Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya.
"Lin, kok baru pulang?"
Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."
Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa."
"Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus.
"Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.
Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Papa Chandra mengulas senyuman simpul. Dielusnya rambut hitam panjang sedikit bergelombang yang dimiliki Elina. "Ini yang terpenting, menyangkut masa depan sekaligus jodohmu."
Mendengar ucapan papanya, Elina sontak mengerutkan kening. Ia tidak bisa menangkap maksud dari perkataan Papa Chandra. "Maksudnya, Pa? Jodoh siapa?" Sembari berekspresi bingung, tatapan Elina setia mengikuti punggung papanya yang kian menjauh. Ia menghembuskan napas karena papanya tak kunjung memberi jawaban dan hal itu membuat rasa penasarannya meningkat. Akhirnya, Elina pun bergegas ke kamar dan melakukan perintah papanya.
***
Elina merapikan jepit rambutnya. Ia menatap penampilannya dari bayangan yang terpantul di cermin dari atas hingga bawah. Gaun tanpa lengan selutut bewarna biru menempel di tubuhnya. Dengan bedak tipis di wajahnya, Elina terlihat cantik dan dewasa dengan penampilan anggunnya.
Alis tebal nan rapi serta bulu mata lentik mempercantik wajahnya yang putih cerah. Hidung mancung dan bibir sedikit tebal menjadi khas kecantikan yang terpancar dari seorang gadis berumur 18 tahun yang bernama Elina Denita Chandra itu.
Merasa penampilannya sudah rapi, Elina bergegas turun ke bawah. Mobil mewah bewarna hitam mengkilat yang ditumpangi dirinya dan Papa Chandra melaju dengan kecepatan sedang menuju Niere Restaurant, membelah jalan besar yang diterangi oleh lampu di pinggiran jalan serta bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di langit gelap.
***
Sesampainya di Niere Restaurant.
"Pa, Elina mau ke toilet dulu, ya," pamit Elina dengan terburu-buru berjalan ke arah yang berlawanan dengan Papa Chandra.
"Iya, sana. Nanti kamu nyusul ke meja 14, ya. Di sana sudah ada keluarga teman papa," ucap Papa Chandra mengingatkan.
"Iya, Pa." Tanpa melihat papanya lagi, Elina mempercepat langkahnya menuju toilet pada restauran yang sering ia kunjungi itu. Karena terlalu terburu-buru dan tidak melihat sekitar, tanpa sengaja Elina menabrak seseorang.
Bruk!
"Awww!" Elina memegangi keningnya yang sedikit sakit karena menabrak dada bidang atletis milik seorang pria tampan yang terbalut jas hitam. Dengan kening berkerut dan wajah sebal, Elina membuka mata. Terlihat seorang pria di depannya, kalau dilihat-lihat wajahnya masih muda, mungkin mahasiswa. Entahlah, Elina tak menyoalkan hal itu.
"Beraninya anda menabrak saya?!" Ucap pria itu dengan nada dingin seperti ekspresinya sekarang.
Elina memelototkan mata. Gadis yang sering mendapat ranking satu di kelas serta banyak menjuarai perlombaan sains itu tak mengira pria yang menabraknya itu akan berkata begini. Elina pikir ia akan mendapat permintamaafan. "Maaf, tapi sepertinya anda yang menabrak saya. Anda yang tiba-tiba berada di depan saya."
Pria itu tersenyum miring. "Saya menabrak anda? Anda buta ya? Anda sendiri yang jalannya terlalu cepat bahkan sampai tidak melihat sekitar. Lain kali kalau jalan menggunakan mata!"
Mengetahui tatapan remeh dan merendahkan yang dilayangkan pria itu membuat Elina semakin sebal. Bisa-bisanya pria itu bukannya meminta maaf, malah berkata seperti ini. Detik kemudian, Elina menyahut cepat, "Ah, saya buta ya? Haha. Berjalan menggunakan mata? Bagaimana caranya? Bisa ditunjukkan?"
Pria itu kini melempar tatapan datar. Merasa aneh dengan gadis di depannya. Baru kali ini ada seorang perempuan yang berani menyahut perkataannya. Segera pria itu berjalan ke depan, sempat menabrak sengaja bahu kanan Elina. Tiga langkah setelahnya, ia berbalik badan. Dilihatnya rupa cantik Elina yang terarah padanya. "Begini caranya, bodoh!"
Elina meniru ekspresi pria itu. Senyuman smirk ala orang jahat terulas di wajahnya. Namun, tak mengurangi kecantikannya. "Bodoh, itu berjalan menggunakan kaki namanya, bukan mata. Anda pikir anda spongebob? Dasar, orang aneh." Seraya mengibas-ibaskan rambut ke belakang bahu, Elina kembali melanjutkan jalannya yang sempat terhenti menuju toilet. Tak memerdulikan pria yang sekarang mengumpatnya dalam hati itu.
"Spongebob? Cih, gadis sialan!"
***
Elina berjalan ke arah meja nomor 14. Tempatnya berada di sudut ruangan dan di sekitarnya cukup sepi. Elina pikir pertemuan ini terbilang cukup privasi. Dengan anggun dan senyuman manis tersemat di wajah cantiknya, Elina duduk di bangku samping papanya. "Selamat malam, Om, Tante," sapanya pada pasangan paruh baya yang ia ketahui merupakan teman papanya.
"Selamat malam juga, Elina... Ya ampun, lihatlah dia, Pi. Elina sudah tumbuh menjadi gadis secantik ini. Terakhir kali kita bertemu ketika dirimu masih berumur empat tahun, Lin. Apa kamu ingat? Saya tante Dania, sahabat karib mamamu," ucap Mami Dania, mami dari pria yang tadi bertabrakan dengan Elina. Wanita itu terlihat sangat antusias. Sementara di sebelahnya, duduklah seorang pria yang seumuran dengan Mami Dania, yaitu Papi Andra, suami Dania.
Elina tersenyum kecil. "Maaf, Tan. Elina lupa."
"Ah ya sudah tak masalah. Ngomong-ngomong, Chandra. Kau sepertinya membesarkan putrimu dengan sangat baik. Dia tampak sangat mirip dengan Erika," timpal Papi Andra.
"Tentu saja, Ndra. Aku sudah berjanji pada Erika untuk terus menjaganya," sahut Papa Chandra. Elina hanya mengangguk-angguk pelan mendengar bahasan tentang ibunya yang sudah lama meninggal.
"Oh, iya, Chandra, apa kau sudah mengatakan pada Elina tentang itu?" tanya Mami Dania di tengah keheningan yang baru saja tercipta.
Elina menoleh dengan raut wajah bingung. "Apa ada yang disembunyikan papa?" batinnya.
"Belum. Aku baru ingin mengatakannya sekarang."
"Mengatakan apa, Pa?" tanya Elina.
"Ehm. Begini Elina, sebenarnya tante, om, papamu, dan mamamu sudah lama merencanakan---"
Ucapan Mami Dania terputus oleh kedatangan seorang pria di meja mereka. "Mi," panggil pria tersebut.
Perhatian mereka seketika teralih pada sosok tegap nan tampan yang berdiri dan hendak duduk di samping Tante Dania. Elina membelalakkan matanya, kala melihat pria yang duduk di depannya itu adalah pria yang menabraknya tadi. Ekspresi yang sama ditunjukkan oleh si pria yang bernama Devid itu. Dalam batin, mereka bersamaan berteriak memanggil satu sama lain.
"Tuan spongebob?!"
"Gadis sialan?!"
Papa Chandra, Mami Dania, dan Papi Andra terheran melihat raut wajah yang ditunjukkan kedua anak mereka. "Kenapa kalian sama-sama kaget begitu? Apa kamu sudah bertemu dengannya sebelum ini, Elina?"
"Ti---tidak, Tante. Elina hanya kaget ada om-om yang tiba-tiba datang dan duduk di sini," jawab Elina seadanya sembari memasang ekspresi datar pada Devid.
Mami Dania terkekeh pelan, diikuti suaminya dan papa Elina. Sementara Devid membesarkan matanya mendengar ucapan Elina yang memanggilnya 'om-om'.
"Elina, dia Devid, anak tante satu-satunya. Umurnya masih 25 tahun. Apa terlihat sangat tua hingga kamu panggil om? Hahaha. Devid, kenalkan ini Elina."
"Ehehe." Elina hanya menyengir menahan tawa. Lalu ia mengalihkan topik dengan pertanyaannya. "Tante bilang tante, om, papa, dan mama merencanakan sesuatu. Apa itu, Tan?"
"Ahh, begini. Selagi kita semua sudah kumpul, langsung ke intinya saja, ya." Mami Dania memposisikan tubuhnya lebih baik sebelum lanjut bicara. "Kami sudah lama merencanakan tentang perjodohan kalian berdua---"
Belum sempat Mami Dania menyelesaikan perkataannya, suara gebrakan meja dan teriakan bersamaan dari Devid dan Elina tiba-tiba terdengar. Brak! "Apa?!"
Mami Dania sontak memegangi jantungnya yang hampir pindah posisi. "Astaga!"
Elina menatap tajam ke arah papanya. "Apa maksudnya ini, Pa? 'Perjodohan kalian berdua' itu 'kalian' siapa, Pa? Elina dengan om-om ini?! Tentu saja tidak mau, Pa!"
Sama halnya yang terjadi pada Devid. Dengan tegas dan penuh ketidakterimaan ia berkata, "Ma, apa-apaan, ini Ma?! Devid tidak mau!"
Papi Andra yang tak tahan dengan keadaan pun seketika menengahi. "Cukup-cukup! Bicara yang baik!"
Mami Dania menghela napas panjang. Merasa keadaan sudah kembali hening, ia melanjutkan perkataannya. "Perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama, Lin, Vid. Semuanya mutlak, kalian jangan menolak. Ini jodoh terbaik yang orangtua pilih untuk kalian berdua. Jika kalian menurut dan membiarkan para orangtua mengurusi pernikahan kalian, maka sesuai rencana, pernikahan akan dilangsungkan akhir pekan nanti."
***
"Lin... Bukain pintunya! Ini papa.
Panggilan dan ketukan pintu kamar oleh Papa Chandra tak Elina indahkan. Gadis yang sedang merajuk dan dalam suasana hati buruk itu sengaja mengunci pintu kamar. "Enggak akan Elina buka sampai papa batalin perjodohan ini!"
Di luar, Papa Chandra menghembuskan napas tak pendek. Bingung bagaimana cara menghadapi Elina saat ini. Memang sebelumnya pria paruh baya pemilik DC Group itu sudah mengira putri kesayangannya akan begini. "Elina …. Perjodohan ini sudah dibuat sejak kamu masih kecil. Mama juga ikut serta dalam hal ini. Apa kamu mau mengecewakannya?"
Elina menyatukan alis. Tangannya masih setia memeluk erat dirinya dengan posisi terduduk di samping ranjang dan kedua kakinya ditekuk. "Enggak mungkin, Pa! Mama baik dan sangat menyayangi Elina. Mama nggak mungkin membuat perjodohan konyol ini, Pa! Lagipula kenapa sih ada hal seperti itu? Elina juga masih sekolah, Pa. Elina punya hak untuk menikahi pria yang Elina cintai kelak. Bukan menikahi pria yang bahkan sama sekali nggak Elina kenal dan menikah dengan penuh paksaan!"
***
Bersambung
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."