Share

Istri Dekilku Anak Sultan
Istri Dekilku Anak Sultan
Penulis: Rina Novita

Bab 1. Dikira Pembantu

"Kak, masuknya lewat pintu belakang aja!" ujar Imah setengah berbisik.

Tiba-tiba saja Imah adik iparku yang masih remaja itu menghadangku untuk masuk ke dalam rumah. Aku yang baru saja pulang dari pasar tercengang melihat di dalam rumah banyak tamu. Tiga mobil mewah terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah ibu mertua. Tidak biasanya ibu kedatangan tamu dengan mobil-mobil bagus seperti itu. Pasti tamu-tamu itu bukanlah orang sembarangan. Siapa gerangan para tamu itu? Kenapa Imah melarangku masuk melewati pintu depan?

Sejak kami menikah, Mas Alif mengajakku tinggal di rumah ibunya. Karena dia sendiri belum sanggup untuk membeli rumah. Jadi aku harus tau diri selama tinggal di sini. Karena masih menumpang pada mertua, aku tak boleh berpangku tangan. Apapun pekerjaan yang ada di rumah ini, aku kerjakan.

Aku terpaksa menuruti ucapan Imah untuk masuk lewat pintu belakang. Dua kantong belanja yang cukup berat aku letakkan di atas meja dapur yang terbuat dari kayu. Memang dua hari sekali Ibu menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan dapur .

Peluh mengalir di wajahku, karena kelelahan berjalan kaki pergi dan pulang dari pasar yang cukup jauh. Baru saja ingin menjatuhkan tubuhku di sebuah kursi kayu , tiba-tiba saja Ibu mertua berteriak dari ruang tengah.

"Shinta ..., Kamu lama banget, sih. Buruan bikin minum yang banyak!' perintah Ibu mertua yang sedang asik dengan gawainya di depan televisi.

"Memang tamunya belum dibuatkan minum?" tanyaku heran seraya menghampiri ke ruang tengah.

Kenapa harus menungguku pulang? Bukankah di rumah ada Imah dan Kak May? Namun pertanyaan itu hanya bisa aku ungkapkan dalam hati.

"Ya belumlah. Itukan tamu suami kamu. Mereka itu teman-teman Alif waktu SMA dulu.  Masak aku yang bikinin. Males deh," sahut Kak May-kakak iparku yang sampai saat ini belum menikah, seraya berlalu masuk ke kamarnya.

Astaga! Apa salahnya jika dia membantu membuatkan minum? Bukankah  Mas Alif juga adik kandungnya?

Tanpa menunggu lama, aku segera kembali ke dapur dan membuat beberapa gelas teh manis hangat dan dua toples cemilan. Setelah selesai, dengan hati-hati aku membawanya ke ruang tamu. Mungkin saja Mas Alif ingin memperkenalkan aku  dengan tamu-tamunya, yang katanya adalah teman-temannya semasa sekolah dulu.

Mereka sedang tertawa terbahak-bahak ketika aku masuk ke ruang tamu yang sudah ramai. Ruang tamu ibu memang luas dengan sebuah meja panjang di tengahnya.  Teman Mas Alif yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu tampak asik berbincang tentang masa-masa SMA mereka dulu. Tawa dan canda riuh terdengar di setiap sudut ruangan ini.

Perlahan aku meletakkan satu persatu gelas di atas meja. Mereka seperti tidak menghiraukanku. Mas Alif juga tidak menyapaku. Apalagi memperkenalkanku. Suamiku itu tetap asik bersenda gurau dengan teman-teman wanitanya, seakan aku tidak ada di dekatnya.

Kenapa Mas Alif tak mempedulikan kehadiranku? Apa Mas Alif malu memperkenalkan aku pada teman-temannya. Seketika aku tersadar. Aku memang tidak cantik seperti mereka. Ya, Mas Alif pasti malu punya istri dengan penampilan lusuh sepertiku.

"Mbak, ada air es nggak?" sontak aku terkejut, seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang bertanya sedikit ketus padaku.

"A-ada. Sebentar saya ambilkan," sahutku.

"Buruan ! Haus nih!" lanjut wanita itu dengan nada sedikit membentak. Alis matanya naik dengan tatapan tajam ke arahku.

Astaghfirullahaladzim ... !

Aku melirik pada Mas Alif. Ia memberi kode dengan dagunya agar aku segera melakukan perintah perempuan itu.

Kenapa Mas Alif diam saja?  Apa mereka pikir aku ini pembantu disini? Apa karena pakaianku seperti ini mereka pikir aku ....

Segera aku melangkah ke dalam mengambil dua gelas kosong dan dua botol air es dari lemari pendingin, lalu kembali membawanya ke meja tamu.

"Lama banget sih. Ambil air esnya di Bogor, ya?" ketus wanita tadi disertai tawa beberapa teman-temannya. Mereka memandangku dengan tatapan meremehkan.

Aku kembali melirik pada Mas Alif. Dia tetap tidak mempedulikanku. Malah asik berbincang akrab dengan para wanita-wanita ini.

Air mataku membendung di pelupuk mata. Teganya Mas Alif bersikap seperti ini padaku.

"Makanya Lif, nikah aja sama si Mela. Kalian dari dulu kan cocok."

"Cieee, cinta lama belum kelar nih ceritanya."

"Pepet terus Lif, jangan kasih kendor."

Riuh tawa memenuhi ruangan. Wanita yang aku duga bernama Mela itu tampak salah tingkah dan malu-malu. Wajah cantiknya merah merona. Tampak olehku dia mencuri-curi pandang pada Mas Alif, suamiku.

Mas Alif pun nampak senyum-senyum. Terlihat rasa bangga dari wajahnya. Tanpa menghiraukan perasaanku, dia juga curi-curi pandang dengan si Mela itu.

Sekuat tenaga aku menahan agar air mata ini tak tumpah. Sesak di dada ini semakin terasa dihimpit batu besar. Hingga rasanya sangat sulit untuk bernapas.

Ya Tuhan. Kenapa Mas Alif enggan memperkenalkan aku pada teman-temannya? Apa karena penampilanku? Aku memandang daster panjang lusuh yang kupakai sejak subuh. Daster bekas pemberian ibu mertua, serta hijab instan berukuran sedada yang warnanya sudah memudar. Hatiku mencelos melihat penampilanku sendiri. Pantas saja Mas Alif enggan memperkenalkan aku sebagai istrinya. Sedangkan penampilan teman-temannya saat ini jauh lebih cantik dan menarik.

Bagaimana aku bisa tampil rapi? Sejak subuh Aku melakukan semua pekerjaan rumah ini tanpa henti. Sedangkan kakak dan adik Mas Alif tidak ada yang peduli. Hampir setiap hari seperti ini. Mereka mengandalkan semua pekerjaan rumah daku

Air mataku mulai mengembun. Tubuhku mulai bergetar menahan tangis. Hati ini perih seakan teriris benda tajam. Tega sekali kamu, Mas.

Sepertinya aku harus segera kembali ke dalam sebelum ibu mertua berteriak menyuruhku masak.

Aku yang sejak tadi bersimpuh di depan meja, perlahan mencoba  untuk berdiri. Kakiku terasa lemas. Aku mencoba berpegangan pada meja.

Prang ...!!

Aku tersentak mendengar suara sesuatu yang pecah didekat kakiku.

"Dasar pembantu nggak becus! Lihat bajuku jadi basah begini!" pekik wanita di depanku. Wajahnya merah padam  dengan mata melotot menatapku.

Ya Tuhan, aku tak sengaja menyenggol sebuah gelas dan membasahi baju wanita bernama Mela itu.

Hatiku makin terluka ketika dengan cekatan Mas Alif meraih tissue dan berusaha mengeringkan pakaian wanita itu.

Aku tak tahan lagi. Berusaha kembali untuk berdiri dan kemudian berlari menuju ke dalam.

"Aaaww!" Tak sengaja aku menabrak seseorang dengan tubuh yang jauh lebih besar dariku.

"Maira?" Sontak aku terlonjak ketika seseorang memanggilku dengan nama 'Maira'. Nama yang tak asing di telingaku.

Astaga! siapa laki-laki ini? Kenapa ia tahu nama kecilku?

Komen (46)
goodnovel comment avatar
Siti Khotipah
jgn sampe ditengah"ceritanya membosankan ya
goodnovel comment avatar
Mawar Nuya
sangat bagus ceritanya thor
goodnovel comment avatar
Ayu Desi
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status