Tak terasa, 3 tahun berlalu.
“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.
“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”
Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.
“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.
Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.
“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”
Dania tahu Sofia hanya bicara omong kosong. Meski begitu, dia bersyukur kehidupannya di Zeralandia sangatlah baik berkat kasih sayang Levi dan Sofia yang begitu besar.
Selain mendapatkan orang tua hebat dan tubuh ideal, dia juga menjalani kuliah S2 ilmu bisnis di universitas milik keluarga Hadid, Nexus Global University.
“Baiklah, baiklah. Aku akan makan.” Dania paling tak tega melihat Sofia bersedih.
Tak ingin mengecewakan Sofia, Dania pun menikmati apa yang sudah disiapkan ibunya. Mereka duduk bersama di teras samping agar bisa memandang hamparan taman seluas dua kali lapangan basket yang dipenuhi tanaman hias kesayangan Sofia.
“Bukankah besok adalah pertandingan anggarmu, Sayang?” tanya Sofia sembari menikmati teh sorenya.
“Iya.” Dania menjawab sebelum memasukkan potongan puding ke mulutnya.
***
Jadwal Dania termasuk ketat dan semuanya merupakan keinginannya sendiri. Dia melakukan apa saja yang dulu hanya menjadi angan-angannya.
Minggu ….
“Fencing jacket dan lamé … semua sudah siap.” Dania selesai memakai kostum anggar. “Sabel-ku juga siap.”
Tak berapa lama, dia berjalan mantap menuju piste atau arena pertandingan anggar.
“En garde!” seru wasit untuk kedua peserta agar mereka bersiap-siap dalam posisi bertanding. “Allez!” teriakan diucapkan sebagai tanda dimulainya pertandingan.
Maka, Dania pun mulai bergerak. Sofia dan Levi yang berada di kursi penonton ikut merasakan ketegangan dan bersorak ketika Dania mencetak skor.
Hingga satu jam kemudian, Dania sudah masuk ke mobil ayahnya untuk pulang.
“Tadi mamamu berteriak paling kencang ketika kamu melakukan touché ke lawanmu.” Levi berkata sambil tertawa.
Mereka dengan riang membicarakan pertandingan anggar yang dimenangkan Dania.
“Apalagi ketika kesayanganku ini mendadak saja melakukan fleche, jantungku seperti diremas kuat-kuat! Hahaha! Bayangkan saja, dia maju sangat cepat dan tiba-tiba berhasil menyentuh area poin di lawannya, lalu menang! Putriku tak terkalahkan!”
Dania tersipu, hatinya terasa hangat oleh rasa syukur.
“Ma, itu hanya keberuntungan karena aku mendapatkan lawan yang cukup mudah.” Dania merendah. “Makanya, Ma, jangan membuatku gendut atau aku susah berlari untuk melakukan fleche.”
Sofia menjulurkan lidahnya sebagai balasan atas godaan Dania. Mereka pun tertawa bersama.
…
Senin ….
Dari pagi hingga siang, dia berkutat di kampus. Ketika siang tiba di rumah, hanya sekedar makan salad buah saja, lalu bersiap belajar piano bersama guru yang diundang.
“Ya, bagus, begitu sudah benar.” Sang guru angguk-anggukkan kepalanya melihat perkembangan Dania dalam memainkan piano. “Ya, di situ memang ada staccato, disambung legato. Nah, setelah itu lakukan sustain pedal ke soft pedal untuk menuju diminuendo.”
Di ambang pintu ruangan musik, Levi dan Sofia saling bertukar senyum bahagia.
“Anak kita sungguh genius, Sayang. Dia mampu mempelajari apa saja yang dia inginkan.” Sofia memeluk suaminya, menatap haru ke Dania yang serius menatap buku partiturnya.
…
Selasa ….
Pagi sampai sore, Dania ada di kampus. Sedangkan ketika malam, dia memperlajari bisnis bersama sang ayah di ruang kerja Beliau.
“Papa, besok aku sudah siap ikut denganmu menemui klien,” ucap Dania penuh percaya diri.
