat itu. Jangan dibahas deh. Oh iya, kamu nonton drakor apa?"
"School 2015, bagus banget, Lin. Wajib nonton deh! Yuk!" Seru Kayla. Ia mengeklik tombol pause pada laptopnya.
"Hm, kamu aja deh. Aku mau tiduran," tolak Elina sambil memejamkan mata.
"Ya sudah." Kayla mengerti kondisi sahabatnya itu sehingga ia lebih memilih menonton seorang diri dan membiarkan Elina beristirahat.
Tapi sebisa mungkin Elina mencoba untuk tidur, bayangan Devid dan kata-kata perjodohan dari papanya sangat mengusik di benaknya. Dering telepon yang terdengar dari dalam tasnya membuyarkan pemikiran Elina. Dengan kening berkerut ia bangkit dari posisi berbaringnya. Diambilnya ponsel berlayar lebar nan tipis itu. Sebuah nama kontak tertera di layar. Elina hanya menatapnya tanpa berniat mengangkat telepon itu.
"Kenapa nggak diangkat, Lin?" Tanya Kayla yang sedikit terganggu dengan dering yang telepon di ponsel Elina yang tak kunjung berhenti.
"Nggak usah, nggak penting." Elina segera mematikan panggilan telepon yang ternyata dari Papa Chandra itu. Kayla hanya mengangguk sekali. Kemudian, lanjut menonton drakor kesukaannya itu.
"Nggak penting lah. Pasti papa nyariin dan bakalan bahas perjodohan itu. Malas deh. Papa jahat banget. Papa kayaknya udah nggak sayang Elina, sampai-sampai mau jodohin sama orang yang Elina nggak kenal," batin Elina dengan wajah cemberut. Bibirnya melengkung ke bawah, mewakili perasaannya yang tengah mendung karena berpikir yang bukan-bukan. Sementara itu, jarinya memencet tombol power cukup lama untuk mematikan ponselnya. Sehingga papanya tidak akan bisa melacak nomornya karena ponselnya tak aktif.
***
Pagi hari tiba. Di rumah Elina, semuanya tengah disibukkan dengan dekorasi setiap ruangan bernuansa putih bersih. Namun, beda halnya dengan kesibukan Papa Chandra. Pria itu dibuat pusing dengan perginya Elina yang tanpa kabar. Bahkan para pembantu pun tak ada yang melihat keberadaannya. Sementara CCTV rumah sedang diperbaiki kemarin hari.
Papa Chandra sudah mengerahkan beberapa pengawalnya untuk bergerak cepat mencari keberadaan Elina di sekitar kompleks karena upacara pernikahannya akan diselenggarakan tidak lama lagi. Bahkan Papi Andra dan Mami Dania pun dibuat pusing dengan kabar ini. Mereka turut mencari.
"Gini, gini, Chan. Kamu tau nggak Elina biasanya pergi ke mana atau nginap di mana gitu?" Tanya Papa Andra dari balik telepon.
Papa Chandra mencoba mengingat-ingat, dengan siapa Elina biasanya pergi atau bersahabat. "Ooh, aku ingat. Kemungkinan besar dia sekarang berada di rumah Kayla!"
"Siapa Kayla?"
"Teman Elina."
"Ya sudah, kamu langsung ke rumahnya saja," sahut Papi Andra antusias.
"Tapi .... Aku tidak yakin Elina akan menurut ketika diajak nanti. Dia pasti akan menolak atau kembali kabur. Aku sudah hapal dengan kelakuannya," ucap Papa Chandra nyaris frustrasi.
Di seberang, Papi Andra menghembuskan napas panjang. Turut bingung sebab Mami Dania dan Devid sudah siap berangkat menuju tempat ibadah untuk melangsungkan upacara pernikahan yang rencananya akan digelar secara tertutup sesuai keinginan Devid.
"Ehm, begini saja, Chan. Aku punya ide!"
***
Di rumah Kayla, Elina dan sahabatnya masih terlelap sempurna. Biarpun alarm sempat bunyi dan ada suara bising dari tetangga yang sudah bangun, mereka masih setia memejamkan mata. Mungkin efek karena semalam begadang untuk maraton drakor.
Suara dering telepon dari ponsel Kayla yang bunyi ringtone-nya dibuat keras mendadak memenuhi ruangan. Perlahan pemilik ponsel itu mengerjapkan mata. Ia mengambil ponselnya dan tanpa melihat si penelepon langsung mengangkatnya.
"Halo, siapa sih pagi-pagi ganggu orang tidur?" Tanya Kayla kembali memejamkan mata. Kerutan di dahinya menandakan gadis itu merasa terganggu. Sedangkan tangannya menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Selamat pagi, Kak. Kami dari Rumah Sakit Pelita Chandra ingin menginformasikan bahwa ada pasien pria beratas nama Aiman Chandra mengalami kecelakaan. Tadi sempat masuk ICU, tapi sekarang beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat inap."
"Kenapa? Om Chandra kecelakaan?"
"Iya, Kak. Kami sudah mencoba menghubungi putri beliau, tapi nomornya tidak aktif. Jadi kami menghubungi nomor lain yang ada hubungannya dengan putri beliau. Tolong kakak beritahu putri beliau untuk segera datang," jawab seseorang yang bekerja di Rumah Sakit Pelita Chandra milik papanya Elina itu.
"Ooh, benar, saya sahabatnya Elina. Baiklah, saya akan menyuruhnya siap-siap. Terima kasih!" Kayla menutup teleponnya. Sebelum beralih pada Elina yang tidurnya dengan posisi asal, Kayla menaruh ponselnya di atas nakas.
"Elina! Elina! Bangun, bangun! Ini gawat darurat! Elina!!!" Kayla dengan raut paniknya mengguncangkan tubuh Elina sekeras mungkin hingga sahabatnya itu membuka mata setengah.
"Ck! Apa sih, Kay! Ganggu orang tidur saja," ketus Elina sambil menghempaskan tangan Elina dari bahunya. Kemudian mencari posisi lain dan membelakangi Kayla untuk kembali berkelana di alam mimpinya.
"Papamu masuk ICU di RS Pelita Chandra! Bangun, Lin! Kamu harus ke sana!" Kayla tak menghentikan aktivitasnya untuk mengguncangkan Elina.
Elina sontak membuka mata, kaget. Tapi detik kemudian ia langsung berpikir bahwa itu hanyalah kebohongan Kayla. "Yaelah, Kay .... Kalau mau bangunin juga nggak usah pakai hoax!"
"Ini nyata, Elina! Aku barusan ditelepon pihak rumah sakitnya langsung!"
Mendengar ucapan Kayla yang terdengar cepat, Elina terkesiap. Ia rasa pendengarannya tak salah menangkap. Segera Elina berbalik badan dan beranjak bangun. "Hah? Langsung dari pihak rumah sakitnya?!"
Selepas mendapat anggukan Kayla, Elina langsung bangkit dari tempat tidur meski nyawanya belum penuh. Ia bersiap-siap untuk segera ke rumah sakit. Perasaannya tak enak sehingga wajahnya terlihat sangat khawatir.
Seraya menatap kepergian Elina dengan ojek online, Kayla menyandarkan tubuhnya di pintu depan. Ia mengerutkan dahi kala mendadak teringat sesuatu. "Kok aku ngerasa aneh, ya. Iya, sih, aku sahabatnya Elina, tapi nggak mungkin kan Om Chandra menyimpan nomorku di hpnya. Darimana ya pihak rumah sakit tadi mendapatkan nomorku?"
***
Elina memegangi dadanya yang bergemuruh. Dalam sedetik ia melakukan inspirasi dan ekspirasi cepat, ngos-ngosan. Dengan kecepatan tinggi, Elina berlari menuju ruang rawat inap yang baru saja diberitahukan resepsionis.
Brak!
Ruang inap VIP yang kata resepsionis tadi dihuni oleh Papa Chandra didobrak cukup keras hingga menimbulkan suara. Papa Chandra, Papi Andra, Mami Dania serta anaknya juga seorang dokter yang ada di sana sangat terkejut akan hal itu.
"Pa!" Elina langsung berhambur ke arah papanya yang nampak terbaring lemas di atas kasur dengan mata berkaca-kaca. Melihat papa satu-satunya terbaring di ranjang rumah sakit, itulah kelemahan Elina selama ini. Semua itu berawal ketika mamanya mengalami kanker leukimia dan Elina tidak mengetahuinya. Karena waktu itu Elina sedang mengikuti ujian nasional SMP, Papa Chandra hanya mengatakan bahwa mamanya pergi ke luar kota dalam waktu lama karena urusan pekerjaan supaya tidak menganggu belajar Elina. Padahal sebenarnya mamanya tiap hari itu terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Hingga dua hari setelah melangsungkan wisuda, Elina sangat curiga atas ketidakhadiran mamanya. Bahkan mamanya saja hanya mengantarkan ucapan selamat yang sangat banyak. Akhirnya Papa Chandra mengantarnya ke rumah sakit. Elina sangat terkesiap melihat kondisi buruk mamanya. Hari itu, hari dimana Elina menemui mamanya di rumah sakit adalah hari terakhir pertemuannya, hari dimana mamanya mengucapkan kata-kata terakhir dan itulah hari kematiannya. Sejak itu, Elina tak ingin papanya juga berada di ranjang rumah sakit. Tak ingin papanya sakit dan terluka. Pokoknya, apapun yang terjadi pada papanya, ia harus tahu. Elina tak ingin keterlambatan infonya akan memberi goresan hati yang teramat menyakitkan seperti dulu.
"Dok, apa yang terjadi pada papa saya?!" tanya Elina cepat. Perasaannya tidak karuan. Campur aduk.
"Ehm, begini, Nona. Sebenarnya tidak ada yang serius atau fatal dari kecelakaan ini. Hanya saja pada kaki dan dahi Tuan Chandra tadi mengeluarkan banyak sekali darah karena ada robekan dan benturan di dalam mobil. Tapi tak masalah, kami sudah mengatasinya. Tuan Chandra sudah boleh pulang. Hanya saja beliau tidak boleh bergerak banyak," ucap dokter itu pada Elina yang ia ketahui merupakan putri dari pemilik rumah sakit ini.
Elina menghela napas panjang. Tak menyauti perkataan dokter. Ia kembali menatap Papa Chandra. "Pa .... Kenapa bisa begini? Kecelakaan mobil apa? Di mana?"
"Papa tadi menyupir sendiri. Lalu menabrak pohon besar di jalan. Mungkin karena kebanyakan pikiran, papa jadi tidak fokus mengemudi," jawab Papa Chandra dengan wajah yang dibuat merintih kesakitan dan tidak berdaya.
Elina semakin khawatir. Ia mengelus tangan papanya. "Bagaimana bisa? Apa yang membuat papa banyak pikiran sehingga tidak fokus mengemudi?"
"Tentu saja karena kekaburanmu, Lin. Papa mencarimu kemana-mana tapi tidak ketemu. Ketika papa berkendara ke rumah Kayla untuk mencari keberadaanmu, malah terjadi hal yang tidak diinginkan ini."
"Be---benarkah begitu? Maafkan Elina, Pa..."
***
Bersambung
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."