“Aarrgh!” Dania menjerit ketika sorot lampu mobil semakin mendekat padanya.
Namun, kakinya kaku tak bisa digerakkan seolah ada bongkahan beton membelenggunya.
Mobil sudah berusaha mengerem sejak tadi, tapi cukup sulit dikarenakan jalanan licin akibat hujan.
“Ugh!” Dania jatuh terduduk, tepat di depan mobil yang akhirnya berhasil dihentikan.
Seorang pria jangkung memakai mantel tebal keluar dari kabin belakang dengan wajah cemas.
“Nona, kau tak apa-apa? Ada luka?” tanya pria itu, hendak mendekat ke Dania.
Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dania lekas berdiri dan berlari kencang menjauh dari pria itu, lalu menghilang di sebuah tikungan pertokoan.
Pria itu tertegun di tempatnya sambil bergumam, “Dia … Dania?”
Lalu, sopir keluar sambil membawa payung. “Tuan Rivan, silakan masuk. Ini masih di tengah jalan.”
Pria bernama Rivan Ortiz itu pun masuk kembali ke mobil meski hatinya terus bertanya-tanya kenapa Dania berlari di tengah hujan.
Setengah jam berikutnya, Dania duduk di depan sebuah toko yang sudah tutup. Ini sudah cukup larut sehingga keadaan jalanan cukup sepi.
Sambil memeluk tasnya, Dania terisak, “Hiks! Jahatnya kamu, Hizam!”
Terbayang saat remaja, dia terpesona dan menjadikan Hizam sebagai idola setelah bertemu ketika menjemput mendiang ayahnya, Greg Loveto, dari pabrik Zenith.
“Tidur di sofa itu! Aku malas seranjang denganmu!” Ini yang diucapkan Hizam di malam pengantin mereka sembari menunjuk ke sofa panjang di kamar.
Ketika itu, Dania berpikir mungkin saja Hizam masih malu atau belum terbiasa ada orang lain di tempat tidurnya.
“Paham, nggak sih? Aku jijik sama kamu! Udah badan kayak karung beras! Muka pas-pasan pula!”
Dania mengingat ejekan kasar itu pada dirinya ketika dia ingin ikut Hizam ke kantor.
Bahkan saat Dania ke kantor Hizam untuk memberikan kejutan sambil membawa makan siang hasil masakannya sendiri yang dipersiapkan sejak pagi, kotak bekalnya dicampakkan ke tempat sampah oleh satpam atas perintah suaminya.
“Awas aja kalo kamu keluar saat teman-temanku ke rumah, aku cekik kau sampai mati!” ancam Hizam di suatu sore padanya.
Tangis Dania semakin keras ketika mengingat perlakuan kasar Alina dan Zila.
“Menantu tolol! Bisa kerja, nggak sih? Disuruh ngepel jongkok aja nggak beres! Ulangi semua ruangan!” Alina beberapa kali menyiksanya dengan menjadikan dia pembantu di rumah besar itu.
Sedangkan Zila lebih suka menghina fisiknya.
“Dih, gembrot jelek! Minggir, jauh-jauh dariku! Aku nggak mau ketularan gembrotmu!”
Dania menahan semua hinaan dan perlakuan buruk keluarga Grimaldi. Tapi apa hasilnya? Hanya sebuah kenyataan pahit bahwa suaminya tak pernah berubah dan keluarganya justru mendukung Hizam menggandeng wanita lain.
Dadanya terasa sesak jika mengingat semua kemalangannya di rumah itu. Dia merindukan ayah dan ibunya yang sudah tiada. “Kenapa kalian nggak ajak aku mati aja, Ma … Pa ….”
Napasnya mulai tersengal-sengal dan tubuhnya semakin kedinginan. Hingga tak sadar ada mobil mewah berhenti di depannya. Sepasang pria dan wanita berdandan aristokrat keluar dan menghampirinya.
“Nak, kamu baik-baik saja?” tanya si wanita sambil menatap cemas ke Dania. “Kamu pucat sekali.”
Dania tidak menjawab dan justru pingsan.
Pasangan itu membawa Dania ke rumah sakit terdekat untuk lekas ditangani dokter.
“Tuan dan Nyonya Hadid, dari hasil pemeriksaan kami, gadis ini tidak makan seharian. Lambungnya kosong dan mengalami hipotermia ringan karena suhu dingin Ivory malam ini.” Demikian yang dikatakan dokter. “Kami akan memberinya cairan IV.”
Pasangan itu berterima kasih pada si dokter.
Di rumah sakit tersebut, Dania dirawat dengan sangat baik, ditempatkan di ruangan VIP. Pasangan itu tidak meninggalkan Dania dan terus menungguinya.
“Kasihan sekali kamu, Nak. Tidak makan seharian dan kena hipotermia ringan.” Nyonya Hadid bergumam pelan penuh iba sambil mengelus rambut Dania.
Kemudian, dia mengambil tangan Dania yang cukup dingin untuk digenggam agar diberikan kehangatan.
“Eh?”
Namun, alangkah kagetnya dia ketika melihat adanya tanda lahir di pergelangan tangan kanan Dania.
“Tanda lahir berbentuk mirip hati … astaga!” Nyonya Hadid memekik tertahan dan berlari ke suaminya yang sedang bertelepon di dekat pintu kamar VIP.
Dia berkata dengan suara penuh antusiasme ketika suaminya menoleh.
“Sayang, kamu harus lihat sendiri, dia memiliki tanda lahir bentuk hati! Tanda lahirnya sangat mirip! Di tangan kanan pula!” tegas Nyonya Hadid ketika bicara dengan sang suami.
Tuan Hadid terpaksa menyudahi teleponnya dan menyahut, “Tanda lahir bentuk hati? Kau yakin?”
“Tidak salah lagi! Itu dia!” Mata Nyonya Hadid basah oleh air mata.
Mata Tuan Hadid mendelik takjub melihat pergelangan tangan kanan Dania.
“Sayang, kumohon, izinkan aku melakukan tes DNA padanya.” Nyonya Hadid memohon sembari menangis.
Tuan Hadid mengangguk.
“Lakukan saja, Sayang.” Didorong rasa cinta begitu besar pada istrinya, Tuan Hadid menyetujui dilakukannya tes DNA pada Dania.
“Sayang … itu memang tanda lahir yang tak mungkin bisa kulupakan, huhu~” Nyonya Hadid membenamkan wajah penuh air matanya pada dada suaminya sambil memeluk dan terus menangis.
Sang suami mengusap lembut punggung istrinya.
Keesokan harinya, Dania siuman.
“Aku ... di mana?” Suaranya masih parau. Matanya beredar menatap sekeliling, mencoba mengenali tempatnya berada sekarang.
Nyonya Hadid lekas menoleh setelah mendengar suara Dania. Senyum mengembang di wajahnya. Dia lekas mengambil air putih untuk melegakan tenggorokan Dania.
“Kamu di rumah sakit, Nak,” ramah Nyonya Hadid sambil duduk di samping ranjang, menunggui sejak kemarin. “Tadi malam kamu menggigil dengan bibir membiru, lalu pingsan. Makanya kami bawa ke sini.”
“Anda … siapa?” Bersuara lemah, Dania bertanya.
Tuan Hadid mendekat dan tersenyum tulus.
“Kami dari Zeralandia, kebetulan ke Morenia untuk suatu urusan. Namaku Levi Hadid dan ini istriku, Sofia.” Tuan Hadid memperkenalkan diri.
Dania tertegun. Zeralandia! Bukankah itu salah satu negara maju di Barat? Dia terpukau dengan fasihnya bahasa Morenia yang mereka gunakan.
“Namaku Dania.” Dia juga memperkenalkan diri.
Akhirnya Dania mengetahui hasil pemeriksaan dokter.
‘Wajar aja aku pingsan. Kemarin aku nggak makan sejak pagi karena sibuk mempersiapkan makan malam. Apalagi mama Alina hanya bolehin aku makan sehari dua kali, itupun kadang makanan sisa mereka. Tubuhku sebenarnya udah kurusan sejak tinggal di sana, tapi masih aja dibilang gembrot. Huft!’ Dania merenung sambil meremas tepi selimutnya.
Besoknya, kondisi Dania pulih.
“Pak Levi, Bu Sofia, terima kasih atas kebaikan kalian.” Dania sampai membungkukkan badan ke pasangan Hadid. “Aku … aku bersedia melakukan apa pun untuk membalas kebaikan kalian.”
Sofia lekas menahan agar Dania tidak lagi membungkuk.
“Kami senang melihatmu pulih, Dania.” Sofia memeluk Dania seakan enggan melepaskannya. “Nah, karena kamu sudah bilang begitu, aku dan suamiku ingin mengajakmu pulang bersama kami ke Zeralandia. Apa kamu mau? Atau kau punya keluarga di sini?”
Dania termangu. Ke Zeralandia? Apakah dia bisa memercayai pasangan Hadid? Bagaimana kalau ternyata mereka sama buruknya dengan keluarga Grimaldi?
‘Tapi, kenapa hatiku seperti mendorongku untuk mengambil tawaran itu?’ Dania meremas tepi bajunya saat membatin.
“Baiklah, Bu Sofia. Saya yatim piatu dan tak punya kerabat yang aku ketahui.” Dania akhirnya menyetujui. Dia sudah tidak peduli andaikan nanti dijadikan budak atau mungkin dibunuh. Terserah! Tak ada lagi motivasi untuknya hidup.
Sofia senang sekali Dania setuju. Dengan begitu, dia bisa semakin dekat dengan Dania sambil menunggu hasil tes DNA.
‘Aku yakin dia putriku yang hilang bertahun-tahun lalu!’ pekik hati Sofia.
Sesampainya di kediaman pasangan Hadid di kota Mauve negara Zeralandia, Dania termangu kagum memandang mansion mewah di depannya.
‘Ini bahkan lebih megah daripada rumah Grimaldi!’ seru benaknya.
***
Lalu, tibalah hari ketika tes DNA keluar. Sofia dan Levi memanggilnya ke ruang baca.
“Dania Sayang, kami ingin menyampaikan sesuatu. Kumohon kuatkan hatimu.” Sofia mengawali.
Kemudian, Sofia dan Levi memberitahu Dania dengan sangat hati-hati mengenai hasil tes DNA bahwa Dania putri kandung mereka yang hilang 18 tahun silam.
“A-apa?” Dania tercengang dengan mata membeku, menatap tak percaya pada pasangan Hadid.
Levi menyodorkan dokumen kelahiran Dania, sedangkan Sofia memperlihatkan album foto Dania dari masa bayi sampai 3 tahun.
Dania menangis ketika Sofia mengatakan bahwa dia korban penculikan Greg dan Erna Loveto saat berusia 3 tahun. Dia tak menyangka kedua orang tua yang membesarkannya selama ini ternyata penculiknya.
‘Kukira mereka orang tuaku karena sangat menyayangiku,’ kenang Dania mengenai Greg dan Erna.
“Dania Sayang, satu lagi yang harus kau ketahui, bahwa kamu pewaris sah perusahaan besar keluarga Hadid, Nexus Holdings.” Sofia masih saja memberikan bom kejutan ke Dania.
Dania melongo.
* * *
Tak terasa, 3 tahun berlalu.“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”Dani
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
“Rivan! Rivan!” Dania semakin kalap ketika salah satu perawat menutup tirai yang melingkupi tempat tidur.Dia tak mau ketika tirai itu dibuka nantinya, Rivan sudah ditutup kain putih. Dia tak ingin yang dia tonton di salah satu drama akan dia alami sendiri.Maka dari itu, Dania kalap dan berusaha ingin mendekat ke Rivan, memastikan pria itu baik-baik saja.“Nona, tolong jangan mendekat!” Seorang perawat menghadang langkah Dania.Levi berjuang memegangi putrinya.“Dania! Ayo kita keluar dulu!” Levi menarik Dania menyingkir dari sana. “Kita percayakan pada tim medis. Mereka pasti menangani Rivan dengan baik.”Dania menatap ayahnya dan menangis di dada pria tua itu. Setelahnya, dia pasrah ketika digiring keluar kamar rawat inap oleh Levi.Dia terus menangis di luar kamar.“Tuan, Nona,” panggil salah satu perawat.Dania dan Levi sama-sama menoleh.“Gimana pasien?” tanya Dania, tak sabar sambil mengusap kasar air matanya menggunakan ujung lengan baju.Kemudian, dokter jaga yang menangani Ri
Dor!“Agh!” Dania refleks menjerit karena kaget.Dia tidak sempat memberikan reaksi atau respon perlawanan selain merunduk, berharap nyawanya tidak lepas dari raga.Namun, dia justru mendengar suara orang berkelahi. Saat dia mendongak, ternyata Rivan sedang melawan Hizam.“Riv!” pekik Dania melihat Rivan sedang bertarung.Tatapannya jatuh pada pistol yang tergeletak di lantai tak jauh darinya.“Dania! Cepat masuk mobil dan pergi!” seru Rivan.Sedangkan saat ini, di tangan Hizam sudah ada pisau cukup besar yang mengancam nyawa Rivan.Dania menolak pergi. “Nggak! Aku—“Stab!Seketika Dania membeku melongo menyaksikan pisau di tangan Rivan sudah tertancap di perut Rivan.Tersadar oleh situasinya, Dania menjerit, “Rivan!”Sementara itu, terkejut dengan yang dilakukannya, Hizam mencabut pisau itu dan berlari kabur, keluar dari tempat parkir.“Riv! Rivan!” Dania berteriak panik sambil menyongsong Rivan yang ambruk bersimbah darah. “Riv! Bertahan!”Kemudian Dania berteriak minta tolong sambi
“Da-Dania, kenapa kamu sekarang sekasar ini kalau ngomong?” Hizam menatap mantan istrinya.Melihat cara Hizam merespon kalimat tajamnya, Dania malah memberikan wajah canda dengan mata dilebarkan sambil mengulum senyum.Lantas, Dania menyahut, “Apakah kamu terluka ama kata-kata aku, Zam? Itu baru omongan, ya kan? Belum juga aku bikin kamu terluka fisik. Sedangkan keluargamu dan kamu juga… kalian nggak hanya melukai perasaan aku karena omongan jahat kalian, tapi juga melukai fisikku.”Saatnya Dania meluapkan unek-unek yang selama ini dia pendam.“Dulu kamu dan keluargamu sering menghina tubuhku yang masih gendut pake kata-kata menyakitkan. Kamu bahkan nggak bolehin aku muncul di depan teman-teman kamu karena malu punya istri kayak aku.”“Lalu, Zam, kamu juga beberapa kali mencekik, menampar, menjambak, dan meludahi aku sambil mengancam mau bunuh aku kalau aku nggak nuruti aturanmu.”Dania masih ingat kejadian saat Leona pertama kali diketemukan dengannya malam sebelum dia kabur. Itu san
“Apa?!” Alina menjerit dengan wajah terkejut. Matanya melotot dengan kedua alis terangkat tinggi. “Jangan main-main! Kamu pasti bercanda!”Jelas sekali ada ketidakrelaan dari Alina mengenai apa yang baru saja dibacakan oleh Pengacara Julian.Zila hendak mengikuti ibunya yang memberikan kalimat tak rela, tapi dia segera mengurungkan niatnya ketika ayahnya berteriak.“Alina, diam!” bentak Arvan pada sang istri.Alina segera menutup mulut dengan sikap terkejut atas bentakan suaminya. Arvan jarang sekali berkata kasar apalagi membentaknya, kecuali benar-benar di situasi tertentu yang penting.“Apa yang dikatakan papi semuanya fakta, bahkan aku sudah mengetahui wasiat terdahulu papi mengenai Dania.” Arvan menundukkan kepala.Ucapan suaminya membuat Alina semakin terkesima.“Sa-Sayang?” Alina tidak pernah menyangka bahwa suaminya sudah mengetahui adanya wasiat semacam itu dari ayah mertuanya.“Sungguh tepat apabila Tuan Arvan bersedia menceritakan apa yang terjadi dulunya terhadap keluarga
“Zenith Group berkaitan dengan gadis itu?” Alina sampai mendelik kaget mendengar ucapan ayah mertuanya.“Bagaimana bisa begitu, Opa?” Nada suara Zila mencerminkan dirinya tak terima dengan apa yang baru saja disampaikan kakeknya.Yang benar saja! Mana bisa Dania dianggap berkaitan dengan berdirinya Zenith Group? Apakah Hegar sudah terlalu dimakan umur sehingga otaknya bermasalah? Ini yang ada di benak pikiran anggota keluarga Grimaldi di ruangan itu.“Kalian berani menyangsikan ucapan aku?” pekik Hegar dengan napas tersengal.Alen lekas menenangkan Hegar dan mengusap-usap dada pria tua renta tersebut.“Maaf, Papi. Bukannya kami menyangsikan ucapan Papi,” sahut Alina disertai wajah menyesal. “Kami hanya, kaget.”Tak lupa ada cengiran tanda penyesalan di wajah menor Alina. Zila mengangguk untuk mendukung ibunya. Akan gawat kalau sampai pendiri Zenith marah.“Kalian ini tau apa?” ejek Hegar ke menantu dan cucunya.Mata Hegar melirik ke Arvan di dekatnya seakan memberi kode, tapi Arvan ju
“Ada apa dengan Dania?” Mendadak, muncul suara renta dari arah ruang tamu. “Apakah kalian membicarakan Dania anak dari Greg Loveto, mantan karyawanku?”Suara itu muncul berbarengan dengan sosok renta di atas kursi roda yang didorong seorang berpenampilan ala pelayan pria.Segera saja Hizam dan semua yang ada di ruangan itu menundukkan kepala, bersikap sangat hormat pada sosok renta tersebut.“Papi.” Arvan menyebut.“Opa.” Hizam dan Zila sama-sama menyapa sosok renta yang mendekat ke mereka.Orang itu memang salah satu anggota keluarga Grimaldi. Bahkan dia merupakan sosok kunci di balik kesuksesan Zenith Group.Dia adalah Hegar Grimaldi. Usianya sudah mencapai 80 tahun dan memiliki berbagai kompilasi penyakit yang menyebabkan kursi roda menjadi alat terbaik untuknya ketika ingin memiliki mobilitas.Belum lagi botol infus yang turut menggantung di tiang di sebelah kursi rodanya, seakan itu merupakan penunjang hidup terbaik yang bisa dokter berikan padanya.“Papi mertua, kenapa repot-rep
“Saya kurang paham, Tuan,” kata manajer itu. “Sepertinya mereka menggunakan pengaruh mereka untuk menghambat operasi kita.”Hizam yang duduk di pojok ruangan mendongak dengan wajah pucat. “Dania…” bisiknya pelan.***Malam itu, di ruang keluarga Grimaldi, suasana tegang menyelimuti. Alina dan Zila duduk di sofa, sementara Hizam berdiri di dekat jendela dengan wajah lesu. Arvan berjalan mondar-mandir, menahan amarahnya.“Ini semua salahmu, Hizam!” bentak Arvan akhirnya. “Kalau saja kamu tidak bercerai dari dia! Kalau saja kamu berhasil mendapatkan kembali Dania, kita tidak akan menghadapi masalah ini!”Arvan tidak menahan suara menggelegarnya ketika dia sedang dikuasai emosi. Inilah yang membuat dia ditakuti semua penghuni rumah besarnya. Hanya Grimaldi tua, Hegar, yang bisa membuat Arvan takut.“Aku udah mencoba, Pa,” jawab Hizam dengan suara lemah. “Tapi dia nggak mau tau. Dia malahan bilang kalo dia udah tertarik ama pria lain.”Hizam tak berani menaikkan kepala untuk sekedar menata
“Baiklah, Pa. Aku akan mencoba lagi.” Hizam mengangguk akan keinginan ayahnya.Hizam memutuskan untuk tidak menyerah. Dengan penuh tekad, dia menyusun strategi lain untuk meluluhkan hati Dania. Kali ini, dia memutuskan untuk muncul di apartemen mewah Dania tanpa pemberitahuan.Dania yang baru pulang kerja tampak terkejut melihat sosok Hizam berdiri di depan pintu liftnya dengan buket bunga mawar putih di tangan.“Hizam? Apa lagi sekarang?” tanya Dania dengan nada dingin.Kenapa lagi dan lagi mantan suaminya datang padanya? Apakah dia kurang menegaskan ke Hizam bahwa mereka sudah selesai?“Aku ingin bicara, Dania. Tolong,” kata Hizam memohon.Dania mendesah, melirik jam tangannya sejenak, lalu membuka lift dan mereka naik berdua bersama petugas keamanan. Dia bukannya ingin memberi kesempatan ke Hizam, melainkan ingin mendengar bujuk rayu Hizam demi memuaskan egonya sendiri.Sesampainya di penthouse, Dania meminta petugas tadi untuk tetap berjaga di depan pintu ruang transit penthouse.
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne