“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.
Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"
Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.
Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."
Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.
Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membuat ini singkat dan jelas."
Rambut hitam legamnya ditata terurai dan sedikit wavy sehingga menegaskan kedewasaan sekaligus sensualitasnya sebagai wanita matang. Sungguh memperlihatkan wajahnya yang cantik beserta tulang pipi yang tinggi. Sentuhan makeup-nya natural namun memukau, dengan lipstik merah gelap yang memberikan nuansa seksi nan dramatis.
Resepsionis kembali ke Dania. "Nona Maracca, Tuan Grimaldi akan menemui Anda sekarang. Silakan ikuti saya."
Sepasang sepatu hak tinggi berwarna senada dengan tasnya yang bermerek, menambah tinggi kepercayaan diri Dania. Aroma parfum mewah samar tercium, melengkapi penampilannya yang sophisticated.
Di sampingnya, melangkah Wildan Fargar, pengacara terkenal berusia 50 tahun. Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap yang rapi, dasi biru tua, dan sepatu kulit hitam mengkilap. Rambutnya yang mulai beruban disisir rapi ke belakang, kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya. Wildan membawa tas kulit hitam berisi dokumen-dokumen penting.
Banyak kasak-kusuk orang di sana ketika melihat Wildan.
“Wih, gila! Itu pengacara Fargar yang terkenal itu, kan? Yang bayarannya tinggi?”
“Kau benar! Itu memang Wildan Fargar! Hanya golongan elit aja yang bisa menyewa jasanya!”
Meski mendengar kasak-kusuk orang di sekitarnya, Dania tetap melangkah dengan dagu terangkat. Dia bukan lagi Dania pengecut yang dulu. Sofia dan Levi sudah membantunya sehingga kini dia seekor phoenix cantik yang terlahir dari abunya.
"Anda siap, Nona?" tanya Wildan pelan saat mereka mendekati pintu ruangan Hizam.
Dania menarik napas dalam. "Lebih dari siap, Tuan Fargar. Saatnya Hizam Grimaldi menghadapi konsekuensi tindakannya."
Dania, dengan penampilannya yang menakjubkan, dan Wildan dengan auranya yang berwibawa, melangkah dengan penuh percaya diri menuju ruangan Hizam Grimaldi.
Pintu ruangan Hizam Grimaldi terbuka. Dania melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh Wildan Fargar. Hizam, yang sedang membaca dokumen di mejanya, mengangkat kepala.
Matanya melebar melihat Dania, tapi bukan karena mengenalinya. Sebaliknya, senyum nakal tersungging di bibirnya.
"Well, well," Hizam tersenyum miring. "Apa yang membawa wanita cantik sepertimu ke kantorku? Kurasa aku mengenalmu dari klub?"
Dania membeku, terkejut dengan reaksi Hizam. Wildan berdeham canggung, tak mengira keturunan Grimaldi bisa mengatakan hal serendah itu ketika berhadapan dengan wanita cantik.
"Tuan Grimaldi," Wildan angkat bicara. "Kami di sini untuk urusan bisnis."
Sayangnya, meski Wildan sudah mengatakan demikian, Hizam masih belum sadar akan ketololannya.
Hizam tertawa kecil. "Oh, tentu saja. 'Urusan bisnis'. Aku mengerti." Dia mengedipkan mata sambil tersenyum penuh arti ke arah Dania.
Dania pulih dari keterkejutannya, dia merasakan amarahnya memuncak. Tanpa kata-kata, dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop, dan melemparkannya ke muka Hizam.
"Apa ini?" tanya Hizam, terkejut.
Sungguh sebuah tindakan yang sangat tidak diharapkan dari seorang wanita. Mana mungkin tuan muda Grimaldi bisa mengantisipasi hal tersebut.
"Formulir pengajuan cerai," jawab Dania dingin. "Cepat tanda tangani."
Dari nada suaranya, Dania tentu sedang menahan amarahnya agar tidak meledak. Awal saja dia disangka wanita penghibur di klub. Apakah suami laknatnya ini terbiasa berkubang dengan hal semacam itu di luaran?
Hizam memungut amplop itu, kebingungan tergambar di wajahnya. "Cerai? Tapi aku nggak—" Dia berhenti bicara saat membaca nama di formulir tersebut. Wajahnya memucat. "Dania?"
"Ya, Hizam. Ini aku," Dania menjawab, suaranya penuh amarah tertahan. "Tanda tangani formulir itu. Aku ingin kita bercerai."
Hizam tergagap. "Tapi ... gimana ... kamu terlihat berbeda ...."
"Tanda tangani aja, Hizam," Dania memotong. "Kecuali kamu lebih suka aku membongkar semua kebusukanmu di pengadilan."
Wildan mengeluarkan pena dari sakunya. "Saya sarankan Anda menandatanganinya, Tuan Grimaldi. Ini akan membuat semuanya lebih mudah."
Hizam, masih shock, menatap bergantian antara Dania dan formulir di tangannya. Tangannya gemetar saat dia mengambil pena dari Wildan.
Hizam menatap formulir cerai di tangannya, lalu kembali menatap Dania dengan tatapan dingin. Ruangan itu mendadak terasa mencekam, ketegangan mengambang di udara.
"Nggak! Nggak semudah itu, Dania," ujar Hizam, suaranya penuh amarah tertahan. "Kamu pikir bisa seenaknya kabur selama empat tahun, membawa buku nikah kita, lalu kembali dan meminta cerai begitu aja?"
Dania berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan emosi apapun. Namun, matanya menyiratkan tekad yang kuat.
"Aku punya alasan kuat untuk pergi, Hizam. Sekarang, tanda tangani formulir itu."
Hizam mendengus. Dia berdiri, berjalan mengelilingi meja kerjanya, tangannya mengepal.
"Kamu tau berapa banyak masalah yang kamu timbulkan? Aku bahkan nggak bisa menikahi Leona karena ulahmu!" bentaknya.
Seakan-akan yang dia tahan selama ini akhirnya bisa meletus, meski masih berusaha dia tahan karena ada Wildan. Bahkan sekarang dia mengenali Wildan.
"Bukan urusanku," balas Dania tajam. "Tanda tangani sekarang juga."
Atmosfer di ruangan semakin tegang. Wildan, yang sedari tadi diam, memutuskan untuk ikut campur. Dia melangkah maju, berdiri di samping Dania.
"Tuan Grimaldi, saya sarankan Anda mempertimbangkan kembali keputusan Anda."
Hizam menatap Wildan menantang, rahangnya mengeras. "Oh ya? Atas dasar apa?"
Wildan, dengan tenang, mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. Suaranya mantap saat dia mulai berbicara.
"Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Lalu Wildan menjabarkan isi pasal tersebut dengan fasih.
Hizam terdiam, matanya menyipit mendengarkan. Wildan, merasakan keunggulannya, melanjutkan.
"Selain itu, ada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Empat tahun perpisahan cukup membuktikan hal itu, bukan?"
Ruangan itu hening sejenak. Hizam terlihat goyah, namun masih berusaha mempertahankan sikap angkuhnya. Wildan, merasakan momentum, memberikan pukulan terakhir.
"Jika Anda mempersulit proses ini, kami bisa membawa kasus ini ke pengadilan. Saya yakin Anda tidak ingin rahasia-rahasia pribadi Anda terungkap di depan umum, bukan?"
Dania, yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. Suaranya tenang namun penuh ketegasan.
"Pilih, Hizam. Tanda tangan sekarang atau kita selesaikan ini di pengadilan."
Hizam terdiam, matanya bergerak antara Dania dan Wildan. Keringat mulai terlihat di dahinya. Akhirnya, dengan gerakan kasar, dia meraih pena dan menandatangani formulir tersebut.
"Puas?" tanyanya sinis, melempar formulir itu ke arah Dania.
Dania mengambil formulir itu dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan emosi apapun. Namun, ada kilatan kemenangan di matanya.
Setelah Hizam menandatangani formulir perceraian, suasana di ruangan itu masih tegang. Dania tidak langsung beranjak pergi. Matanya yang dingin menatap Hizam, menyiratkan bahwa urusan mereka belum selesai.
"Ada satu hal lagi, Hizam," ujar Dania, suaranya tegas.
Sementara, Wildan mulai membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah map berisi formulir lainnya.
Hizam mengernyitkan dahi, rasa frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Apa lagi maumu?"
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
Sebastian sengaja memberikan kalimat itu agar Hizam terkesan menjadi pihak eksklusif dan penting di sana. Dia hanya memainkan ego Hizam saja.Dengan penuh semangat, Hizam menjawab, "Tentu! Saya ingin tahu lebih banyak tentang peluang investasi ini."Hizam yang bodoh hanya seperti ikan yang dibawa ke talenan untuk dipotong.Senyum Sebastian sekali lagi terurai tipis sebelum dia bicara, "Excellent! Mari kita bicarakan detailnya lebih lanjut!"Sebastian dengan sempurna memainkan perannya saat bertemu Hizam. Dia memukau dengan presentasi teknologi canggih yang sebenarnya hanya tipuan visual belaka. Angka-angka proyeksi keuntungan yang fantastis dipaparkan, membuat mata Hizam berbinar."Liat, Kak Mel. Si pewaris bodoh itu dengan mudah ditipu pakai laporan keuangan palsu ampe prototipe 'teknologi' yang sebenarnya hanya tipuan canggih. Hihi! Kali ini kena kau, Hizam!” desis Dania keras sambil matanya berkilat senang.Tanpa disadari, Hizam telah masuk ke dalam jebakan yang dirancang dengan ce
Malam semakin larut di kota yang tak pernah tidur. Sebastian dan Hizam baru saja menyelesaikan makan malam bisnis mereka di restoran mewah. Suasana santai mulai terbangun setelah pembicaraan panjang tentang investasi dan proyeksi keuntungan.Sebastian menyesap sisa anggur di gelasnya, lalu dengan nada kasual bertanya, "Ngomong-ngomong, Tuan Hizam, saya orang baru di kota ini. Adakah tempat hiburan malam yang bisa Anda rekomendasikan?"Mata Hizam langsung berbinar. Tempat hiburan malam? Ditanyakan padanya?Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, terlihat antusias diiringi senyuman lebar. "Ah, Alexander! Kau bertanya pada orang yang tepat. Aku tahu semua tempat hiburan malam terbaik di kota ini.""Benarkah? Wah, saya beruntung sekali," balas Sebastian, pura-pura terkejut. "Hampir saja saya mati bosan karena tak tahu apa-apa mengenai itu."Kemudian mereka tertawa bersama. Tawa antar lelaki yang tahu sama tahu.Hizam menepuk pundak Sebastian. "Tenang saja, Alexander. Sebagai perayaan atas ke
Tanpa disadari Hizam, malam pesta liarnya itu akan menjadi awal dari kehancurannya. Bukti-bukti yang dikumpulkan Sebastian akan menjadi senjata mematikan dalam rencana balas dendam Dania yang telah disusun dengan cermat.Pagi itu, Hizam terbangun di apartemennya. Semalam dia pulang dengan 2 wanita yang paling menarik untuk melanjutkan keseruan mereka di ranjangnya."Mana para jalang itu? Hmh, pasti udah pada pulang! Dasar lintah-lintah penghisap duit!"Dengan kepala berdenyut-denyut, dia meraih ponselnya, bermaksud mengecek jadwal meeting dengan Alexander yang sudah dia anggap 'bestie' karena satu selera mengenai kesenangan pada hiburan malam.Namun, alih-alih melihat notifikasi, dia dikejutkan oleh puluhan panggilan tak terjawab dan pesan yang membanjiri layarnya."Ini ... ada apa, sih?"Dengan tangan gemetar, dia membuka pesan pertama dari asistennya:"Tuan Hizam, gawat! TechnoVista Innovations menghilang! Kantor mereka kosong, website offline, semua kontak tidak bisa dihubungi!"Ja