Tak terasa, 3 tahun berlalu.
“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.
“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”
Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.
“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.
Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.
“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”
Dania tahu Sofia hanya bicara omong kosong. Meski begitu, dia bersyukur kehidupannya di Zeralandia sangatlah baik berkat kasih sayang Levi dan Sofia yang begitu besar.
Selain mendapatkan orang tua hebat dan tubuh ideal, dia juga menjalani kuliah S2 ilmu bisnis di universitas milik keluarga Hadid, Nexus Global University.
“Baiklah, baiklah. Aku akan makan.” Dania paling tak tega melihat Sofia bersedih.
Tak ingin mengecewakan Sofia, Dania pun menikmati apa yang sudah disiapkan ibunya. Mereka duduk bersama di teras samping agar bisa memandang hamparan taman seluas dua kali lapangan basket yang dipenuhi tanaman hias kesayangan Sofia.
“Bukankah besok adalah pertandingan anggarmu, Sayang?” tanya Sofia sembari menikmati teh sorenya.
“Iya.” Dania menjawab sebelum memasukkan potongan puding ke mulutnya.
***
Jadwal Dania termasuk ketat dan semuanya merupakan keinginannya sendiri. Dia melakukan apa saja yang dulu hanya menjadi angan-angannya.
Minggu ….
“Fencing jacket dan lamé … semua sudah siap.” Dania selesai memakai kostum anggar. “Sabel-ku juga siap.”
Tak berapa lama, dia berjalan mantap menuju piste atau arena pertandingan anggar.
“En garde!” seru wasit untuk kedua peserta agar mereka bersiap-siap dalam posisi bertanding. “Allez!” teriakan diucapkan sebagai tanda dimulainya pertandingan.
Maka, Dania pun mulai bergerak. Sofia dan Levi yang berada di kursi penonton ikut merasakan ketegangan dan bersorak ketika Dania mencetak skor.
Hingga satu jam kemudian, Dania sudah masuk ke mobil ayahnya untuk pulang.
“Tadi mamamu berteriak paling kencang ketika kamu melakukan touché ke lawanmu.” Levi berkata sambil tertawa.
Mereka dengan riang membicarakan pertandingan anggar yang dimenangkan Dania.
“Apalagi ketika kesayanganku ini mendadak saja melakukan fleche, jantungku seperti diremas kuat-kuat! Hahaha! Bayangkan saja, dia maju sangat cepat dan tiba-tiba berhasil menyentuh area poin di lawannya, lalu menang! Putriku tak terkalahkan!”
Dania tersipu, hatinya terasa hangat oleh rasa syukur.
“Ma, itu hanya keberuntungan karena aku mendapatkan lawan yang cukup mudah.” Dania merendah. “Makanya, Ma, jangan membuatku gendut atau aku susah berlari untuk melakukan fleche.”
Sofia menjulurkan lidahnya sebagai balasan atas godaan Dania. Mereka pun tertawa bersama.
…
Senin ….
Dari pagi hingga siang, dia berkutat di kampus. Ketika siang tiba di rumah, hanya sekedar makan salad buah saja, lalu bersiap belajar piano bersama guru yang diundang.
“Ya, bagus, begitu sudah benar.” Sang guru angguk-anggukkan kepalanya melihat perkembangan Dania dalam memainkan piano. “Ya, di situ memang ada staccato, disambung legato. Nah, setelah itu lakukan sustain pedal ke soft pedal untuk menuju diminuendo.”
Di ambang pintu ruangan musik, Levi dan Sofia saling bertukar senyum bahagia.
“Anak kita sungguh genius, Sayang. Dia mampu mempelajari apa saja yang dia inginkan.” Sofia memeluk suaminya, menatap haru ke Dania yang serius menatap buku partiturnya.
…
Selasa ….
Pagi sampai sore, Dania ada di kampus. Sedangkan ketika malam, dia memperlajari bisnis bersama sang ayah di ruang kerja Beliau.
“Papa, besok aku sudah siap ikut denganmu menemui klien,” ucap Dania penuh percaya diri.
Dania sudah berbulan-bulan mempelajari ilmu bisnis dengan lebih mendalam, tidak lagi melakukannya secara diam-diam menonton dari Yutub seperti dulu ketika di rumah Grimaldi.
Sudah beberapa bulan ini dia ikut ke kantor Levi untuk menyerap banyak pelajaran bisnis secara langsung dengan mengamati bagaimana ayahnya bekerja.
…
Rabu siang, Dania ikut tim ayahnya menemui investor. Dia mengamati jalannya pertemuan antara tim Levi dengan Tuan Baron, salah satu orang kaya dari kota Burgundy yang tak jauh dari kota Mauve.
Setelah pertemuan selesai dan Levi mengajak putrinya ke ruangan pribadinya, Dania mulai berkata, “Papa, kurasa tadi Bu Veronica melakukan kesalahan.”
“Oh? Bagaimana menurutmu?” Levi sambil mengangkat alisnya.
Dania ikut duduk di sofa seperti ayahnya.
“Dia bilang dampak dari tambang baru kita itu minimal, padahal nggak sepenuhnya benar, kan? Bukankah kita masih menghadapi masalah sama air asam tambang? Juga, rehabilitasi lahan bekas tambang masih dalam tahap uji coba, benar? Papa bisa obrolkan ini ama Bu Veronica. Kalau Tuan Baron tau kita nggak sepenuhnya jujur, kita bisa kehilangan kepercayaannya.”
Mendengar itu, Levi menatap putrinya, terkesan.
Setelah membahas kesalahan Bu Veronica, Dania terlihat ragu-ragu sejenak sebelum kembali berbicara kepada ayahnya.
"Pa, ada satu hal lagi," ujar Dania, suaranya sedikit lebih pelan.
Levi menoleh, "Apa itu, Dania?"
"Ini tentang data yang disajikan Pak Helmi tadi," Dania mulai menjelaskan. "Saat dia memaparkan proyeksi produksi tambang untuk lima tahun ke depan, ada angka yang sepertinya nggak konsisten."
Levi mengerutkan dahi, "Bisa kamu jelaskan lebih detail?"
Dania mengangguk dan mengambil selembar kertas, lalu mulai menggambar grafik. "Pak Helmi menunjukkan kenaikan produksi sebesar 15% setiap tahun. Tapi, jika kita melihat data historis dan kapasitas tambang kita saat ini, kenaikan seperti itu tidak realistis. Bahkan, dengan ekspansi yang direncanakan, kenaikan maksimal yang mungkin hanya sekitar 10% per tahun."
Levi menatap grafik yang dibuat Dania, terkejut dengan analisis putrinya. "Ah! Kau benar! Bagaimana bisa aku melewatkan ini?"
"Mungkin karena presentasinya sangat meyakinkan," Dania tersenyum kecil. "Tapi kalau Tuan Baron atau timnya memeriksa angka-angka ini lebih teliti, mereka mungkin akan menemukan ketidakkonsistenan ini."
Levi menghela napas, antara lega dan juga kagum, tak menyangka putrinya dalam beberapa tahun singkat begitu bertumbuh menunjukkan kemampuan hebatnya dalam banyak hal.
"Terima kasih, Dania," Levi tersenyum, menepuk pundak putrinya. "Kau baru saja menyelamatkan reputasi perusahaan kita dan mungkin juga investasi potensial ini."
…
Kamis, dia akan ada di kampus sepanjang pagi dan pada siangnya akan bersiap untuk kegiatan lain, berlatih bela diri.
“Hah! Hah! Hah!” seru Dania sambil menggerakkan tangan dan kakinya saat berlatih Krav Maga dengan instruktur pribadinya.
“Bagus! Berikan retzev terbaikmu! Ya, pertahankan bursting-mu! Lakukan 360 Defense! Sempurna!” Sang instruktur terlihat puas dengan ketangkasan Dania.
…
Jumat, Dania tidak ke kampus. Sebagai gantinya, dia akan berkutat lebih lama di ruang gym pribadinya dan siangnya memiliki waktu luang untuk berjalan-jalan dengan ibunya.
“Oh, Sayang! Baju itu pasti cocok sekali di badanmu!” pekik Sofia ketika melihat gaun dari beludru di butik ternama.
Pada akhirnya, Sofia pun membeli gaun itu dalam 3 warna sekaligus.
“Astaga, Ma. Lemariku penuh dengan baju kembar berbagai warna.” Dania menghela napas. Tapi ibunya malah tertawa santai.
…
Sabtu dan Minggu, Dania akan memberikan waktunya ke keluarganya. Mereka akan melakukan kegiatan menyenangkan bersama-sama.
Hingga tak terasa, 4 tahun berlalu semenjak Dania datang ke Zeralandia.
Suatu malam, Dania teringat akan Hizam dan keluarga Grimaldi seusai dia berbincang mengenai bisnis dengan Levi.
Mendadak, ide gila muncul di kepalanya. “Papa, bolehkah aku kembali ke Morenia?” Bara dendam itu belum sepenuhnya menghilang dari hatinya.
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak
Kemudian dia bicara pada Leona yang berdiri di sampingnya. "Maaf aja, tapi aku juga lagi buru-buru. Antriannya nggak terlalu panjang, kok!"Mengalah? Pada orang yang tidak pernah menghargai dirinya meski statusnya waktu itu masih sebagai istri Hizam? Enak saja!Leona tersenyum, tapi matanya mulai menunjukkan kejengkelan. "Oh, ayolah. Saya hanya membeli beberapa barang. Tidak akan lama."Rupanya Leona sudah terbiasa menggunakan taktik itu untuk menyela antrian."Aku rasa itu nggak adil untuk orang-orang yang udah mengantri lebih dulu," balas Dania tegas.Dia tidak memberi sedikit pun ruang untuk Leona mengambil posisinya yang sudah hampir mencapai kasir. Hanya karena dia membawa satu botol sampo saja dibandingkan orang-orang di depannya yang membawa troli, lantas dia bisa disela?! Aturan dari mana itu?!Leona menarik napas dalam, berusaha mempertahankan senyumnya. "Saya mohon pengertian Anda. Kadang kita harus saling membantu dalam situasi mendesak, bukan?""Mendesak atau tidak, aturan
Di belakangnya, ternyata berdiri Sebastian.Perhatian semua orang tertuju ke Sebastian yang jangkung dan tampan dengan dandanan rapi.“Oh? Seba?” Dania kaget melihat salah satu asistennya ada di dekatnya.Tapi kalau mengingat bahwa Sebastian bekerja tidak sebagai asisten saja tapi juga sebagai pengawal pribadinya, maka Dania tak perlu lagi heran mengenai itu.“Anda butuh sampo?” Sebastian melirik botol sampo di tangan Dania. “Ayo, saya antar membelinya di tempat lain.”Sepertinya dia sudah memahami situasi yang dialami Dania.Karena begitu, Dania menaruh botol sampo di dekat kasir dan pergi bersama Sebastian.Di belakangnya, Leona masih berbicara nyinyir, “Wah, wah, salah satu sugar daddy dia, yah? Tumben banget kali ini sugar daddy-nya masih muda.”Lalu Leona terkekeh sambil tersenyum sinis. Hizam ikut tertawa sinis.“Eh tapi, kayaknya bukan dia sugar daddy-nya, sih! Dania dipanggil nona, berarti pria itu paling-paling asisten si om tajir yang melihara Dania.” Dengan seenak hati, Leon
Setelah menutup telepon, Dania kembali fokus pada laptopnya. Dia mulai menyusun rencana detail untuk perusahaan palsunya.“Ok. Nama, logo, website, bahkan profil palsu untuk para 'ahli' yang bakalan terlibat dalam proyek ini. Udah semua!”Dia menekan tombol save dan menggeliat di atas kursinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum menguap.***Beberapa hari kemudian, Dania berdiskusi secara temu muka bersama Sebastian di apartemennya.“Aku nggak nyangka kamu ternyata bisa menangani desain grafis, Seba.”Dania sambil menatap kagum ke Sebastian yang ternyata bisa membantunya menciptakan tampilan visual yang meyakinkan bagi perusahaan palsunya.“Hanya skill rendahan yang saya pelajari sambil lalu saja, Nona.” Sebastian merendah.Dania tertawa. Di tangannya, ada beberapa contoh desain buatan Sebastian yang tak bisa dianggap remeh.“Sepertinya kamu lagi berusaha merendah untuk meroket,” goda Dania.Kalimat itu hanya ditanggapi senyum penuh makna dari Sebastian."Jadi, Nona ingin l
Sebastian sengaja memberikan kalimat itu agar Hizam terkesan menjadi pihak eksklusif dan penting di sana. Dia hanya memainkan ego Hizam saja.Dengan penuh semangat, Hizam menjawab, "Tentu! Saya ingin tahu lebih banyak tentang peluang investasi ini."Hizam yang bodoh hanya seperti ikan yang dibawa ke talenan untuk dipotong.Senyum Sebastian sekali lagi terurai tipis sebelum dia bicara, "Excellent! Mari kita bicarakan detailnya lebih lanjut!"Sebastian dengan sempurna memainkan perannya saat bertemu Hizam. Dia memukau dengan presentasi teknologi canggih yang sebenarnya hanya tipuan visual belaka. Angka-angka proyeksi keuntungan yang fantastis dipaparkan, membuat mata Hizam berbinar."Liat, Kak Mel. Si pewaris bodoh itu dengan mudah ditipu pakai laporan keuangan palsu ampe prototipe 'teknologi' yang sebenarnya hanya tipuan canggih. Hihi! Kali ini kena kau, Hizam!” desis Dania keras sambil matanya berkilat senang.Tanpa disadari, Hizam telah masuk ke dalam jebakan yang dirancang dengan ce
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne
Hizam terkejut. “Apa? Kenapa, Pa?”Betapa mengejutkannya bagi Hizam beserta ibu dan adiknya saat mereka mendengar apa yang diperintahkan Arvan.Menceraikan Leona. Arvan memerintahkan demikian dengan nada tegas dan wajah serius. Baru kali ini Arvan ikut campur dalam ranah hubungan pribadi anaknya.Namun, Arvan seperti tidak mau tau. Dia melotot ke Hizam yang dianggap melawan. Tangannya sudah hendak melayang untuk kedua kalinya, namun Alina segera berdiri di depan putranya, menjadi tameng.“Papi! Jangan pukul lagi anakmu!” Alina mendesis tegas, dan hanya itu yang sanggup dia lakukan yang paling jauh, disebabkan dia juga takut pada Arvan ketika pria itu dalam mode serius.Disebabkan pembelaan Alina yang dia cintai, Arvan urung memukul Hizam.“Papa ingin kamu menceraikan Leona karena kamu akan kembali mengejar Dania,” ujar Arvan dengan tegas. “Kalau dia adalah pewaris Nexus, maka kita tidak bisa kehilangan kesempatan emas ini. Kamu harus melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali hatinya.