Dania sudah berbulan-bulan mempelajari ilmu bisnis dengan lebih mendalam, tidak lagi melakukannya secara diam-diam menonton dari Yutub seperti dulu ketika di rumah Grimaldi.
Sudah beberapa bulan ini dia ikut ke kantor Levi untuk menyerap banyak pelajaran bisnis secara langsung dengan mengamati bagaimana ayahnya bekerja.
…
Rabu siang, Dania ikut tim ayahnya menemui investor. Dia mengamati jalannya pertemuan antara tim Levi dengan Tuan Baron, salah satu orang kaya dari kota Burgundy yang tak jauh dari kota Mauve.
Setelah pertemuan selesai dan Levi mengajak putrinya ke ruangan pribadinya, Dania mulai berkata, “Papa, kurasa tadi Bu Veronica melakukan kesalahan.”
“Oh? Bagaimana menurutmu?” Levi sambil mengangkat alisnya.
Dania ikut duduk di sofa seperti ayahnya.
“Dia bilang dampak dari tambang baru kita itu minimal, padahal nggak sepenuhnya benar, kan? Bukankah kita masih menghadapi masalah sama air asam tambang? Juga, rehabilitasi lahan bekas tambang masih dalam tahap uji coba, benar? Papa bisa obrolkan ini ama Bu Veronica. Kalau Tuan Baron tau kita nggak sepenuhnya jujur, kita bisa kehilangan kepercayaannya.”
Mendengar itu, Levi menatap putrinya, terkesan.
Setelah membahas kesalahan Bu Veronica, Dania terlihat ragu-ragu sejenak sebelum kembali berbicara kepada ayahnya.
"Pa, ada satu hal lagi," ujar Dania, suaranya sedikit lebih pelan.
Levi menoleh, "Apa itu, Dania?"
"Ini tentang data yang disajikan Pak Helmi tadi," Dania mulai menjelaskan. "Saat dia memaparkan proyeksi produksi tambang untuk lima tahun ke depan, ada angka yang sepertinya nggak konsisten."
Levi mengerutkan dahi, "Bisa kamu jelaskan lebih detail?"
Dania mengangguk dan mengambil selembar kertas, lalu mulai menggambar grafik. "Pak Helmi menunjukkan kenaikan produksi sebesar 15% setiap tahun. Tapi, jika kita melihat data historis dan kapasitas tambang kita saat ini, kenaikan seperti itu tidak realistis. Bahkan, dengan ekspansi yang direncanakan, kenaikan maksimal yang mungkin hanya sekitar 10% per tahun."
Levi menatap grafik yang dibuat Dania, terkejut dengan analisis putrinya. "Ah! Kau benar! Bagaimana bisa aku melewatkan ini?"
"Mungkin karena presentasinya sangat meyakinkan," Dania tersenyum kecil. "Tapi kalau Tuan Baron atau timnya memeriksa angka-angka ini lebih teliti, mereka mungkin akan menemukan ketidakkonsistenan ini."
Levi menghela napas, antara lega dan juga kagum, tak menyangka putrinya dalam beberapa tahun singkat begitu bertumbuh menunjukkan kemampuan hebatnya dalam banyak hal.
"Terima kasih, Dania," Levi tersenyum, menepuk pundak putrinya. "Kau baru saja menyelamatkan reputasi perusahaan kita dan mungkin juga investasi potensial ini."
…
Kamis, dia akan ada di kampus sepanjang pagi dan pada siangnya akan bersiap untuk kegiatan lain, berlatih bela diri.
“Hah! Hah! Hah!” seru Dania sambil menggerakkan tangan dan kakinya saat berlatih Krav Maga dengan instruktur pribadinya.
“Bagus! Berikan retzev terbaikmu! Ya, pertahankan bursting-mu! Lakukan 360 Defense! Sempurna!” Sang instruktur terlihat puas dengan ketangkasan Dania.
…
Jumat, Dania tidak ke kampus. Sebagai gantinya, dia akan berkutat lebih lama di ruang gym pribadinya dan siangnya memiliki waktu luang untuk berjalan-jalan dengan ibunya.
“Oh, Sayang! Baju itu pasti cocok sekali di badanmu!” pekik Sofia ketika melihat gaun dari beludru di butik ternama.
Pada akhirnya, Sofia pun membeli gaun itu dalam 3 warna sekaligus.
“Astaga, Ma. Lemariku penuh dengan baju kembar berbagai warna.” Dania menghela napas. Tapi ibunya malah tertawa santai.
…
Sabtu dan Minggu, Dania akan memberikan waktunya ke keluarganya. Mereka akan melakukan kegiatan menyenangkan bersama-sama.
Hingga tak terasa, 4 tahun berlalu semenjak Dania datang ke Zeralandia.
Suatu malam, Dania teringat akan Hizam dan keluarga Grimaldi seusai dia berbincang mengenai bisnis dengan Levi.
Mendadak, ide gila muncul di kepalanya. “Papa, bolehkah aku kembali ke Morenia?” Bara dendam itu belum sepenuhnya menghilang dari hatinya.
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
Sebastian sengaja memberikan kalimat itu agar Hizam terkesan menjadi pihak eksklusif dan penting di sana. Dia hanya memainkan ego Hizam saja.Dengan penuh semangat, Hizam menjawab, "Tentu! Saya ingin tahu lebih banyak tentang peluang investasi ini."Hizam yang bodoh hanya seperti ikan yang dibawa ke talenan untuk dipotong.Senyum Sebastian sekali lagi terurai tipis sebelum dia bicara, "Excellent! Mari kita bicarakan detailnya lebih lanjut!"Sebastian dengan sempurna memainkan perannya saat bertemu Hizam. Dia memukau dengan presentasi teknologi canggih yang sebenarnya hanya tipuan visual belaka. Angka-angka proyeksi keuntungan yang fantastis dipaparkan, membuat mata Hizam berbinar."Liat, Kak Mel. Si pewaris bodoh itu dengan mudah ditipu pakai laporan keuangan palsu ampe prototipe 'teknologi' yang sebenarnya hanya tipuan canggih. Hihi! Kali ini kena kau, Hizam!” desis Dania keras sambil matanya berkilat senang.Tanpa disadari, Hizam telah masuk ke dalam jebakan yang dirancang dengan ce
“Rivan! Rivan!” Dania semakin kalap ketika salah satu perawat menutup tirai yang melingkupi tempat tidur.Dia tak mau ketika tirai itu dibuka nantinya, Rivan sudah ditutup kain putih. Dia tak ingin yang dia tonton di salah satu drama akan dia alami sendiri.Maka dari itu, Dania kalap dan berusaha ingin mendekat ke Rivan, memastikan pria itu baik-baik saja.“Nona, tolong jangan mendekat!” Seorang perawat menghadang langkah Dania.Levi berjuang memegangi putrinya.“Dania! Ayo kita keluar dulu!” Levi menarik Dania menyingkir dari sana. “Kita percayakan pada tim medis. Mereka pasti menangani Rivan dengan baik.”Dania menatap ayahnya dan menangis di dada pria tua itu. Setelahnya, dia pasrah ketika digiring keluar kamar rawat inap oleh Levi.Dia terus menangis di luar kamar.“Tuan, Nona,” panggil salah satu perawat.Dania dan Levi sama-sama menoleh.“Gimana pasien?” tanya Dania, tak sabar sambil mengusap kasar air matanya menggunakan ujung lengan baju.Kemudian, dokter jaga yang menangani Ri
Dor!“Agh!” Dania refleks menjerit karena kaget.Dia tidak sempat memberikan reaksi atau respon perlawanan selain merunduk, berharap nyawanya tidak lepas dari raga.Namun, dia justru mendengar suara orang berkelahi. Saat dia mendongak, ternyata Rivan sedang melawan Hizam.“Riv!” pekik Dania melihat Rivan sedang bertarung.Tatapannya jatuh pada pistol yang tergeletak di lantai tak jauh darinya.“Dania! Cepat masuk mobil dan pergi!” seru Rivan.Sedangkan saat ini, di tangan Hizam sudah ada pisau cukup besar yang mengancam nyawa Rivan.Dania menolak pergi. “Nggak! Aku—“Stab!Seketika Dania membeku melongo menyaksikan pisau di tangan Rivan sudah tertancap di perut Rivan.Tersadar oleh situasinya, Dania menjerit, “Rivan!”Sementara itu, terkejut dengan yang dilakukannya, Hizam mencabut pisau itu dan berlari kabur, keluar dari tempat parkir.“Riv! Rivan!” Dania berteriak panik sambil menyongsong Rivan yang ambruk bersimbah darah. “Riv! Bertahan!”Kemudian Dania berteriak minta tolong sambi
“Da-Dania, kenapa kamu sekarang sekasar ini kalau ngomong?” Hizam menatap mantan istrinya.Melihat cara Hizam merespon kalimat tajamnya, Dania malah memberikan wajah canda dengan mata dilebarkan sambil mengulum senyum.Lantas, Dania menyahut, “Apakah kamu terluka ama kata-kata aku, Zam? Itu baru omongan, ya kan? Belum juga aku bikin kamu terluka fisik. Sedangkan keluargamu dan kamu juga… kalian nggak hanya melukai perasaan aku karena omongan jahat kalian, tapi juga melukai fisikku.”Saatnya Dania meluapkan unek-unek yang selama ini dia pendam.“Dulu kamu dan keluargamu sering menghina tubuhku yang masih gendut pake kata-kata menyakitkan. Kamu bahkan nggak bolehin aku muncul di depan teman-teman kamu karena malu punya istri kayak aku.”“Lalu, Zam, kamu juga beberapa kali mencekik, menampar, menjambak, dan meludahi aku sambil mengancam mau bunuh aku kalau aku nggak nuruti aturanmu.”Dania masih ingat kejadian saat Leona pertama kali diketemukan dengannya malam sebelum dia kabur. Itu san
“Apa?!” Alina menjerit dengan wajah terkejut. Matanya melotot dengan kedua alis terangkat tinggi. “Jangan main-main! Kamu pasti bercanda!”Jelas sekali ada ketidakrelaan dari Alina mengenai apa yang baru saja dibacakan oleh Pengacara Julian.Zila hendak mengikuti ibunya yang memberikan kalimat tak rela, tapi dia segera mengurungkan niatnya ketika ayahnya berteriak.“Alina, diam!” bentak Arvan pada sang istri.Alina segera menutup mulut dengan sikap terkejut atas bentakan suaminya. Arvan jarang sekali berkata kasar apalagi membentaknya, kecuali benar-benar di situasi tertentu yang penting.“Apa yang dikatakan papi semuanya fakta, bahkan aku sudah mengetahui wasiat terdahulu papi mengenai Dania.” Arvan menundukkan kepala.Ucapan suaminya membuat Alina semakin terkesima.“Sa-Sayang?” Alina tidak pernah menyangka bahwa suaminya sudah mengetahui adanya wasiat semacam itu dari ayah mertuanya.“Sungguh tepat apabila Tuan Arvan bersedia menceritakan apa yang terjadi dulunya terhadap keluarga
“Zenith Group berkaitan dengan gadis itu?” Alina sampai mendelik kaget mendengar ucapan ayah mertuanya.“Bagaimana bisa begitu, Opa?” Nada suara Zila mencerminkan dirinya tak terima dengan apa yang baru saja disampaikan kakeknya.Yang benar saja! Mana bisa Dania dianggap berkaitan dengan berdirinya Zenith Group? Apakah Hegar sudah terlalu dimakan umur sehingga otaknya bermasalah? Ini yang ada di benak pikiran anggota keluarga Grimaldi di ruangan itu.“Kalian berani menyangsikan ucapan aku?” pekik Hegar dengan napas tersengal.Alen lekas menenangkan Hegar dan mengusap-usap dada pria tua renta tersebut.“Maaf, Papi. Bukannya kami menyangsikan ucapan Papi,” sahut Alina disertai wajah menyesal. “Kami hanya, kaget.”Tak lupa ada cengiran tanda penyesalan di wajah menor Alina. Zila mengangguk untuk mendukung ibunya. Akan gawat kalau sampai pendiri Zenith marah.“Kalian ini tau apa?” ejek Hegar ke menantu dan cucunya.Mata Hegar melirik ke Arvan di dekatnya seakan memberi kode, tapi Arvan ju
“Ada apa dengan Dania?” Mendadak, muncul suara renta dari arah ruang tamu. “Apakah kalian membicarakan Dania anak dari Greg Loveto, mantan karyawanku?”Suara itu muncul berbarengan dengan sosok renta di atas kursi roda yang didorong seorang berpenampilan ala pelayan pria.Segera saja Hizam dan semua yang ada di ruangan itu menundukkan kepala, bersikap sangat hormat pada sosok renta tersebut.“Papi.” Arvan menyebut.“Opa.” Hizam dan Zila sama-sama menyapa sosok renta yang mendekat ke mereka.Orang itu memang salah satu anggota keluarga Grimaldi. Bahkan dia merupakan sosok kunci di balik kesuksesan Zenith Group.Dia adalah Hegar Grimaldi. Usianya sudah mencapai 80 tahun dan memiliki berbagai kompilasi penyakit yang menyebabkan kursi roda menjadi alat terbaik untuknya ketika ingin memiliki mobilitas.Belum lagi botol infus yang turut menggantung di tiang di sebelah kursi rodanya, seakan itu merupakan penunjang hidup terbaik yang bisa dokter berikan padanya.“Papi mertua, kenapa repot-rep
“Saya kurang paham, Tuan,” kata manajer itu. “Sepertinya mereka menggunakan pengaruh mereka untuk menghambat operasi kita.”Hizam yang duduk di pojok ruangan mendongak dengan wajah pucat. “Dania…” bisiknya pelan.***Malam itu, di ruang keluarga Grimaldi, suasana tegang menyelimuti. Alina dan Zila duduk di sofa, sementara Hizam berdiri di dekat jendela dengan wajah lesu. Arvan berjalan mondar-mandir, menahan amarahnya.“Ini semua salahmu, Hizam!” bentak Arvan akhirnya. “Kalau saja kamu tidak bercerai dari dia! Kalau saja kamu berhasil mendapatkan kembali Dania, kita tidak akan menghadapi masalah ini!”Arvan tidak menahan suara menggelegarnya ketika dia sedang dikuasai emosi. Inilah yang membuat dia ditakuti semua penghuni rumah besarnya. Hanya Grimaldi tua, Hegar, yang bisa membuat Arvan takut.“Aku udah mencoba, Pa,” jawab Hizam dengan suara lemah. “Tapi dia nggak mau tau. Dia malahan bilang kalo dia udah tertarik ama pria lain.”Hizam tak berani menaikkan kepala untuk sekedar menata
“Baiklah, Pa. Aku akan mencoba lagi.” Hizam mengangguk akan keinginan ayahnya.Hizam memutuskan untuk tidak menyerah. Dengan penuh tekad, dia menyusun strategi lain untuk meluluhkan hati Dania. Kali ini, dia memutuskan untuk muncul di apartemen mewah Dania tanpa pemberitahuan.Dania yang baru pulang kerja tampak terkejut melihat sosok Hizam berdiri di depan pintu liftnya dengan buket bunga mawar putih di tangan.“Hizam? Apa lagi sekarang?” tanya Dania dengan nada dingin.Kenapa lagi dan lagi mantan suaminya datang padanya? Apakah dia kurang menegaskan ke Hizam bahwa mereka sudah selesai?“Aku ingin bicara, Dania. Tolong,” kata Hizam memohon.Dania mendesah, melirik jam tangannya sejenak, lalu membuka lift dan mereka naik berdua bersama petugas keamanan. Dia bukannya ingin memberi kesempatan ke Hizam, melainkan ingin mendengar bujuk rayu Hizam demi memuaskan egonya sendiri.Sesampainya di penthouse, Dania meminta petugas tadi untuk tetap berjaga di depan pintu ruang transit penthouse.
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne