Share

Bab 5. Badai Pertama Teruntuk Suamiku

“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.

Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.

Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"

Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.

Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."

Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.

Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membuat ini singkat dan jelas."

Rambut hitam legamnya ditata terurai dan sedikit wavy sehingga menegaskan kedewasaan sekaligus sensualitasnya sebagai wanita matang. Sungguh memperlihatkan wajahnya yang cantik beserta tulang pipi yang tinggi. Sentuhan makeup-nya natural namun memukau, dengan lipstik merah gelap yang memberikan nuansa seksi nan dramatis.

Resepsionis kembali ke Dania. "Nona Maracca, Tuan Grimaldi akan menemui Anda sekarang. Silakan ikuti saya."

Sepasang sepatu hak tinggi berwarna senada dengan tasnya yang bermerek, menambah tinggi kepercayaan diri Dania. Aroma parfum mewah samar tercium, melengkapi penampilannya yang sophisticated.

Di sampingnya, melangkah Wildan Fargar, pengacara terkenal berusia 50 tahun. Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap yang rapi, dasi biru tua, dan sepatu kulit hitam mengkilap. Rambutnya yang mulai beruban disisir rapi ke belakang, kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya. Wildan membawa tas kulit hitam berisi dokumen-dokumen penting.

Banyak kasak-kusuk orang di sana ketika melihat Wildan.

“Wih, gila! Itu pengacara Fargar yang terkenal itu, kan? Yang bayarannya tinggi?”

“Kau benar! Itu memang Wildan Fargar! Hanya golongan elit aja yang bisa menyewa jasanya!”

Meski mendengar kasak-kusuk orang di sekitarnya, Dania tetap melangkah dengan dagu terangkat. Dia bukan lagi Dania pengecut yang dulu. Sofia dan Levi sudah membantunya sehingga kini dia seekor phoenix cantik yang terlahir dari abunya.

"Anda siap, Nona?" tanya Wildan pelan saat mereka mendekati pintu ruangan Hizam.

Dania menarik napas dalam. "Lebih dari siap, Tuan Fargar. Saatnya Hizam Grimaldi menghadapi konsekuensi tindakannya."

Dania, dengan penampilannya yang menakjubkan, dan Wildan dengan auranya yang berwibawa, melangkah dengan penuh percaya diri menuju ruangan Hizam Grimaldi.

Pintu ruangan Hizam Grimaldi terbuka. Dania melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh Wildan Fargar. Hizam, yang sedang membaca dokumen di mejanya, mengangkat kepala.

Matanya melebar melihat Dania, tapi bukan karena mengenalinya. Sebaliknya, senyum nakal tersungging di bibirnya.

"Well, well," Hizam tersenyum miring. "Apa yang membawa wanita cantik sepertimu ke kantorku? Kurasa aku mengenalmu dari klub?"

Dania membeku, terkejut dengan reaksi Hizam. Wildan berdeham canggung, tak mengira keturunan Grimaldi bisa mengatakan hal serendah itu ketika berhadapan dengan wanita cantik.

"Tuan Grimaldi," Wildan angkat bicara. "Kami di sini untuk urusan bisnis."

Sayangnya, meski Wildan sudah mengatakan demikian, Hizam masih belum sadar akan ketololannya.

Hizam tertawa kecil. "Oh, tentu saja. 'Urusan bisnis'. Aku mengerti." Dia mengedipkan mata sambil tersenyum penuh arti ke arah Dania.

Dania pulih dari keterkejutannya, dia merasakan amarahnya memuncak. Tanpa kata-kata, dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop, dan melemparkannya ke muka Hizam.

"Apa ini?" tanya Hizam, terkejut.

Sungguh sebuah tindakan yang sangat tidak diharapkan dari seorang wanita. Mana mungkin tuan muda Grimaldi bisa mengantisipasi hal tersebut. 

"Formulir pengajuan cerai," jawab Dania dingin. "Cepat tanda tangani."

Dari nada suaranya, Dania tentu sedang menahan amarahnya agar tidak meledak. Awal saja dia disangka wanita penghibur di klub. Apakah suami laknatnya ini terbiasa berkubang dengan hal semacam itu di luaran?

Hizam memungut amplop itu, kebingungan tergambar di wajahnya. "Cerai? Tapi aku nggak—" Dia berhenti bicara saat membaca nama di formulir tersebut. Wajahnya memucat. "Dania?"

"Ya, Hizam. Ini aku," Dania menjawab, suaranya penuh amarah tertahan. "Tanda tangani formulir itu. Aku ingin kita bercerai."

Hizam tergagap. "Tapi ... gimana ... kamu terlihat berbeda ...."

"Tanda tangani aja, Hizam," Dania memotong. "Kecuali kamu lebih suka aku membongkar semua kebusukanmu di pengadilan."

Wildan mengeluarkan pena dari sakunya. "Saya sarankan Anda menandatanganinya, Tuan Grimaldi. Ini akan membuat semuanya lebih mudah."

Hizam, masih shock, menatap bergantian antara Dania dan formulir di tangannya. Tangannya gemetar saat dia mengambil pena dari Wildan.

Hizam menatap formulir cerai di tangannya, lalu kembali menatap Dania dengan tatapan dingin. Ruangan itu mendadak terasa mencekam, ketegangan mengambang di udara.

"Nggak! Nggak semudah itu, Dania," ujar Hizam, suaranya penuh amarah tertahan. "Kamu pikir bisa seenaknya kabur selama empat tahun, membawa buku nikah kita, lalu kembali dan meminta cerai begitu aja?"

Dania berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan emosi apapun. Namun, matanya menyiratkan tekad yang kuat.

"Aku punya alasan kuat untuk pergi, Hizam. Sekarang, tanda tangani formulir itu."

Hizam mendengus. Dia berdiri, berjalan mengelilingi meja kerjanya, tangannya mengepal.

"Kamu tau berapa banyak masalah yang kamu timbulkan? Aku bahkan nggak bisa menikahi Leona karena ulahmu!" bentaknya.

Seakan-akan yang dia tahan selama ini akhirnya bisa meletus, meski masih berusaha dia tahan karena ada Wildan. Bahkan sekarang dia mengenali Wildan.

"Bukan urusanku," balas Dania tajam. "Tanda tangani sekarang juga."

Atmosfer di ruangan semakin tegang. Wildan, yang sedari tadi diam, memutuskan untuk ikut campur. Dia melangkah maju, berdiri di samping Dania.

"Tuan Grimaldi, saya sarankan Anda mempertimbangkan kembali keputusan Anda."

Hizam menatap Wildan menantang, rahangnya mengeras. "Oh ya? Atas dasar apa?"

Wildan, dengan tenang, mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. Suaranya mantap saat dia mulai berbicara.

"Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Lalu Wildan menjabarkan isi pasal tersebut dengan fasih.

Hizam terdiam, matanya menyipit mendengarkan. Wildan, merasakan keunggulannya, melanjutkan.

"Selain itu, ada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Empat tahun perpisahan cukup membuktikan hal itu, bukan?"

Ruangan itu hening sejenak. Hizam terlihat goyah, namun masih berusaha mempertahankan sikap angkuhnya. Wildan, merasakan momentum, memberikan pukulan terakhir.

"Jika Anda mempersulit proses ini, kami bisa membawa kasus ini ke pengadilan. Saya yakin Anda tidak ingin rahasia-rahasia pribadi Anda terungkap di depan umum, bukan?"

Dania, yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. Suaranya tenang namun penuh ketegasan.

"Pilih, Hizam. Tanda tangan sekarang atau kita selesaikan ini di pengadilan."

Hizam terdiam, matanya bergerak antara Dania dan Wildan. Keringat mulai terlihat di dahinya. Akhirnya, dengan gerakan kasar, dia meraih pena dan menandatangani formulir tersebut.

"Puas?" tanyanya sinis, melempar formulir itu ke arah Dania.

Dania mengambil formulir itu dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan emosi apapun. Namun, ada kilatan kemenangan di matanya.

Setelah Hizam menandatangani formulir perceraian, suasana di ruangan itu masih tegang. Dania tidak langsung beranjak pergi. Matanya yang dingin menatap Hizam, menyiratkan bahwa urusan mereka belum selesai.

"Ada satu hal lagi, Hizam," ujar Dania, suaranya tegas.

Sementara, Wildan mulai membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah map berisi formulir lainnya.

Hizam mengernyitkan dahi, rasa frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Apa lagi maumu?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
kapok kowe hizam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status