“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.
Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.
“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”
Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.
“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.
Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.
“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.
Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.
Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Kenapa tidak belajar bisnis di perusahaan papamu di sini seperti biasa saja?”
Dania tahu, ini pasti akan dikatakan ibunya.
Maka, dia sudah menyiapkan jawaban dengan pemikiran cepatnya, “Ma, aku harus menempa diriku dengan lebih baik dan belajar mandiri. Kalau memang aku ini pewaris Nexus, tentunya aku tak boleh bersantai saja, kan? Apalagi aku baru saja lulus S2-ku bulan lalu.”
Levi dan Sofia saling pandang, seakan mereka sedang melakukan diskusi melalui telepati.
***
“Ingat, selalu berkirim kabar pada kami, tak boleh lupa meski sehari! Kau dengar itu, Sayang?” Sofia menaikkan hoodie pada jaket Dania. “Kau juga tak boleh melupakan makan. Aku akan mengingatkanmu setiap jam makan.”
Atas ucapan penuh perhatian ibunya, tak mungkin hati Dania tidak menghangat oleh rasa syukur. Dia mengangguk.
“Iya, aku pasti ingat semua pesan Mama.”
Saat ini, mereka berada di pesawat jet pribadi Levi. Mereka hanya mengantar saja karena ada urusan penting di tempat lain setelah ini.
“Selalu ingat bahwa kami sangat mencintaimu, Sayang.” Sofia sambil menahan tangisnya.
Dania saat ini siap ke Morenia. Dia mengangguk sambil memberikan senyum penuh terima kasih atas kepercayaan kedua orang tuanya.
“Astaga, Sayang … kamu kejam sekali. Kita baru bersama dalam 4 tahun ini, tapi kau sudah ingin pergi begini.” Sofia memeluk Dania sambil terisak.
Dania terpaksa menghibur ibunya sebentar.
“Sayang, di sana nanti kau akan menemui Pak Yohan. Belajarlah dari dia. Papa juga sudah menyiapkan pendamping untukmu di sana, Bu Tiza dan timnya.” Levi juga memberikan kalimat pengingat pada putrinya.
Mendengar ucapan ayahnya, Dania mengangguk paham. Sebagai seorang pewaris yang belum cukup umur dan kemampuan untuk memegang perusahaan, tentu saja dia harus memiliki pendamping sembari mempelajari bisnis keluarga.
***
Menghabiskan waktu belasan jam di udara, Dania akhirnya menjejakkan kakinya kembali ke Morenia.
“Morenia … aku pulang,” bisiknya sambil memasukkan dua tangan ke saku mantelnya.
Matanya menatap ke depan dengan senyum merekah.
“Hizam … tunggu aku, akan kuberikan kau banyak kejutan nantinya,” imbuh Dania sambil memakai kacamata hitamnya dan masuk ke mobil yang sudah disiapkan Levi untuknya.
Tak sampai satu jam, dia tiba di sebuah apartemen penthouse. Ini memang keinginannya, tinggal di apartemen saja ketimbang rumah tapak luas yang dimiliki ayahnya di Ivory. Dia tak ingin kesepian di rumah besar.
“Salam untuk Anda, Nona Besar.” Ketika masuk ke apartemennya, dia disambut oleh 3 orang yang sudah ada di dalam.
Dia bisa menebak yang menyapa barusan tentu Tiza Mirella, pendamping yang disiapkan Levi untuknya.
“Bu Tiza. Panggil saja Dania, tak perlu seformal itu.” Dania membalas sambil mengangguk.
Meskipun dia seorang pewaris perusahaan raksasa seperti Nexus, dia tidak kehilangan kerendahan hatinya. Apalagi dia pernah merasakan hidup susah.
“Kalau begitu, Nona Dania.” Tiza bersikeras tidak ingin lancang memanggil nama langsung ke Dania.
Karena sudah begitu, Dania mengangguk saja.
“Dan ini adalah tim saya, Melody dan Sebastian.” Tiza memperkenalkan timnya.
Dania melongok dua orang di belakang Tiza.
Wanita muda di belakang Tiza melangkah maju dan membungkuk cepat ke Dania sambil berkata, “Salam kenal untuk Anda, Nona Dania. Saya Melody Esvarina, usia 30 tahun. Siap membantu Anda!”
Dania mengangguk puas dengan ketegasan Melody.
“Boleh kupanggil Kak Mel?” tanya Dania.
Sedikit tertegun, tapi Melody mengangguk patuh.
“Silakan panggil apa pun yang sesuai keinginan Anda.” Melody menyahut sopan.
Hal ini menimbulkan kepuasan pada Dania.
Kemudian, pria muda di belakang Tiza mulai maju. Dia juga membungkuk penuh hormat seperti halnya Melody sambil tersenyum dan berkata, “Sebastian Askarlo mengucapkan selamat datang dan salam kenal pada Nona Dania. Saya siap melakukan perintah Anda.”
Untuk pria muda berusia 35 tahun di depannya, Dania juga merasa puas. Mereka semua terlihat mengesankan dan meyakinkan.
‘Kuharap mereka bisa membantuku dalam berbagai rencanaku nantinya,’ batin Dania.
Malam itu, Dania sendirian di apartemen. Dia sibuk menuliskan apa saja langkah yang akan dia ambil untuk misi balas dendamnya ke Hizam.
“Jangan katakan aku kejam, Hizam. Dulu aku memang terlalu lugu dan bodoh, pengecut pula! Tapi sekarang, Dania yang itu sudah aku kubur. 4 tahun ini aku sudah menempa diriku untuk terlahir menjadi sosok yang sangat baru, yang akan membuatmu tercekik.”
Setelah itu, Dania tersenyum puas memandang catatannya, lalu tidur.
Pada keesokan sorenya, Dania sedang duduk di sofa empuk di ruang tengah penthousenya, memandang keluar jendela besar yang menampilkan panorama kota Morenia sambil menikmati jus sayur dingin di gelas yang dia pegang.
Bunyi bel pintu terdengar. Dania hanya perlu menekan tombol pada remote di sampingnya dan pintu pun bisa dibuka dari luar.
Bu Tiza melangkah masuk dengan anggun, membawa tablet di tangannya. "Selamat sore, Nona Dania. Bagaimana persiapan Anda untuk besok?"
Dania tersenyum tipis. "Sudah siap, Bu Tiza. Terima kasih atas bantuannya."
Tiza mengangguk. "Saya sudah mengatur semuanya. Besok pagi Anda akan mulai bekerja sebagai sekretaris Tuan Yohan dengan nama Dania Maracca."
"Bagus," kata Dania. Dia terdiam sejenak, seolah ragu, lalu melanjutkan, "Bu Tiza, ada satu hal lagi yang aku butuhkan."
"Ya, Nona?" Tiza menatap Dania dengan penuh perhatian.
Dania menarik napas dalam. "Tolong carikan seorang pengacara hebat untukku. Yang terbaik di Morenia kalau perlu."
Alis Tiza terangkat sedikit, tapi dia dengan cepat menguasai ekspresinya. "Tentu, Nona. Boleh saya tahu untuk keperluan apa?"
"Untuk saat ini, cukup temukan saja pengacara terbaik," jawab Dania, nada suaranya tegas namun sopan. "Aku akan menjelaskan detailnya nanti."
Dia belum ingin membeberkan ke Tiza mengenai rencana balas dendamnya. Tidak, tidak sekarang.
Tiza mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. "Baik, Nona. Saya akan segera mencarinya dan melaporkan hasilnya kepada Anda."
Karena tidak ingin dianggap lancang, Tiza tidak bertanya lebih jauh.
"Terima kasih, Bu Tiza," ujar Dania, senyum kecil tersungging di bibirnya.
Dia masih tetap menerapkan budaya 3 kata kesopanan sesuai ajaran Erna, yaitu: terima kasih, maaf, dan tolong.
Tiza membalas dengan senyuman profesional. "Ada lagi yang Anda butuhkan, Nona?"
Dania menggeleng. "Itu saja untuk saat ini. Terima kasih."
Dengan anggukan sopan, Tiza pun undur diri, meninggalkan Dania sendiri dengan pikirannya. Ekspresi Dania berubah serius begitu pintu tertutup, matanya menyiratkan tekad yang kuat untuk rencana yang hanya dia ketahui.
Dua hari berikutnya, Dania melangkah masuk ke kantor Hizam dengan penampilan yang menakjubkan. Penampilannya memancarkan aura keanggunan dan kekuatan yang tak terbantahkan.
"Selamat pagi, Nona," sapa resepsionis dengan ekspresi takjub, "ada yang bisa saya bantu?"
Dania tersenyum tipis. "Saya ingin bertemu dengan Tuan Hizam Grimaldi. Tolong beritahu dia, Nona Maracca ingin menemuinya untuk membicarakan hal penting."
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
Sebastian sengaja memberikan kalimat itu agar Hizam terkesan menjadi pihak eksklusif dan penting di sana. Dia hanya memainkan ego Hizam saja.Dengan penuh semangat, Hizam menjawab, "Tentu! Saya ingin tahu lebih banyak tentang peluang investasi ini."Hizam yang bodoh hanya seperti ikan yang dibawa ke talenan untuk dipotong.Senyum Sebastian sekali lagi terurai tipis sebelum dia bicara, "Excellent! Mari kita bicarakan detailnya lebih lanjut!"Sebastian dengan sempurna memainkan perannya saat bertemu Hizam. Dia memukau dengan presentasi teknologi canggih yang sebenarnya hanya tipuan visual belaka. Angka-angka proyeksi keuntungan yang fantastis dipaparkan, membuat mata Hizam berbinar."Liat, Kak Mel. Si pewaris bodoh itu dengan mudah ditipu pakai laporan keuangan palsu ampe prototipe 'teknologi' yang sebenarnya hanya tipuan canggih. Hihi! Kali ini kena kau, Hizam!” desis Dania keras sambil matanya berkilat senang.Tanpa disadari, Hizam telah masuk ke dalam jebakan yang dirancang dengan ce
Malam semakin larut di kota yang tak pernah tidur. Sebastian dan Hizam baru saja menyelesaikan makan malam bisnis mereka di restoran mewah. Suasana santai mulai terbangun setelah pembicaraan panjang tentang investasi dan proyeksi keuntungan.Sebastian menyesap sisa anggur di gelasnya, lalu dengan nada kasual bertanya, "Ngomong-ngomong, Tuan Hizam, saya orang baru di kota ini. Adakah tempat hiburan malam yang bisa Anda rekomendasikan?"Mata Hizam langsung berbinar. Tempat hiburan malam? Ditanyakan padanya?Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, terlihat antusias diiringi senyuman lebar. "Ah, Alexander! Kau bertanya pada orang yang tepat. Aku tahu semua tempat hiburan malam terbaik di kota ini.""Benarkah? Wah, saya beruntung sekali," balas Sebastian, pura-pura terkejut. "Hampir saja saya mati bosan karena tak tahu apa-apa mengenai itu."Kemudian mereka tertawa bersama. Tawa antar lelaki yang tahu sama tahu.Hizam menepuk pundak Sebastian. "Tenang saja, Alexander. Sebagai perayaan atas ke