"Kak, masuknya lewat pintu belakang aja!" ujar Imah setengah berbisik.
Tiba-tiba saja Imah adik iparku yang masih remaja itu menghadangku untuk masuk ke dalam rumah. Aku yang baru saja pulang dari pasar tercengang melihat di dalam rumah banyak tamu. Tiga mobil mewah terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah ibu mertua. Tidak biasanya ibu kedatangan tamu dengan mobil-mobil bagus seperti itu. Pasti tamu-tamu itu bukanlah orang sembarangan. Siapa gerangan para tamu itu? Kenapa Imah melarangku masuk melewati pintu depan?Sejak kami menikah, Mas Alif mengajakku tinggal di rumah ibunya. Karena dia sendiri belum sanggup untuk membeli rumah. Jadi aku harus tau diri selama tinggal di sini. Karena masih menumpang pada mertua, aku tak boleh berpangku tangan. Apapun pekerjaan yang ada di rumah ini, aku kerjakan.Aku terpaksa menuruti ucapan Imah untuk masuk lewat pintu belakang. Dua kantong belanja yang cukup berat aku letakkan di atas meja dapur yang terbuat dari kayu. Memang dua hari sekali Ibu menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan dapur .Peluh mengalir di wajahku, karena kelelahan berjalan kaki pergi dan pulang dari pasar yang cukup jauh. Baru saja ingin menjatuhkan tubuhku di sebuah kursi kayu , tiba-tiba saja Ibu mertua berteriak dari ruang tengah."Shinta ..., Kamu lama banget, sih. Buruan bikin minum yang banyak!' perintah Ibu mertua yang sedang asik dengan gawainya di depan televisi."Memang tamunya belum dibuatkan minum?" tanyaku heran seraya menghampiri ke ruang tengah.Kenapa harus menungguku pulang? Bukankah di rumah ada Imah dan Kak May? Namun pertanyaan itu hanya bisa aku ungkapkan dalam hati."Ya belumlah. Itukan tamu suami kamu. Mereka itu teman-teman Alif waktu SMA dulu. Masak aku yang bikinin. Males deh," sahut Kak May-kakak iparku yang sampai saat ini belum menikah, seraya berlalu masuk ke kamarnya.Astaga! Apa salahnya jika dia membantu membuatkan minum? Bukankah Mas Alif juga adik kandungnya?Tanpa menunggu lama, aku segera kembali ke dapur dan membuat beberapa gelas teh manis hangat dan dua toples cemilan. Setelah selesai, dengan hati-hati aku membawanya ke ruang tamu. Mungkin saja Mas Alif ingin memperkenalkan aku dengan tamu-tamunya, yang katanya adalah teman-temannya semasa sekolah dulu.Mereka sedang tertawa terbahak-bahak ketika aku masuk ke ruang tamu yang sudah ramai. Ruang tamu ibu memang luas dengan sebuah meja panjang di tengahnya. Teman Mas Alif yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu tampak asik berbincang tentang masa-masa SMA mereka dulu. Tawa dan canda riuh terdengar di setiap sudut ruangan ini.Perlahan aku meletakkan satu persatu gelas di atas meja. Mereka seperti tidak menghiraukanku. Mas Alif juga tidak menyapaku. Apalagi memperkenalkanku. Suamiku itu tetap asik bersenda gurau dengan teman-teman wanitanya, seakan aku tidak ada di dekatnya.Kenapa Mas Alif tak mempedulikan kehadiranku? Apa Mas Alif malu memperkenalkan aku pada teman-temannya. Seketika aku tersadar. Aku memang tidak cantik seperti mereka. Ya, Mas Alif pasti malu punya istri dengan penampilan lusuh sepertiku."Mbak, ada air es nggak?" sontak aku terkejut, seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang bertanya sedikit ketus padaku."A-ada. Sebentar saya ambilkan," sahutku."Buruan ! Haus nih!" lanjut wanita itu dengan nada sedikit membentak. Alis matanya naik dengan tatapan tajam ke arahku.Astaghfirullahaladzim ... !Aku melirik pada Mas Alif. Ia memberi kode dengan dagunya agar aku segera melakukan perintah perempuan itu.Kenapa Mas Alif diam saja? Apa mereka pikir aku ini pembantu disini? Apa karena pakaianku seperti ini mereka pikir aku ....Segera aku melangkah ke dalam mengambil dua gelas kosong dan dua botol air es dari lemari pendingin, lalu kembali membawanya ke meja tamu."Lama banget sih. Ambil air esnya di Bogor, ya?" ketus wanita tadi disertai tawa beberapa teman-temannya. Mereka memandangku dengan tatapan meremehkan.Aku kembali melirik pada Mas Alif. Dia tetap tidak mempedulikanku. Malah asik berbincang akrab dengan para wanita-wanita ini.Air mataku membendung di pelupuk mata. Teganya Mas Alif bersikap seperti ini padaku."Makanya Lif, nikah aja sama si Mela. Kalian dari dulu kan cocok.""Cieee, cinta lama belum kelar nih ceritanya.""Pepet terus Lif, jangan kasih kendor."Riuh tawa memenuhi ruangan. Wanita yang aku duga bernama Mela itu tampak salah tingkah dan malu-malu. Wajah cantiknya merah merona. Tampak olehku dia mencuri-curi pandang pada Mas Alif, suamiku.Mas Alif pun nampak senyum-senyum. Terlihat rasa bangga dari wajahnya. Tanpa menghiraukan perasaanku, dia juga curi-curi pandang dengan si Mela itu.Sekuat tenaga aku menahan agar air mata ini tak tumpah. Sesak di dada ini semakin terasa dihimpit batu besar. Hingga rasanya sangat sulit untuk bernapas.Ya Tuhan. Kenapa Mas Alif enggan memperkenalkan aku pada teman-temannya? Apa karena penampilanku? Aku memandang daster panjang lusuh yang kupakai sejak subuh. Daster bekas pemberian ibu mertua, serta hijab instan berukuran sedada yang warnanya sudah memudar. Hatiku mencelos melihat penampilanku sendiri. Pantas saja Mas Alif enggan memperkenalkan aku sebagai istrinya. Sedangkan penampilan teman-temannya saat ini jauh lebih cantik dan menarik.Bagaimana aku bisa tampil rapi? Sejak subuh Aku melakukan semua pekerjaan rumah ini tanpa henti. Sedangkan kakak dan adik Mas Alif tidak ada yang peduli. Hampir setiap hari seperti ini. Mereka mengandalkan semua pekerjaan rumah dakuAir mataku mulai mengembun. Tubuhku mulai bergetar menahan tangis. Hati ini perih seakan teriris benda tajam. Tega sekali kamu, Mas.Sepertinya aku harus segera kembali ke dalam sebelum ibu mertua berteriak menyuruhku masak.Aku yang sejak tadi bersimpuh di depan meja, perlahan mencoba untuk berdiri. Kakiku terasa lemas. Aku mencoba berpegangan pada meja.Prang ...!!Aku tersentak mendengar suara sesuatu yang pecah didekat kakiku."Dasar pembantu nggak becus! Lihat bajuku jadi basah begini!" pekik wanita di depanku. Wajahnya merah padam dengan mata melotot menatapku.Ya Tuhan, aku tak sengaja menyenggol sebuah gelas dan membasahi baju wanita bernama Mela itu.Hatiku makin terluka ketika dengan cekatan Mas Alif meraih tissue dan berusaha mengeringkan pakaian wanita itu.Aku tak tahan lagi. Berusaha kembali untuk berdiri dan kemudian berlari menuju ke dalam."Aaaww!" Tak sengaja aku menabrak seseorang dengan tubuh yang jauh lebih besar dariku."Maira?" Sontak aku terlonjak ketika seseorang memanggilku dengan nama 'Maira'. Nama yang tak asing di telingaku.Astaga! siapa laki-laki ini? Kenapa ia tahu nama kecilku?"Maira?" Sontak aku terlonjak ketika seseorang memanggil nama 'Maira'. Nama yang tak asing bagiku. Astaga! siapa laki-laki ini? Kenapa ia tahu nama kecilku? "Shinta! Apa yang pecah?" Tiba-tiba ibu datang menghampiriku. Wajah mertuaku itu merah padam. Tatapannya nyalang padaku. Beliau pasti sangat marah. "G-gelas, Bu," sahutku bergetar. Aku masih shock dengan kejadian di ruang tamu tadi. Tubuhku masih gemetar. Bulir bening pun telah luruh di kedua pipiku. Berkali-kali aku mencoba menghapusnya dengan punggung tanganku. Sementara laki-laki yang menabrakku tadi masih terus menatapku. Entah kenapa aku merasa tak asing dengan tatapan teduh itu. Sungguh hati ini terasa damai melihat tatapan pria itu. "Hai, Kak Raka. Mau ke toilet? Yuk, aku antar!" Tiba-tiba imah datang menghampiri laki-laki yang ternyata bernama Raka itu. Imah sepertinya memang berusaha untuk mencari perhatian Raka. "Oh, ya. Makasih, Dek Imah," sahutnya ramah. Bibirnya melengkung menciptakan sebuah senyuman. Imah nampa
Pov Alif Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini. Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka. Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar. Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti
Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela. Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam." Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. "Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami. Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas
Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu. Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu. "Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka. "Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam. Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas seka
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai
"A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah? Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah. Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini? "Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku. "Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela? Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya.. Sementara aku masih berdiri mematung kar
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif. Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri. Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua. Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada. Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungka
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar