Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."
Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
"Lantas, apa kamu masih ingin menolak perjodohan ini?"
Elina diam tak menjawab. Bulir air matanya menetes. Cukup lama suasana hening di ruangan itu terjeda. Baik Papa Chandra maupun orangtua Devid, mereka sangat menanti jawaban Elina. "Tidak, Pa. Elina mau, Elina akan menerima perjodohan ini."
"Demi papa," batin Elina.
Jika saja raut wajah Elina sedang tidak sedih seperti saat ini, pastinya ruangan itu akan menjadi meriah karena kebahagiaan orangtua Devid dan Papa Chandra.
"Benarkah, Lin?"
"Iya, Pa. Demi papa," sahut Elina seadanya.
"Tidak masalah sekarang demi papa, pada akhirnya juga demi Devid," celetuk Mami Dania pelan dengan senyuman lebar menghiasi wajah cantiknya yang sudah sedikit keriput.
Devid menyenggol pelan lengan maminya. Kemudian sedikit menyatukan alis, mengode. Mami Dania malah memberi pelototan yang akhirnya membuat Devid terdiam, menyimak.
Papa Chandra menatap Papi Andra cukup lama hingga papi Devid itu mengerti maksudnya. Ia mengajak istrinya keluar ruangan dan menyuruh Devid untuk tetap di sana.
Papa Chandra mengelus punggung tangan Elina yang putih nan halus. "Itu pilihan yang bagus, Elina. Mamamu pasti sangat bahagia di sana melihat putrinya akan menerima perjodohan yang dibuatnya."
Elina hanya mengangguk pelan. Tak berniat menjawab.
"Ketika kalian sudah menikah nanti, kamu akan tinggal di rumah suamimu. Jadilah istri yang penurut, sabar menghadapi segala situasi, dan ikutilah segala perintah suamimu yang baik-baik. Devid, apabila Elina nanti berbuat nakal, katakan saja pada saya."
"Eh? Ehm, iya, Om," jawab Devid singkat.
Elina terharu. Rasanya perkataan papanya seolah menjadi kata-kata perpisahan antara papa dan anak sebelum pernikahan. Telinganya kembali disiapkan, rupanya Papa Chandra hendak lanjut bicara.
"Elina, tidak udah khawatir. Teman-teman sekolahmu tidak akan mengetahui hal ini. Hanya kepala sekolah yang akan hadir di upacara pernikahan nanti. Lalu, setelah kamu menikah, yang akan mengantarkanmu ke sekolah adalah supir atau suamimu. Yang memberimu uang saku juga suamimu. Pokoknya semuanya nanti selalu berhubungan dengan suamimu. Oh, iya, jangan lupa sering-sering mengunjungi papa dan makam mama, ya."
"Lalu dengan siapa papa di rumah? Siapa yang menjaga papa dalam keadaan seperti ini?" Tanya Elina khawatir.
"Tenang saja. Papa akan selalu baik-baik saja selama hubunganmu dengan Devid baik."
***
Setelah berbincang sedikit dengan Elina. Gadis itu keluar dari ruangan untuk membeli minuman. Sementara di sini, masih ada Devid dan Papa Chandra.
"Devid, kemarilah!" pinta Papa Chandra pada calon menantunya. Devid langsung menurut. Ia duduk di kursi yang tadi ditempati Elina.
"Ada apa, Om?"
"Saya mau menceritakan sesuatu tentang Elina."
Devid sedikit tertegun. "Silakan, Om," katanya dengan penasaran yang mulai timbul. Sepertinya ini bukan sesuatu yang biasa.
"Sebenarnya ..., saya mendengar percakapan kalian di kamar di hari Elina mencoba gaun pengantin. Maafkan sikap Elina yang kekanak-kanakan, sombong, dan semaunya sendiri itu. Sebenarnya dia dulu adalah gadis yang penuh keramahan dan kelembutan. Tapi semuanya berubah ketika kejadian itu terjadi."
Devid mengerutkan kening. "Kejadian apa, Om?"
"Begini, waktu Elina masih SMP, dia suka pergi sendiri ke mana-mana. Sampai ketika malam hari, dia berjalan di pinggir jalan yang terbilang sepi. Beberapa preman menghadangnya dan hampir melecehkannya. Beruntungnya saat itu saya sedang mencarinya. Jadi saya segera menemukannya dan menyelamatkan Elina dari kejadian yang mungkin akan menjadi hal terburuk di hidupnya."
Devid tercengang mendengarnya. Tak disangka semuanya berawal dari situ. Ia membatin, "Kukira sifat menyebalkannya itu bawaan dari lahir dan memiliki peran antagonis dalam drama kehidupan ini. Astaga, ternyata ada sebuah kejadian besar yang melatar belakanginya."
"Itu pasti sangat mengerikan untuknya yang masih muda, ya, Om. Lalu bagaimana selanjutnya?" Tanya Devid semakin penasaran. Alisnya terangkat menandakan dirinya ingin tahu. Padahal sebelumnya Devid tidak pernah bertanya tentang seseorang sedalam ini karena sifat dingin dan tidak mau taunya. Entahlah, ini benar-benar tidak seperti biasanya. Tapi sepertinya Devid tidak menyadari akan rasa keingintahuan pada dirinya.
"Setelah itu, Elina jadi pendiam, tidak terlalu suka berbaur, dan bersikap galak pada semua orang yang berjenis kelamin laki-laki kecuali saya. Mungkin itu bentuk traumanya. Tapi sejak itu juga Elina ingin mahir bela diri. Ia sering latihan untuk berjaga-jaga jika suatu saat kejadian seperti itu terulang," jawab Papa Chandra dengan sedetail yang ia bisa ceritakan. "Karena itulah, sifatnya padamu juga berlaku, kan? Seperti kemarin-kemarin."
"Iya, Om. Ternyata begitu ceritanya ...."
***
"Ambil ini!" Papa Chandra menyodorkan seponggok amplop cokelat yang berisi sejumlah uang pada dokter yang tadi berjaga di ruangannya.
"Terimakasih, Tuan," ucap dokter kepercayaan Papa Chandra tersebut sambil membungkukkan badan. Senyuman tipis tersemat di wajahnya.
"Hm." Papa Chandra kemudian meninggalkan tempat itu dengan Papi Andra tanpa alat bantu jalan. Mereka berdua tertawa bersama.
"Parah sekali kamu, Chan. Tapi sip lah bisa membuat Elina percaya. Hahaha!" ucap Papi Andra sembari menepuk bahu teman semasa sekolahnya itu. Ya, mereka memang sudah akrab, lebih tepatnya sangat akrab sejak dulu.
"Haha tentu saja. Bagaimana lagi, hanya dengan beginilah Elina mau menurut," ujar Papa Chandra, "lalu sekarang bagaimana? Kita langsungkan upacara pernikahannya sekarang saja."
"Ya, tentu saja. Dania sudah membawa Elina ke rumahmu untuk mengganti pakaian," jawab Papi Andra.
Papa Chandra hanya mengangguk sekali. Kemudian mereka sama-sama diam. Hanya terdengar langkah kaki menuju lift.
"Oh, iya, menurutmu kalau kita pesankan tiket honeymoon setelah mereka menikah bagaimana?" Tawar Papa Chandra. Dirinya memang sangat antusias dengan pernikahan dan hubungan Elina ini.
"Hm..." Papi Andra nampak berpikir. "Aku sih boleh-boleh saja. Dania pasti juga sangat menginginkan hal ini. Tapi, Elina kan sudah kelas sembilan. Apa honeymoon ini nantinya tidak akan mengganggu kesibukannya?"
"Hm, benar juga, ya. Sudahlah, nanti biar kita pikir-pikir lagi."
***
Elina menghapus air matanya yang sempat menetes. Wajahnya yang tadi penuh make up sekarang luntur karena air matanya. Gaun putih menempel di tubuhnya. Semuanya terpampang jelas dari pantulan cermin di depannya sekarang.
Sebuah cincin berhias berlian melingkar di jarinya. Menjadi bukti bahwa pernikahannya dengan Devid sudah sah beberapa jam lalu. Sekarang Elina berada di rumahnya untuk terakhir kali sebelum besok dirinya pindah ke rumah Devid.
"Aku tidak pernah berharap akan pernikahan ini hiks ... hiks .... Tidak pernah berharap akan berhubungan sah dengan pria yang bahkan tidak pernah kulihat dan kukenal sebelumnya. Apalagi menikah demi papa dan mama, bukan demi perasaan cinta hiks .... Ini adalah takdir terburuk yang pernah kualami! A---aku tidak akan pernah bisa bahagia dengan pria sialan itu hiks ... dia bukan pria baik, bukan tipeku, dia juga sepertinya tidak pintar materi sains. Aku tidak akan pernah bisa mencintainya. Argh! Kepalaku bisa pecah memikirkan pernikahan yang tidak pernah kuinginkan ini!" guman Elina. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening. Matanya dipejamkan sementara dahinya mengerut dalam. Benar-benar mengekspresikan perasaan tak senangnya.
Elina sangat menyesali pernikahan ini. Tapi sebesar apapun rasa penyesalan dan ketidakterimaannya, semuanya telah terjadi. Waktu tidak bisa diulang kembali. Kalaupun Elina minta bercerai dengan Devid, para orangtua tidak akan mengijinkan kecuali jika terjadi hal fatal. Ah, sudahlah, Elina bisa menyimpulkan bahwa pernikahan ini akan ia jalani demi kebaikan papanya. Hanya dengan alasan itu. Dan sekarang, selepas mengeluarkan unek-unek panjang di depan cermin, Elina menghirup dan menghembuskan napas panjang berkali-kali.
Elina menatap dirinya di depan cermin, menatap seorang gadis berbaju pengantin yang tengah murung dengan mata sembab. "Sudahlah, Elina. Pernikahan ini sudah terjadi. Yang harus aku lakukan mulai sekarang adalah bisa menghadapi Tuan Spongebob itu meskipun mungkin dia tidak akan memperlakukanku dengan baik seperti sebelumnya. Tak apa, demi papa."
***
"Oh Gosh, menantuku sangat cantik. Duduklah si samping Devid, sayang," titah Mami Dania dengan senang hati.
Elina tersenyum tipis. "Iya, Tan." Sejenak tatapan yang berubah jadi datarnya beradu dengan Devis yang menatapnya tajam.
Mami Dania sontak merasa tidak suka. "Kok 'Tan'? 'Mami'! Panggil saya 'mami'! Sekarang mami adalah mami kamu. Mengerti?"
"I---iya, Tan, eh, Mi." Elina hanya menyengir sekilas. Papa Chandra yang berada di seberang meja makan menggelengkan kepalanya pelan.
"Biasakan panggilan itu, Nak. Panggil Andra dengan sebutan 'Papi' juga. Jangan sampai memanggil mertuamu seperti tadi. Kan tidak lucu," ucap Papa Chandra mengingatkan. Elina hanya mengangguk pahat-pahat, lalu mengambil sendok dan garpu untuk memulai makan.
Di saat acara makan malam sudah hampir berakhir, Mami Dania yang sekarang sudah menjadi ibu mertua Elina membuka percakapan. "Oh, iya, Devid. Tadi mami sudah bicara dengan Chandra. Malam ini kamu menginap di rumah mertuamu dulu, ya. Semalam saja, sekamar dengan Elina yang pasti. Mami dan papi pulang ke rumah."
"Uhuk!" Elina yang baru saja memasukkan potongan daging di mulutnya, tepatnya di atas lidah, secara refleks ia keluarkan kembali ke atas piring. "Sekamar, mi?"
"Iya, Elina sayang. Kalian kan sudah menikah. Apa salahnya?"
"Betul, itu harus dibiasakan, Lin. Ketika kamu seatap dengan Devid nanti, pastinya kamu akan tidur berdua dengannya."
Mata Elina membulat, serasa ingin keluar dari tempat normalnya. Wajahnya menegang. Sementara pikirannya melayang membayangkan betapa buruknya sekamar dengan si Tuan Spongebob. Kemudian ia melirik perlahan, menatap Devid yang ternyata juga sedang menatapnya dengan dingin seperti biasa. Senyuman remeh nan mengerikan diulaskan pria itu, membuat Elina bergidik ngeri.
"Sekamar? Sial, bakalan jadi the nightmare (mimpi buruk) untukku!"
***
Bersambung
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Elina berjalan bersama Kayla setelah gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka berdua yang merupakan primadona sekolah menjadi pusat perhatian kaum adam. Kecantikan mereka yang diketahui oleh seantero sekolah membuatnya kerap menjadi bahan perbincangan, terlebih Elina.Seorang lelaki dengan sebuah jas OSIS yang menutupi seragam putihnya mendekati Elina dengan senyuman manis di wajahnya. Dialah Kevin, ketua OSIS sekolah sekaligus sahabat Elina dan Kayla yang sejak lama memendam rasa cinta pada Elina. Kevin memiliki wajah tampan dengan kulit putih, hidung mancung, serta alis tebalnya yang selalu menarik perhatian kaum hawa di sekolah ini."Hai, Lin, Kay," sapa Kevin ramah. Elina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan sedikit dipaksakan karena pikirannya masih terpenuhi oleh pernikahannya. Sementara Kayla nampak sangat antusias menjawab sapaan Kevin dengan senyuman lebar ia sematkan di wajah cantiknya."Kamu kenapa, Lin? Kayak
"Maafkan perkataanku tadi, Kak. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Elina sedikit lirih namun masih bisa didengar. Devid menarik sudut bibir kirinya. Entah kenapa pria itu merasa sangat senang dan puas melihat Elina yang seperti ini."Ehm, karena aku baik, aku memaafkanmu, Dik Elina," balas Devid sembari menekankan suaranya pada dua kata terakhir, "aku juga minta maaf atas perkataanku tadi.""Hish, senyum sinisnya itu membuatku geram!" batin Elina. Meskipun ucapan Devid terdengar sangat tulus, senyuman miring yang terulas di wajah tampan pria itu seperti mengartikan bahwa Devid tidak serius dengan ucapannya. Elina segera melepas jabatan tangannya. Lalu beralih kembali menatap sang papa. "Sudah, Pa.""Hm, ya sudah, kalau begitu Papa ke kamar dulu. Jangan sampai Papa mendengar hal ini lagi. Malu kan kalau Andra atau Dania mendengarnya. Devid, kalau Elina berkata seperti ini lagi, katakan atau telepon pada papa, ya," ingat Papa Chandra, "Elina, hormati Devid d
Setelah makan malam, Elina mendaratkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk di ruang keluarga. Channel televisi di depannya menampilkan iklan karena acara yang ditunggu belum mulai. Sedangkan papanya dan papi mertua sedang mengobrol di balkon bersama Devid, mungkin membahas perusahaan.Decitan sofa yang baru saja diduduki Mami Dania mengalihkan perhatian Elina. "Eh, Mami." Elina sedikit menggeser duduknya supaya bisa bersampingan dengan Mami Dania."Terimakasih, sayang."Suasana hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara dari televisi. Elina sebenarnya merasa cukup kikuk duduk berdua saja dengan mami mertuanya. Itu selalu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Padahal seutuhnya Elina belum siap."Oh, iya, Nak. Bagaimana sekolahmu? Mami dengar kamu sangat terkenal di sekolah."Elina terkekeh pelan. "Semuanya baik-baik saja di sekolah. Elina sering memenangkan perlombaan atau olimpiade, Mi, sering menerima
Papa Chandra mengulum bibir singkat. Benaknya dalam sedetik menyusun kata-kata. "Elina, hari ini adalah hari pernikahanmu. Hari besar dan penuh kebahagiaan untuk dirimu dan papa. Tapi kenapa kamu malah kabur? Kenapa kamu malah menyakiti hati papa? Malah mempermalukan papa di depan keluarga Devid? Dia pria yang baik, mapan, dan berpendidikan, Elina. Apa yang buruk darinya? Mamamu sendiri yang memilihnya untuk menjadi jodohmu sejak kamu masih kecil karena dia sangat yakin kamu akan bahagia dengannya. Ketahuilah, pernikahanmu dengan Devid adalah salah satu keinginan terbesar papa dan mamamu. Kalau ini adalah hari terakhir papa, tak lain dan tak bukan, itulah keinginan terakhir papa. Papa hanya berharap kamu mau menurutinya."Hati Elina terasa tertusuk belati. Ia menggeleng cepat. "Tidak, Pa. Jangan bilang begitu! Ini bukan hari terakhir papa."
Sore hari sepulang sekolah; Elina tengah mengunci diri di kamar dan menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sahabatnya, Kayla. Sesekali gadis itu mengintip ke jendela kamar. Antisipasi apabila papanya tiba-tiba datang.Srettt. Tas ranselnya tertutup sempurna. Kemudian Elina berguman, "Pokoknya aku nggak boleh ketahuan papa, nggak boleh ketahuan keluarga om-om itu juga. Pokoknya aku harus berhasil kabur supaya besok upacara pernikahannya nggak jadi berlangsung dan akhirnya aku nggak jadi menikah."Setelah mengintip melalui pintu kamar untuk kesekian kalinya, Elina berjalan keluar dengan mengendap-endap hingga tak menimbulkan suara. Dilihatnya Bi Ani, pembantu di rumahnya yang membawa seember air campuran sabun dan sebuah pel ke ruang depan. Setelah pembantunya yang sudah bekerja sejak lama itu hilang dari pandangannya, Elina berlari cepat menuju halaman belakang, dimana ada tembok sebagai pagar yang tingginya tidak begitu menjulang sehingga bisa dilompati El
Sepanjang perjalanan menuju sekolah tadi pagi, Elina hanya menatap ke arah luar jendela mobil. Menjadi bisu dan tuli dalam beberapa saat untuk menghindari ayahnya. Bahkan ia tak berpamitan sebelum berangkat.Ekspresi cuek, dingin, dan masa bodohnya sekarang menimbulkan perhatian dari teman-teman sekitar. Kayla, sahabat karib Elina pun sangat bingung dengan tingkah aneh Elina yang tak seperti biasanya. "Kamu ada masalah apa lagi, Lin? Kok kayaknya lebih ribet sampai mukamu kusut gitu, sampai ngerjain soal matematika aja lama banget. Nggak kayak biasanya.""Entahlah, Kay. Aku badmood banget." Elina menangkup kedua pipinya dengan tangan. Sementara sikutnya menempel pada meja sekolah sebagai tumpuan."Kay .... Kalau kamu dipaksa jadi pasangan seseorang, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Elina. Jelas saja Kayla langsung mengerti, karena secara tidak langsung Elina menceritakan permasalahannya.Kayla mengerutkan bibir. Nampak berpikir. "Aku sih bakala
Elina mendaratkan dirinya di atas sofa. Tak melepas tatapannya dari layar ponsel yang menampilkan informasi perlombaan sains. Suara khas yang dimiliki papanya mendadak mengalihkan perhatiannya."Lin, kok baru pulang?"Elina menolehkan kepala. Kemudian menjawab, "Iya, Pa. Tadi ada kesalahan teknis di saat mengerjakan soal ulangan susulan."Papa Chandra, papa Elina, mengangguk pelan. Pria yang sudah berpakaian rapi itu duduk di sebelah anak semata wayangnya. "Kamu cepetan mandi, lalu pakai baju yang rapi dan cantik, ya. Papa mau ajak kamu dinner sekalian ketemu sama keluarga teman papa.""Kenapa Elina harus ikut, Pa? Lagian besok ada ulangan matematika, Elina harus belajar," sahut Elina, menolak dengan halus."Elina kan sudah pintar matematika. Tidak perlu belajar pun tidak apa. Karena pertemuan ini sangatlah penting, Lin," ucap Papa Chandra.Elina memajukan bibir. "Ulangan ini lebih penting lah, Pa. Kan menyangkut rapot dan masa depan."