Tak terasa, 3 tahun berlalu.
“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.
“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”
Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.
“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.
Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.
“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”
Dania tahu Sofia hanya bicara omong kosong. Meski begitu, dia bersyukur kehidupannya di Zeralandia sangatlah baik berkat kasih sayang Levi dan Sofia yang begitu besar.
Selain mendapatkan orang tua hebat dan tubuh ideal, dia juga menjalani kuliah S2 ilmu bisnis di universitas milik keluarga Hadid, Nexus Global University.
“Baiklah, baiklah. Aku akan makan.” Dania paling tak tega melihat Sofia bersedih.
Tak ingin mengecewakan Sofia, Dania pun menikmati apa yang sudah disiapkan ibunya. Mereka duduk bersama di teras samping agar bisa memandang hamparan taman seluas dua kali lapangan basket yang dipenuhi tanaman hias kesayangan Sofia.
“Bukankah besok adalah pertandingan anggarmu, Sayang?” tanya Sofia sembari menikmati teh sorenya.
“Iya.” Dania menjawab sebelum memasukkan potongan puding ke mulutnya.
***
Jadwal Dania termasuk ketat dan semuanya merupakan keinginannya sendiri. Dia melakukan apa saja yang dulu hanya menjadi angan-angannya.
Minggu ….
“Fencing jacket dan lamé … semua sudah siap.” Dania selesai memakai kostum anggar. “Sabel-ku juga siap.”
Tak berapa lama, dia berjalan mantap menuju piste atau arena pertandingan anggar.
“En garde!” seru wasit untuk kedua peserta agar mereka bersiap-siap dalam posisi bertanding. “Allez!” teriakan diucapkan sebagai tanda dimulainya pertandingan.
Maka, Dania pun mulai bergerak. Sofia dan Levi yang berada di kursi penonton ikut merasakan ketegangan dan bersorak ketika Dania mencetak skor.
Hingga satu jam kemudian, Dania sudah masuk ke mobil ayahnya untuk pulang.
“Tadi mamamu berteriak paling kencang ketika kamu melakukan touché ke lawanmu.” Levi berkata sambil tertawa.
Mereka dengan riang membicarakan pertandingan anggar yang dimenangkan Dania.
“Apalagi ketika kesayanganku ini mendadak saja melakukan fleche, jantungku seperti diremas kuat-kuat! Hahaha! Bayangkan saja, dia maju sangat cepat dan tiba-tiba berhasil menyentuh area poin di lawannya, lalu menang! Putriku tak terkalahkan!”
Dania tersipu, hatinya terasa hangat oleh rasa syukur.
“Ma, itu hanya keberuntungan karena aku mendapatkan lawan yang cukup mudah.” Dania merendah. “Makanya, Ma, jangan membuatku gendut atau aku susah berlari untuk melakukan fleche.”
Sofia menjulurkan lidahnya sebagai balasan atas godaan Dania. Mereka pun tertawa bersama.
…
Senin ….
Dari pagi hingga siang, dia berkutat di kampus. Ketika siang tiba di rumah, hanya sekedar makan salad buah saja, lalu bersiap belajar piano bersama guru yang diundang.
“Ya, bagus, begitu sudah benar.” Sang guru angguk-anggukkan kepalanya melihat perkembangan Dania dalam memainkan piano. “Ya, di situ memang ada staccato, disambung legato. Nah, setelah itu lakukan sustain pedal ke soft pedal untuk menuju diminuendo.”
Di ambang pintu ruangan musik, Levi dan Sofia saling bertukar senyum bahagia.
“Anak kita sungguh genius, Sayang. Dia mampu mempelajari apa saja yang dia inginkan.” Sofia memeluk suaminya, menatap haru ke Dania yang serius menatap buku partiturnya.
…
Selasa ….
Pagi sampai sore, Dania ada di kampus. Sedangkan ketika malam, dia memperlajari bisnis bersama sang ayah di ruang kerja Beliau.
“Papa, besok aku sudah siap ikut denganmu menemui klien,” ucap Dania penuh percaya diri.
Dania sudah berbulan-bulan mempelajari ilmu bisnis dengan lebih mendalam, tidak lagi melakukannya secara diam-diam menonton dari Yutub seperti dulu ketika di rumah Grimaldi.
Sudah beberapa bulan ini dia ikut ke kantor Levi untuk menyerap banyak pelajaran bisnis secara langsung dengan mengamati bagaimana ayahnya bekerja.
…
Rabu siang, Dania ikut tim ayahnya menemui investor. Dia mengamati jalannya pertemuan antara tim Levi dengan Tuan Baron, salah satu orang kaya dari kota Burgundy yang tak jauh dari kota Mauve.
Setelah pertemuan selesai dan Levi mengajak putrinya ke ruangan pribadinya, Dania mulai berkata, “Papa, kurasa tadi Bu Veronica melakukan kesalahan.”
“Oh? Bagaimana menurutmu?” Levi sambil mengangkat alisnya.
Dania ikut duduk di sofa seperti ayahnya.
“Dia bilang dampak dari tambang baru kita itu minimal, padahal nggak sepenuhnya benar, kan? Bukankah kita masih menghadapi masalah sama air asam tambang? Juga, rehabilitasi lahan bekas tambang masih dalam tahap uji coba, benar? Papa bisa obrolkan ini ama Bu Veronica. Kalau Tuan Baron tau kita nggak sepenuhnya jujur, kita bisa kehilangan kepercayaannya.”
Mendengar itu, Levi menatap putrinya, terkesan.
Setelah membahas kesalahan Bu Veronica, Dania terlihat ragu-ragu sejenak sebelum kembali berbicara kepada ayahnya.
"Pa, ada satu hal lagi," ujar Dania, suaranya sedikit lebih pelan.
Levi menoleh, "Apa itu, Dania?"
"Ini tentang data yang disajikan Pak Helmi tadi," Dania mulai menjelaskan. "Saat dia memaparkan proyeksi produksi tambang untuk lima tahun ke depan, ada angka yang sepertinya nggak konsisten."
Levi mengerutkan dahi, "Bisa kamu jelaskan lebih detail?"
Dania mengangguk dan mengambil selembar kertas, lalu mulai menggambar grafik. "Pak Helmi menunjukkan kenaikan produksi sebesar 15% setiap tahun. Tapi, jika kita melihat data historis dan kapasitas tambang kita saat ini, kenaikan seperti itu tidak realistis. Bahkan, dengan ekspansi yang direncanakan, kenaikan maksimal yang mungkin hanya sekitar 10% per tahun."
Levi menatap grafik yang dibuat Dania, terkejut dengan analisis putrinya. "Ah! Kau benar! Bagaimana bisa aku melewatkan ini?"
"Mungkin karena presentasinya sangat meyakinkan," Dania tersenyum kecil. "Tapi kalau Tuan Baron atau timnya memeriksa angka-angka ini lebih teliti, mereka mungkin akan menemukan ketidakkonsistenan ini."
Levi menghela napas, antara lega dan juga kagum, tak menyangka putrinya dalam beberapa tahun singkat begitu bertumbuh menunjukkan kemampuan hebatnya dalam banyak hal.
"Terima kasih, Dania," Levi tersenyum, menepuk pundak putrinya. "Kau baru saja menyelamatkan reputasi perusahaan kita dan mungkin juga investasi potensial ini."
…
Kamis, dia akan ada di kampus sepanjang pagi dan pada siangnya akan bersiap untuk kegiatan lain, berlatih bela diri.
“Hah! Hah! Hah!” seru Dania sambil menggerakkan tangan dan kakinya saat berlatih Krav Maga dengan instruktur pribadinya.
“Bagus! Berikan retzev terbaikmu! Ya, pertahankan bursting-mu! Lakukan 360 Defense! Sempurna!” Sang instruktur terlihat puas dengan ketangkasan Dania.
…
Jumat, Dania tidak ke kampus. Sebagai gantinya, dia akan berkutat lebih lama di ruang gym pribadinya dan siangnya memiliki waktu luang untuk berjalan-jalan dengan ibunya.
“Oh, Sayang! Baju itu pasti cocok sekali di badanmu!” pekik Sofia ketika melihat gaun dari beludru di butik ternama.
Pada akhirnya, Sofia pun membeli gaun itu dalam 3 warna sekaligus.
“Astaga, Ma. Lemariku penuh dengan baju kembar berbagai warna.” Dania menghela napas. Tapi ibunya malah tertawa santai.
…
Sabtu dan Minggu, Dania akan memberikan waktunya ke keluarganya. Mereka akan melakukan kegiatan menyenangkan bersama-sama.
Hingga tak terasa, 4 tahun berlalu semenjak Dania datang ke Zeralandia.
Suatu malam, Dania teringat akan Hizam dan keluarga Grimaldi seusai dia berbincang mengenai bisnis dengan Levi.
Mendadak, ide gila muncul di kepalanya. “Papa, bolehkah aku kembali ke Morenia?” Bara dendam itu belum sepenuhnya menghilang dari hatinya.
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
Sebastian sengaja memberikan kalimat itu agar Hizam terkesan menjadi pihak eksklusif dan penting di sana. Dia hanya memainkan ego Hizam saja.Dengan penuh semangat, Hizam menjawab, "Tentu! Saya ingin tahu lebih banyak tentang peluang investasi ini."Hizam yang bodoh hanya seperti ikan yang dibawa ke talenan untuk dipotong.Senyum Sebastian sekali lagi terurai tipis sebelum dia bicara, "Excellent! Mari kita bicarakan detailnya lebih lanjut!"Sebastian dengan sempurna memainkan perannya saat bertemu Hizam. Dia memukau dengan presentasi teknologi canggih yang sebenarnya hanya tipuan visual belaka. Angka-angka proyeksi keuntungan yang fantastis dipaparkan, membuat mata Hizam berbinar."Liat, Kak Mel. Si pewaris bodoh itu dengan mudah ditipu pakai laporan keuangan palsu ampe prototipe 'teknologi' yang sebenarnya hanya tipuan canggih. Hihi! Kali ini kena kau, Hizam!” desis Dania keras sambil matanya berkilat senang.Tanpa disadari, Hizam telah masuk ke dalam jebakan yang dirancang dengan ce