“Benar, Nona Dania adalah penerus Nexus Holdings.” Yohan menebalkan pernyataan itu.Hizam memicingkan mata, tak percaya.Dania? Mantan istrinya yang menyedihkan itu? Yang merupakan anak dari pasangan miskin yang membeli mobil saja tidak mampu?“Kenapa, Zam? Kamu nggak percaya?” Dania menaikkan dagunya, puas bisa membuat Hizam sepucat kertas. “Aku bisa kasi bukti dari tes DNA. Nama asliku Dania Hadid. Nexus di Morenia sebenarnya tempat aku untuk berlatih bisnis sebelum aku mengambil alih seluruh Nexus.”Hizam berdiri terpaku, tubuhnya kaku seperti patung. Kata-kata Yohan menggema di kepalanya berulang kali, seolah-olah mencoba meyakinkan pikirannya yang enggan menerima kenyataan.Dania? Pewaris Nexus Holdings?Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis apa yang baru saja didengarnya.Namun, tatapan percaya diri Dania, ditambah dengan senyum puas yang mengembang di wajahnya, membenarkan semua yang Hizam coba sangkal.“Nggak mungkin,” gumam Hizam akhirnya, suaranya penuh ketidakper
“Hubunganku dengan Pak Yohan? Dengan Tuan Levi?” beo Dania atas pertanyaan Hizam. “Hihi! Kepalamu yang berotak payah itu bisa jumpalitan kalau aku kasi tau jawabannya.”Dania tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berdiri dengan anggun, lalu berjalan mendekati meja di mana beberapa dokumen penting Nexus berada. Tangannya dengan santai menyentuh salah satu dokumen itu sebelum dia akhirnya menatap Hizam.“Aku di sini bukan tanpa alasan,” katanya dengan nada tenang tetapi penuh makna. “Dan satu hal yang harus kamu lakuin kalau kamu ingin bergaul baik dengan penerus Nexus, Hizam, yaitu kamu… harus bersikap saaaaangat baik ama aku.”Setelah mengucapkan itu, Dania menyunggingkan senyum seringainya.Hizam hanya bisa memandang Dania dengan tatapan bingung, tetapi juga penuh amarah yang tertahan. Sesuatu tentang wanita itu terasa berbeda, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.“Maksudmu apa sih, Dania? Ngapain aku harus bergaul baik ama kamu lebih dulu kalau ingin
Pada esok harinya….Hizam Grimaldi berjalan memasuki lobi kantor Nexus Holdings dengan langkah penuh percaya diri.Penampilan pria itu tergolong sempurna, mengenakan jas hitam mahal dengan dasi merah marun, namun di dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman.Ini semua karena perintah ayahnya, Arvan Grimaldi tadi malam. “Besok Papa tak mau tau. Pergilah ke Nexus Holdings. Pewaris perusahaan itu dirumorkan masih berada di Morenia. Kamu harus menjalin hubungan baik dengannya, tak boleh gagal! Jangan sampai kita kehilangan peluang kerja sama besar!” begitu instruksi tegas yang dia terima.Namun, rasa tidak nyaman Hizam perlahan berubah menjadi kekesalan saat dia memasuki ruang pribadi Yohan. Di sana, dia melihat Yohan, sang Managing Director Nexus Holdings di Morenia, berdiri di samping kursi besar yang diduduki seorang wanita yang sangat dia kenal—Dania.Mata Hizam membelalak, tetapi bukan karena keterkejutan biasa. “Kamu ngapain di sini?” suaranya tajam, nyaris seperti perintah terh
‘Astaga! Astaga! Astaga!’ Dania merasakan jantungnya sibuk berdebar kencang.Dia tidak menyangka akan diberi pertanyaan mengenai sesuatu yang… yang… membuat wajahnya akan merah padam.“Itu… sakit…” Suara Dania seperti mencicit pelan. Dia bingung. Harus menanggapi dengan kalimat apa?Karena gugup, Dania tak berani menatap Rivan. Kepalanya terus tertunduk, seakan meja dan piring jauh lebih memikat mata ketimbang pria tampan di depannya.“Dania…” Rivan menyapa dengan suara lebih lembut.Tangan pria itu juga terjulur untuk menggapai tangan Dania. Senyumnya tak pernah luntur dari wajah tampannya.“Um!” Dania tersentak.Dia terlalu gugup saat ini, hingga tanpa sadar menarik tangannya dari gapaian Rivan. Dia bisa melihat pria itu terlihat kecewa.Tapi bagaimana ini? Dia tak mungkin mendorong tangannya lagi untuk masuk ke telapak tangan Rivan, kan?Akan aneh, bukan?“A-aku makan dulu sopnya, yah!” Dania mengalihkan pembicaraan.Dia segera meraih mangkuk untuknya dan mulai menyantapnya di bawah
“Anda menolak tamu ini?” tanya petugas melalui telepon khusus.“Iya, Pak! Iya! Tolak aja! Bilang, aku udah tidur!” Dania mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada tegas agar lebih meyakinkan petugas di bawah sana.Setelah mengakhiri pembicaraan singkat dengan petugas, Dania kembali ke ruang tengah dan duduk gelisah di sofa mahalnya.Tanpa sadar, giginya sibuk menggigiti tepian kukunya beserta kulit di bagian pinggir. Tingkah ketika dia sedang gelisah maupun panik.“Duh, gimana, sih! Aku malah nolak dia? Padahal aku… aku harus tanya ke dia soal… soal… arrkhhh! Nggak mungkin aku tanya: Riv, apa benar kamu yang udah ambil perawan aku? Aish! Gila aja tanya gitu ke dia!”Dania yang awalnya sangat menginginkan kedatangan Rivan, kini justru gelisah dan takut bertemu pria itu. Lebih tepatnya, dia malu. Sangat malu.Entah seperti apa dia ketika malam itu melakukannya dengan Rivan. Argh! Dia tak mau membayangkannya! Pasti bukan sebuah hal yang menyenangkan untuk diingat-ingat, bukan?Duduk gel
“Mmhh~ Riiivv~” Dania masih saja mengerang manja sambil menampilkan wajah penuh minatnya terhadap Rivan.Dikarenakan Dania terus saja memancing, maka Rivan tak bisa mengelak dari hasratnya sendiri.Dia terpikat pada Dania sejak lama dan dia yakin Dania kini bisa membalas perasaanya yang sudah berkembang menjadi sayang dan cinta.“Annhh~” Dania melenguh pelan ketika Rivan mulai menciumi tubuhnya.Sesekali dia akan bergidik karena geli dan mendapatkan sensasi asing yang baru kali ini dirasakan.Napas Dania tersengal, dia terengah-engah ketika sentuhan-sentuhan Rivan membawa eforia tersendiri bagi tubuhnya yang amatir.“A-aarkhh!” Dania tanpa segan menyerukan suara lepasnya ketika dirinya mendapatkan pengalaman yang pertama kalinya di dalam hidup.Hingga akhirnya tangannya terus digenggam erat Rivan sambil dia menyerahkan seluruh dirinya pada pria itu, meski di bawah pengaruh obat.***“Umrh~” Dania terbangun dan mendapati dirinya sudah ada di tempat tidur huniannya. Sendirian.Ketika di
“Ummhh?” Dania mengerang pelan sambil memberikan nada tanya saat Sebastian menciumnya. “Riv….”Mendadak saja, nama itu keluar dari mulut Dania, dialunkan dengan lembut, seakan menyiratkan perasaan orang yang menyebutkannya.Seketika, Sebastian menghentikan tingkah gilanya dan menyudahi ciumannya untuk menatap wajah Dania.“Nona, apakah hanya dia saja yang ada di pikiranmu?” bisik Sebastian sambil menatap wajah merah padam Dania.Ketika lift terbuka, Sebastian segera sadar dan menyingkirkan segala pikiran busuknya pada Dania. Dia bisa saja membuat Melody menyingkir dan Dania akan berhasil dia kuasai untuk dirinya sendiri.Tapi….Sebastian menggendong Dania, memastikan dia aman hingga Melody tiba dengan mobil. “Ayo!” Sebastian sudah membantu Dania masuk ke mobil dan dia berada di belakang untuk menjaga.Sekaligus memeluk Dania untuk keegoisannya sendiri, sedangkan Melody fokus mengemudi.“Kita langsung ke penthouse Nona saja dan kita bisa jaga Nona di sana.” Sebastian mengomando.Melod