"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini.
"Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi."
"Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa."
"Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid dan layani apa yang suamimu inginkan, mengerti? Panggil dia seperti yang kamu janjikan tadi. Devid, bersikaplah lebih sabar pada Elina. Papa yakin lama-kelamaan dia akan bersikap lebih sopan padamu," lanjutnya.
"Baik, Pa," ucap Devid dan Elina bersamaan.
***
Selepas kepergian Papa Chandra, suasana dalam kamar kembali canggung. Elina melirik sengit pada suaminya, mendengus kesal sebelum akhirnya memilih merebahkan diri di ranjang.
Tatapan Devid mengikuti gerak-gerik istrinya. Keningnya berkerut melihat Elina yang malah memposisikan tubuhnya di ranjang membentuk huruf 'X'. Tangan dan kaki yang diarahkan ke sudut-sudut ranjang yang berbentuk persegi panjang itu secara tersurat menandakan bahwa Elina tak mau ada orang lain yang menempati tempat tidurnya selain dirinya. Devid memejamkan mata sejenak. Ia mengatur napas dan mencoba merilekskan pikiran, berharap untuk ke depannya dirinya dapat menghadapi gadis yang belum cukup umur untuk menikah itu. Apalagi Devid mengingat bahwa istrinya pernah hampir dilecehkan saat SMP, membuatnya mengurung niat untuk bermain fisik seperti yang ia lakukan kala marah pada seseorang.
"Geser!" titah Devid. Ditariknya kaki kiri Elina dan digeret ke arah kanan sehingga ada tempat untukmu tidur.
"Lepaskan! Kakak menarikku terlalu keras. Tidak sopan!" seru Elina merengut. Ia bergeser ke arah kanan, membiarkan Devid berada di sampingnya dengan terpaksa karena jika tidak, mungkin saja Devid akan mengatakan hal ini pada papanya.
"Hish." Devid memilih tak menjawabnya. Ia mulai memejamkan mata setelah mematikan lampu kamar.
"Kenapa lampunya dimatikan? Bagaimana jika kakak melakukan hal yang tidak-tidak padaku?!" tanya Elina yang mulai berpikir berlebihan. Gadis itu masih bisa menatap suaminya meskipun sebatas remang-remang karena pencahayaan yang kurang.
Devid diam saja, tak berniat menjawab. Baginya, Elina terlalu cerewet membuatnya malas menanggapi. Namun, suara gusrak-gusruk menganggu pendengarannya. Devid membuka mata. Dilihatnya banyak bantal dan guling di samping dirinya. "Apa yang mau kamu lakukan dengan barang-barang ini?"
"Untuk memisahkan kita, supaya tidak terjadi hal yang tidak kuinginkan, paham? Jangan pernah berpindah dari posisi kakak! Jangan pernah---"
Suara Elina tercekat di tenggorokan saat tiba-tiba Devid bangun dari tidurnya dan memegang erat dagunya. Posisinya dekat membuat Elina membulatkan mata seraya menahan napas.
"Jangan berpikir berlebihan! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menyentuhmu, apalagi mencintaimu. Kamu tahu sendiri pernikahan ini bukan keinginanku. Jadi, bersikap dan berbicaralah yang sewajarnya sampai aku menceraikanmu kelak. Ketahui saja, pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Aku pasti akan menceraikanmu dalam waktu yang tidak lama dari sekarang." Keseriusan dan ketegasan Devid bisa Elina dapatkan melalui intonasi suaranya yang terdengar dingin. Elina meneguk liurnya. Ada secuil rasa takut yang ia rasakan sampai Devid melepas pegangan di dagunya.
"Tidurlah dan besok bersikap seolah tak terjadi apa-apa hari ini," ucap Devid menutup percakapan.
"Aku tidak menyangka dia akan berkata seperti itu. Astaga ..., apa yang harus kulakukan? Kenapa aku mendadak tidak punya keberanian untuk meneriakinya lagi?" batin Elina. Ia menarik selimut hingga menutupi lehernya. Pikirannya tak karuan memikirkan perkataan Devid tadi.
Malam semakin larut. Sebenarnya, dua insan itu sama-sama belum tidur. Mereka masih memikirkan pernikahan ini sampai akhirnya mengantuk.
***
Matahari malu-malu muncul di ufuk timur. Seorang gadis lamat-lamat membuka mata. Bangun pada pukul setengah enam sudah menjadi kebiasaannya sehingga matanya otomatis terbuka di jam tersebut.
"Hoam!" Elina menutup mulutnya yang menguap. Matanya yang masih sedikit berair terbelalak menatap wajah Devid dekat di depannya. Elina sontak beranjak dan memegangi dadanya dengan perasaan terkejut. Bantal dan guling yang semalam ia gunakan untuk menjaga jarak sudah tak berada di tempatnya lagi, berantakan.
"Sialan, mataku hampir copot melihat wajahnya di jarak dekat. Bagaimana bisa Kak Devid pindah posisi?! Menyebalkan!" Elina ingin sekali menimpuk pria itu dengan bantal. Namun, dengkuran halus Devid membuatnya mengurungkan niat. Sepertinya pria itu masih terlelap hingga tak terbangun oleh suara ranjang akibat gerakan Elina.
Ting! Ting! Bunyi dering asing terdengar dari ponsel di atas nakas. Elina mengambil ponsel mahal yang ia ketahui milik suaminya itu. Diliriknya sesekali, ternyata Devid tak kunjung bangun. Elina pun tanpa izin mengecek notifikasi pesan melalui layar atas ponsel yang sudah menyala itu.
My Honey - 16 pesan tak terbaca
Sayang, semalam kamu nggak melakukan yang macam-macam sama istri kamu kan?!
Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu jangan pernah sentuh, bahkan dekatin dia!
Ingat janjimu minggu lalu, Honey. Kamu akan menceraikan anak kecil itu dan menikah denganku kan? Kamu ingat kan?
Elina mengernyit membaca sejumlah pesan tersebut. "Honey?" gumannya pelan, "apa dia penjual madu?"
Elina mencoba memahami. Ia membaca ulang pesan itu. Lalu, mendadak matanya kembali membulat. "Honey? Panggilan kesayangan?! Apa ini kekasih Kak Devid? Lalu kenapa dia tetap menerima perjodohan ini?"
Elina mengepalkan pegangannya pada ponsel itu sejenak. Lantas menaruh kembali sesuai tempatnya. Tatapannya menajam mengarah Devid. "Bisa-bisanya Papa menjodohkanku bahkan dengan pria yang sudah memiliki hubungan dengan wanita lain! Apa Papa mau aku menjadi orang ketiga serta menjalani pernikahan untuk merasakan perceraian?! Hish!" batin Elina sebal.
"Eh, tapi... bukankah aku seharusnya senang jika kami cepat bercerai? Aku tidak akan lagi menjalani pernikahan yang tidak kuinginkan ini kelak," Elina tersenyum tipis membayangkan opininya, "sepertinya bukan hal yang begitu buruk. Hm, baiklah Elina, jalani semua ini dengan santai saja, hadapi semuanya, dan yakinlah kamu akan cepat terbebas dari ikatan pernikahan ini! Hum ... Kekasih Kak Devid, aku sedikit penasaran tentangnya."
Elina menyunggingkan senyuman smirk. Benaknya menyiapkan rencana untuk kehidupan pernikahannya di rumah suaminya nanti. Mungkin membuat Devid dan kekasihnya kesal adalah cara yang bagus untuk mempercepat waktu pernikahan ini, pikir Elina.
Perkataan Papa Chandra semalam melintas tanpa permisi saat Elina melamun sebentar. Senyuman smirk Elina memudar. Semalam ia sudah mengatakan akan menghormati dan melayani keinginan Devid. "Maaf, Pa. Tapi, Kak Devid nggak sebaik yang papa pikirkan. Dia ternyata sudah memiliki wanita lain sebelum pernikahan ini disahkan. Bukan hal baik jika Elina mengiyakan hubungan Kak Devid dengan wanita lain sementara dia sudah menikahi Elina. Apalagi semalam Kak Devid mengatakan sesuatu di luar dugaan Elina. Maka, untuk mengimbanginya, Elina juga perlu melakukan sesuatu."
***
Elina mengancing kancing seragam yang paling atas. Hari ini sudah hari Senin. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Dua hari lalu statusnya masih sendiri, sekarang sudah menjadi istri orang. Elina terus menatap pantulan bayangan dirinya di cermin hingga pintu ruang ganti terbuka. Ia melihat suaminya keluar dengan pakaian rapi berjas. Nampaknya Devid akan berangkat ke perusahaan.
Sekilas mata mereka bertemu. Tak berlangsung lama, sampai Elina memutuskan pandangan dan memilih keluar kamar dengan tas sekolah yang sudah diselempangkan di bahunya. Devid mengikutinya dari belakang. Mereka menuju ruang makan. Terlihat di sana ada Papa Chandra yang sudah menunggu.
"Pagi, Pa."
"Pagi juga, Nak. Apa semalam kalian tidur nyenyak?" tanya Papa Chandra.
"Hm, tidak begitu, Pa," sahut Elina pelan seraya mengambil nasi ke piringnya. Tapi, gerakan tangannya terhenti saat papanya mengingatkan sesuatu.
"Elina, kamu sudah menikah. Layani suamimu dengan mengambilkannya nasi terlebih dahulu. Biasakan itu."
"Kak Devid kan bisa mengambilnya sendiri, Pa! Kenapa harus Elina?"
"Elina!" Papa Chandra menajamkan pandangan.
Elina memejamkan mata singkat. Genggaman tangannya di centong nasi yang berlapis emas pada bagian ujungnya dieratkan, Devid menyadari itu, namun tak menyadari perasaan Elina.
Puk! Elina menaruh dua centong nasi penuh ke piring Devid. Lalu beralih mengambil nasi ke piringnya. Devid menatap datar ke arah Elina yang nampak tidak semangat dan terpaksa melakukan ini.
***
Selepas sarapan, Elina duduk-duduk di ruang keluarga sambil menyalakan televisi. Biasanya ia akan berangkat sekolah sekitar sepuluh menit setelah sarapan. Sementara Papa Chandra sedang sibuk dengan tabletnya di sofa samping Elina. Devid baru saja pamit untuk berangkat ke perusahaannya.
Suara bel terdengar. Seorang pembantu membukakan pintu dan menyuruh si tamu untuk masuk.
"Kayla?" sapa Elina senang melihat kedatangan sahabatnya.
"Hai, Lin. Selamat pagi, Om. Kayla dengar Om kemarin kecelakaan, jadi Kayla membawakan Om buah. Papa Kayla juga sudah mendengar beritanya, mungkin akan segera menjenguk Om setelah menyelesaikan perkenalannya di luar kota. Ini, Om," ucap Kayla sambil memberikan sebuah bungkusan berisi berbagai macam buah.
"Ya ampun, terima kasih, Kayla. Duduklah." Kayla pun duduk di samping Elina.
"Tadi papamu memang sempat menelepon om sekadar menanyakan kabar. Hum ... bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kamu tidak menginap di sini bersama Elina."
"Baik, Om. Ngomong-ngomong bagaimana kondisi Om sekarang?" tanya Kayla sembari menatap Papa Chandra dari atas hingga bawah sekilas. Gadis yang ikut organisasi dokter kecil UKS sekolah itu merasa sedikit heran. "Om terlihat sangat baik-baik saja. Malah seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya."
Papa Chandra terdiam beberapa saat. "Ehm, iya. Kata dokter imunitas tubuh Om terbilang baik, sehingga kesembuhan Om lebih cepat."
"Ehm, begitu. Kalau begitu, Kayla berangkat dulu ya, Om. Ayo, Lin, kita naik mobilku saja," pamit Kayla.
"Hm, hati-hati di jalan." Papa Chandra menyelami putrinya yang sudah beranjak dari sofa. Melihat kepergiannya beriringan dengan Kayla menuju pintu depan.
Sesampainya di depan rumah. Kayla berucap pelan, "Lin, beneran nggak sih Om Chandra kecelakaan? Kayak aneh aja gitu lihat kondisinya yang baik-baik saja."
"Nggak tahu juga, Kay. Aku juga sempat heran sebentar. Tapi Papa beneran kelihatan lemah waktu di rumah sakit," ucap Elina seraya menghembuskan napas panjang. Ia menutup pintu mobil sahabatnya setelah duduk di samping Kayla yang berada di kursi supir.
Kayla diam tak menjawab. Ia mulai menancapkan gas mobilnya perlahan dan meninggalkan halaman rumah Elina.
Elina termenung menatap luar jendela. Matanya mengamati satu persatu mobil milik keluarganya yang berjejer rapi. Keningnya berkerut dalam mendapati seluruh mobil papanya dalam kondisi baik. "Bukankah mobil Papa menabrak pohon? Kenapa tidak ada lecet atau kerusakan sedikitpun? Ah, sudahlah. Memikirkannya membuatku pusing."
***
Bersambung.
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."