Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.
Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania.
"Terimakasih, sayang."
Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap.
"Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."
Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima piala dan medali di atas podium di depan teman-teman satu sekolah saat upacara. Makanya Elina jadi terkenal."
"Wah, menantu mami hebat sekali. Pasti kamu banyak disukai oleh orang-orang di sekolah, kan? Terlebih para laki-laki," ucap Mami Dania menggoda.
"Ya ... begitulah." Elina menyunggingkan senyum. Menurutnya, mengobrol dengan Mami Dania serasa mengobrol dengan teman. Mami Dania pun nampak sangat friendly yang bisa membuat Elina merasa nyaman sebagai menantu.
"Apa kamu pernah berpacaran?" Tanya Mami Dania lagi. Wanita itu ingin mengenal lebih jauh tentang menantunya. Meskipun sudah mengetahui cukup banyak tentang Elina melalui informasi bawahannya.
Elina menggeleng. "Tidak pernah, mi. Selain dilarang oleh papa, itu juga sangat mengganggu menurut Elina."
"Oh, begitu. Memangnya tidak ada laki-laki yang pernah menyatakan perasaannya padamu? Secara kamu sangat cantik dan pintar," lanjut Mami Dania.
"Sebenarnya ada, sih, Mi. Banyak malahan. Tapi semuanya Elina tolak karena tidak sesuai dengan tipe Elina," sahut Elina seadanya.
"Memangnya tipe kamu yang seperti apa?" tanya Mami Dania kembali penasaran.
"Yang setia, hangat, terbuka, ganteng, dan pastinya pintar sains. Elina senang kalau punya pacar yang bisa diajak membahas tentang alam, mi," tutur Elina.
Mami Dania memanggut. Ternyata selera Elina bagus juga, pikirnya. "Oh, iya, Lin. Tau nggak? Devid itu sebenarnya hangat, terbuka, dan senang mengobrol dengan orang-orang terdekatnya. Tapi kalau sama orang asing atau tidak dikenalnya atau saat di perusahaan, dia menjadi dingin dan nggak banyak ngomong, pokoknya wajahnya jadi datar gitu. Bikin mami kadang ngerasa aneh."
Elina berpikir sejenak. "Tapi waktu sama Elina kemarin-kemarin itu dia banyak bicara kok, Mi. Padahal kan Elina belum kenal apalagi dekat."
"Benarkah?" Mami Dania mengangkat kedua alisnya yang bewarna cokelat tebal. "Hm ... Mungkin saja secara sosial kalian tidak dekat, tapi hati kalian dekat. Hahaha!"
Elina membulatkan mata. Pendengarannya sedikit terpekik akan suara tawa Mami Dania yang dekat dengan telinganya. Bisa-bisanya Mami Dania berpikir begitu, membuat Elina merasa aneh dan sedikit tak nyaman karena ucapan Mami Dania sama saja mengatakan bahwa dirinya saling mencintai dengan Devid. "Ah, apaan, sih, Mi?" Ucapnya lirih sembari merapikan rambutnya ke belakang telinga.
"Ya kan siapa tahu, Lin. Lagipula Devid sudah menjadi suamimu dan tidak memiliki perempuan lain lagi," kata Mami Dania.
"Memiliki perempuan lain? Dia pernah berpacaran sebelumnya, Mi?" Tanya Elina seraya mengangkat alis kanannya. Rasa ingin tahu tiba-tiba melingkupi.
Wajah Mami Dania mendadak berubah drastis. "Hm, sebenarnya pernah dengan seorang wanita yang mami sangat tidak suka karena dia tidak ada sopan dan hormatnya sama sekali pada mami. Dia tidak pandai memasak dan kerjaannya hanya menghabiskan uang Devid. Kau tahu? Waktu itu mami pergi ke perusahaan yang dipimpin oleh Devid. Mami memakai pakaian simpel dan sangat sederhana saat itu. Mami bertemu dengannya di depan ruang pribadi Devid, kebetulan dia keluar ruangan dengan pakaian ketat. Kamu tau apa yang dia katakan saat mami berkata pada resepsionis ingin menemui Devid? Dia bilang 'orang rendahan dengan pakaian tidak modis seperti anda tidak boleh bertemu apalagi memasuki ruangan CEO!'. Kejam bukan? Dia memang tidak tau sopan santun! Lalu saat dia mengetahui bahwa mami adalah maminya Devid, sifatnya langsung berubah drastis. Tapi mami tetap tidak akan pernah memaafkannya. Karena itu, mami menyuruh Devid memutuskan hubungannya dengan perempuan itu. Kata Devid, sih, dia sudah memutuskannya."
Elina terdiam beberapa saat. Lalu membuka mulut dan berkata, "Ternyata begitu."
***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Orangtua Devid sudah pamit dan pulang. Tinggallah Elina, Devid, dan Papa Chandra yang sudah masuk ke dalam kamarnya di rumah bak istana ini.
Pandangan Devid diedarkan dalam ruangan berukuran luas yang warna barang-barang dan dindingnya serba biru. Tatapannya kemudian terkunci pada kasur berseprai biru besar yang hanya ada satu dalam kamar itu. Ada juga sofa panjang berwarna biru di dekat lemari. Devid mengalihkan pandangannya pada Elina yang setia duduk di atas kasur dan membuang muka. Sekilas Devid melihatnya dengan remeh.
"Hei, anak kecil. Dengar, ya. Pernikahan kita hanya paksaan dan demi orangtua saja. Jangan pernah berani meminta lebih padaku. Apalagi tentang cinta dan keturunan!"
Elina menoleh, menatap pria yang belum lama ini sudah sah menjadi suaminya dengan tatapan yang menyiratkan keheranan. "Om-om itu sepertinya terlalu percaya diri. Bisa-bisanya dia berpikir bahwa aku akan meminta kedua hal itu." Elina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dia sama sekali tak perduli akan perkataan Devid.
Selepas berkata pada istrinya itu, Devid melangkah menuju kamar mandi. Untungnya di sana ada persediaan alat mandi baru. Sehingga Devid tak perlu bergantian memakai sikat gigi dengan Elina.
Selepas bergosok gigi, Devid menutup pelan pintu kamar mandi. Kakinya masih menetap di atas lantai bewarna biru. Sementara pandangannya beredar ke penjuru kamar. Menatap kilas barang-barang istrinya dan penataan furniture kamar. Sejenak ia menghembus napas cepat sembari memijat keningnya.
Elina yang sedang membaca novel menatap suaminya sebentar. "Hei, Om. Apa yang kamu lakukan di situ? Keluarlah, kamar tamu ada di bawah."
"Kamu bodoh apa bagaimana? Papa Chandra tidak mungkin membiarkan kita pisah kamar," ucap Devid ketus.
"Papa sudah tidur kalau jam segini. Cepatlah keluar. Aku tidak bisa bernapas jika udara di kamar ini terkontaminasi dengan karbondioksida darimu, Om!"
"Justru aku berharap kamu tidak bisa bernapas, anak kecil! Hei, sudah kuperingatkan berapa kali, jangan panggil aku 'Om'! Tidak sopan," ketus Devid sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Elina.
"Om, om, om! Apa salahnya itu?!" ejek Elina dengan lidah yang dijulurkan. Sepertinya ia semakin berani pada suaminya.
"Ish! Apa bisa sedetik saja kamu tidak membuatku kesal?! Lihatlah dirimu! Kamu hanya anak kecil yang sedang berhadapan dengan pria dewasa. Jadi, bersikap sopanlah!" tegas Devid.
"Tahu nggak? Kehadiranmu juga selalu membuatku kesal! Apa masalahnya? Bukankah kita impas?" tukas Elina.
"Aish!" Geram Devid. Ia mengepalkan tangan. Jika saja Elina adalah seorang laki-laki, pasti tubuhnya sudah temukan dipukuli Devid. Tapi, mengingat Elina adalah seorang gadis yang berstatus istrinya, terlebih mereka sedang berada di wilayah kekuasaan Elina alias kamar gadis itu, Devid lebih memilih menahan emosi. Ia berjalan cepat menuju pintu kamar dan membukanya.
Kreak... Pintu kamar terbuka. Betapa terkejutnya Devid melihat papa mertuanya ada di sana. "Papa?" sapanya spontan, "apa yang papa lakukan di sini?"
Papa Chandra tampak gelagapan sesaat karena ketahuan. Ia menggaruk tengkuknya sebentar, menyusun kata-kata sebagai alasan. "Ehm, papa sebenarnya kemari untuk mengecek keadaan kalian. Tapi papa malah mendengar keributan kalian." Papa Chandra menghembuskan napas panjang. Sementara Devid mengendurkan kepalan tangannya dan Elina menaruh buku novelnya di atas nakas. Elina ikut kaget akan keberadaan papanya di depan kamar. Ia yakin papanya mendengar semuanya.
"Elina..." Papa Chandra memasuki kamar dengan perlahan. Di bawah celananya, nampak perban yang membaluti kakinya. Elina dengan khawatir sontak beranjak hendak membantu papanya berjalan. Tapi, Papa Chandra mengangkat telapak tangan kanannya, menolak bantuan Elina.
Pria paruh baya itu memasukkan kedua tangannya di saku celana. Menatap Elina yang kini sudah berdiri bersampingan dengan Devid di depannya. "Elina, apa kamu masih belum mengerti? Devid itu suamimu. Sangat tidak baik jika seorang istri memanggil suami dengan sebutan 'om'. Meskipun umurmu dengan Devid terpaut cukup jauh, tetap saja panggilan itu sangat tidak etis. Mulai sekarang, panggillah suamimu dengan sebutan 'sayang'---"
"Sayang? Bagaimana mungkin aku memanggilnya dengan sebutan itu, Pa? Kami saja baru mengenal beberapa hari," tolak Elina.
"Tapi itu cara yang baik untuk kedekatan kalian, Elina."
Raut wajah Elina terlihat frustrasi. Beberapa detik berlalu dengan keheningan. Akhirnya gadis itu mencoba menawar, "Bagaimana kalau Elina memanggilnya 'Kak' saja?"
"Tapi, Elina, 'Kak' itu panggilan untuk---"
"Pa, itu sudah lebih baik daripada 'om'," potong Elina.
Papa Chandra menatap Devid dengan tidak enak. "Apa itu tidak masalah, Devid?"
"Tidak apa-apa, Pa. Selagi bukan panggilan 'om', tidak masalah," jawab Devid dengan senyum dipaksakan.
"Oh, iya, Devid. Papa juga ingin mengingatkanmu. Elina itu istrimu. Sedikit keterlaluan jika kamu memanggilnya 'anak kecil'. Apa kamu bisa memanggilnya dengan sebutan lain yang lebih hangat? Karena pastinya mamimu akan marah bila mendengarmu memanggil Elina begitu," tutur Papa Chandra lugas.
"Ehm, iya, Pa. Maafkan Devid," ucap Devid. Ia sebenarnya juga tahu, jika maminya mendengarnya memanggil Elina dengan sebutan itu, habis dirinya diceramahi tak henti-henti.
"Minimal panggillah istrimu dengan namanya," saran Papa Chandra. Pria itu sebelumnya menduga pernikahan putrinya diawali dengan begini.
"Iya, Pa."
"Satu lagi. Selain itu, Papa juga mendengar pertengkaran kalian. Membuat satu sama lain merasa kesal, menyuruh suami tidur pisah, tidak ingin melihat satu sama lain, apa itu membuat hubungan menjadi baik? Apa itu membuat perasaan kalian senang? Tidak kan? Ayolah, kalian ini sudah menjadi pasangan suami istri. Cobalah berbicara baik-baik, berlaku baik dan menerima satu sama lain. Dengan begitu papa yakin kalian bisa mencapai pernikahan yang amat bahagia," tutur Papa Chandra panjang lebar. Ia menatap putri dan menantunya bergantian. "Kenapa masih diam-diaman? Tidak ada yang berniat meminta maaf duluan? Elina, apa kamu tidak mau meminta maaf pada suamimu atas perkataanmu tadi?"
Elina memutar bola mata. Dalam hati ia merutuk kesal. Sesekali melirik ke arah Devid yang sudah beralih menghadapnya dan menunggu dirinya untuk meminta maaf.
"Elina ...!" Papa Chandra memanggil, memberi kode supaya Elina segera melakukannya.
Elina menghela napas cepat. Dikumpulnya keberanian yang tadi sempat menciut karena adanya Papa Chandra. Segera ia menjulurkan tangan kanannya. Tatapan yang terbilang belum bersahabatnya itu bertemu dengan sorotan datar dari mata indah Devid. "Maafkan aku, Kak."
***
Bersambung
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."