Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.
Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini.
"Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya.
"Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."