“Heh, gembel gembrot! Ambilkan jus untukku!”
Seorang gadis berujar begitu enteng di ruang makan keluarga. Wajahnya tersenyum mengejek.
Dania Loveto, menantu keluarga Grimaldi, menoleh ke Zila yang baru saja bicara padanya. Tanpa protes, dia mengambil gelas kosong untuk diisi dengan jus yang diminta adik iparnya.
“Ini, Zila.” Dania menyerahkan segelas jus ke Zila.
Zila menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Dania tidak kaget. Semua anggota keluarga Grimaldi memang bersikap dingin dan kasar padanya. Tak terkecuali Hizam Grimaldi, suaminya.
Sebenarnya Dania heran kenapa dirinya dilamar Hizam, anak pemimpin Zenith Group, perusahaan tempat mendiang ayahnya bekerja. Usia mereka terpaut 6 tahun.
Saat itu dia mengira dirinya mendapat durian runtuh saat dilamar Hizam. Dia memang terpikat oleh pesona Hizam ketika pertama kali bertemu sewaktu Dania masih remaja.
Oleh karenanya, dia menerima lamaran itu begitu saja dan tak menyangka perlakuan keluarga Grimaldi sangat buruk terhadapnya.
“Udah! Sana bantu pelayan ambil makanannya! Jangan lemot!” Alina, ibu mertuanya, memerintah dengan suara ketus bagaikan ibu tiri kejam sambil menepikan Dania ke samping dengan kasar.
Dania hampir saja jatuh. Dia mengangguk patuh dan menjalankan perintah Alina. Dia tak ada bedanya dengan pelayan di rumah besar Grimaldi. Terkadang dia bertanya-tanya, apakah karena dirinya yatim piatu, sehingga mereka meremehkannya?
“Oh, sudah kumpul semua, yah?” Terdengar suara Hizam di ambang ruang makan.
Semua orang menoleh padanya, termasuk Dania.
Namun, Dania terkesiap melihat seorang wanita cantik berpenampilan spektakuler seumuran Hizam yang memeluk lengan suaminya.
“Wah! Sudah datang!” Alina, segera berdiri menyambut kedatangan wanita yang dibawa Hizam. Wajahnya menunjukkan kegembiraan. “Papi, ini Leona Mazon yang dulu mantan pacarnya Hizam sewaktu SMA! Yang orang tuanya punya Delight Company! Sekarang dia juga sudah lulusan S2, sama kayak Hizam! Malah dia lulusan luar negeri, loh!”
Arvan hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa sepatah kata. Pria 55 tahun itu memang tak banyak bicara.
Dania terkesiap. Mantan pacar suaminya? ‘Tapi kenapa dia santai sekali melingkarkan tangan ke Hizam?’ herannya di hati.
Mendadak, Dania tersadar akan penampilannya sendiri. Dia jarang punya kesempatan berdandan semenjak menjadi istri Hizam. Dan kini suaminya membawa pulang mantan pacar nan cantik di acara makan malam keluarga!
“Permisi, aku ke kamar dulu!” Dania berlari ke kamar Hizam di lantai atas.
Dia bergegas memilih baju yang lebih pantas dan menoleh ke kotak peralatan kosmetik yang jarang disentuh sejak awal dimiliki. Dibubuhkannya bedak, eyeshadows, dan lipstik seadanya. Dia tak boleh kalah dari Leona.
Namun, ketika kembali ke ruang makan, dia dibuat tertegun oleh apa yang ada di sana.
“Eh?” Dania heran ketika tiba di ruang makan, Leona sudah didudukkan di sebelah Hizam. Padahal selama ini dia sebagai istri Hizam sering makan di meja kecil di sudut ruang makan sesuai perintah Alina, tak boleh ikut di meja makan besar mereka.
Tak hanya itu saja. Hizam bersikap mesra pada Leona. Mereka tertawa akrab seakan ada yang menarik dari obrolan mereka.
Alina menoleh ke Dania yang baru datang dan berkata, “Sana kamu ke dapur aja, makan sama para pelayan!”
“Dandananmu kenapa mirip topeng monyet, sih? Pergi! Pergi! Jangan merusak pemandangan di sini!” usir Zila dengan ucapan kasar.
Dania mengabaikan mulut tajam Zila.
“Tapi, Ma ….” Dania menunjuk kursi yang digunakan Leona sambil dia berjalan ke arah Leona. “Kok dia duduk di sana? Dia kan bukan istri Hizam.”
Mata Alina melotot galak ke Dania seraya berkata, “Kenapa? Aku ingin Leona duduk di sana. Dia lebih cocok di samping Hizam! Pergi sana, perempuan jelek!”
Jantung Dania seolah dihantam godam mendengar bentakan Alina padanya. Memang ibu mertuanya biasa membentak dia, tapi ketika melakukan itu di depan wanita yang didudukkan di samping suaminya … dia merasa tak rela.
“Betul!” Zila menyambung, “Daripada sama topeng monyet kayak kamu, mendingan kakakku yang ganteng dan sukses ini sama perempuan yang sepadan, lah!”
Setelah itu, Alina beralih ke Leona dengan tatapan ramah, “Ayo, dimakan lobsternya! Jangan sungkan-sungkan, Leona. Anggap ini rumah sendiri! Sop krimnya juga enak, loh!”
Leona senang atas perlakuan Alina padanya. Dia melirik Dania dengan pandangan menghina, tanpa merasa bersalah. Bahkan tak segan-segan bergelayut manja di lengan Hizam sembari tersenyum mengejek.
Tidak terkira betapa cemburu dan sakit hatinya Dania. Selama 2 tahun pernikahannya, dia sudah banyak menderita, bersabar, dan memaklumi segala perlakuan buruk Hizam beserta keluarganya. Tapi kali ini ….
“Uh!” Dania menahan tangisnya ketika berbalik badan dan lari ke kamar Hizam.
Di kamar, tangisnya tumpah, dadanya terasa sesak seakan dihimpit batu raksasa.
‘Ternyata makan malam spesial ini untuk Leona! Dan aku yang sibuk menyiapkan ini-itunya sejak pagi!’ raung Dania di benaknya. ‘Mama Alina bahkan seperti menjodohkan Hizam dengan Leona.’
Dania mendengar suara pintu dibuka di belakangnya. Dia menoleh dan melihat Hizam berjalan ke arahnya.
Plak!
“Ah!” Dania terkejut dengan tamparan suaminya dan memandang pria itu dengan tatapan bingung. Dia salah apa?
Sedangkan Hizam, dia menajamkan tatapannya ke Dania seakan matanya bisa membunuh.
“Lancang sekali kamu mau mempermalukan aku dan mama di hadapan Leona! Dia tamu istimewaku! Untuk apa kamu protes?” Mata mendelik Hizam seolah hendak menelan Dania.
Dania mulai gentar.
Dengan suara mencicit pelan, dia berkata, “Hi-Hizam, maaf, tapi aku … aku ini istrimu. Nggak seharusnya dia duduk di sebelahmu—ah!”
Dania tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Hizam sudah menarik keras-keras rambutnya.
“Emangnya kamu siapa, heh?! Cuma wanita jelek, gendut, dan menjijikkan gini! Aku terpaksa menikahimu juga hanya karena papa memaksaku!” desis Hizam dengan suara bengis.
Dania sampai harus memegangi rambutnya yang dijambak Hizam.
“Ta-tapi, Hizam ….”
“Panggil aku Tuan Hizam! Kau pikir kau siapa? Hanya anak karyawan rendahan di perusahaan opa!” Hizam semakin kejam menarik rambut Dania.
Akibat dari tarikan itu, Dania sampai mendongak. Matanya mulai basah oleh air mata. Di antara semua kekejaman Hizam, ini adalah yang paling menyakitkan karena Hizam melakukannya demi wanita lain.
“Tu-Tuan Hizam … aku … aku sudah banyak mengalah, hiks!” Dania sambil terisak mengatakan, “Aku patuh nggak keluar setiap teman kamu datang. Aku juga … juga nggak kerja atau pun meneruskan kuliah setelah jadi istri kamu. Hiks! Aku patuhi semua kemauan kamu, termasuk membantu pelayan, memasak dan bersih-bersih di rumah.”
Tapi sepertinya Hizam tak mau tahu. Belitan tangannya di rambut panjang Dania semakin kencang sampai Dania memejamkan mata karena merasakan pedas di kepalanya.
“Sadari dirimu! Jangan melunjak seenaknya! Mentang-mentang dulu bapakmu membawaku keluar dari kebakaran di pabrik, lalu kamu kira bisa mendapatkan semua dariku? Mimpi tolol!” geram Hizam. “Puih!”
Betapa terkejutnya Dania saat Hizam meludahi wajahnya. Tapi dia tak berani berkata apa-apa. Kemudian, kepalanya tersentak ketika Hizam melepaskan tarikan di rambutnya.
“Jangan lagi ikut campur urusanku kalau nggak ingin kubunuh dan kucincang untuk kuberikan ke anjing!” desis Hizam sebelum pergi meninggalkan Dania di kamar.
Dania menangis semakin keras sampai napasnya terasa sesak.
“Hizam jahat … kalian di sini semua jahat … huhuu ….” Dania meratap pilu.
Penuh emosi, dia akhirnya mengambil tas travelnya untuk diisi beberapa bajunya. Entah pikiran dari mana, dia memasukkan pula buku pernikahan dia dan milik Hizam.
“Sudah cukup! Semuanya sia-sia ... hiks!” Dia tak bisa menolerir sikap Hizam dan keluarganya lebih lama.
Matanya mendadak tertuju ke sofa panjang di dekatnya, memandang sinis benda yang menjadi tempat tidurnya selama ini.
“Aku istri bodoh yang menyedihkan!” bisiknya sambil mengusap kasar air matanya.
Kemudian, Dania keluar dari rumah Grimaldi secara mengendap-endap, lalu berlari sekencang mungkin ke jalanan sambil mendekap tas tanpa memedulikan hujan deras yang mengguyur kota Ivory malam itu.
‘Kau tak bisa menceraikan aku dan tak boleh menikahi wanita lain, Hizam!’ pekik batin Dania sembari terus berlari ke jalanan tanpa menyadari adanya mobil dari arah samping ketika hendak menyeberang secara gegabah.
“Aarrgh!” Dania menjerit ketika sorot lampu mobil semakin mendekat padanya.Namun, kakinya kaku tak bisa digerakkan seolah ada bongkahan beton membelenggunya.Mobil sudah berusaha mengerem sejak tadi, tapi cukup sulit dikarenakan jalanan licin akibat hujan.“Ugh!” Dania jatuh terduduk, tepat di depan mobil yang akhirnya berhasil dihentikan.Seorang pria jangkung memakai mantel tebal keluar dari kabin belakang dengan wajah cemas.“Nona, kau tak apa-apa? Ada luka?” tanya pria itu, hendak mendekat ke Dania.Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dania lekas berdiri dan berlari kencang menjauh dari pria itu, lalu menghilang di sebuah tikungan pertokoan.Pria itu tertegun di tempatnya sambil bergumam, “Dia … Dania?”Lalu, sopir keluar sambil membawa payung. “Tuan Rivan, silakan masuk. Ini masih di tengah jalan.”Pria bernama Rivan Ortiz itu pun masuk kembali ke mobil meski hatinya terus bertanya-tanya kenapa Dania berlari di tengah hujan.Setengah jam berikutnya, Dania duduk di depan
Tak terasa, 3 tahun berlalu.“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”Dani
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon