"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif.
Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu.Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri.Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua.Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada.Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungkan.Semua sudah berkumpul. Calon istri Mas Alif itu ternyata juga sudah hadir. Memang perempuan itu terlihat cantik dan seksi dengan lekuk tubuhnya yang menonjol. Mungkin karena kebaya putih yang di kenakannya agak sempit. Tentu saja, Si Mela itu pasti belum mempersiapkan kebaya baru. Karena pernikahan ini sangat menedadak.Mas Alif nampak sumringah, Mela pun terlihat selalu mengembangkan senyum. Mereka sama sekali tidak terlihat sebagai korban penggerebekan. Justru tampak sangat bahagia menghadapi pernikahan dadakan ini.Salah satu tamu yang tadi datang ternyata seorang penghulu. Pria paruh baya memakai peci hitam itu membuka pembicaraan untuk memulai berlangsungnya ijab kabul."Maaf Pak Penghulu, saudara Alif ini sebenarnya sudah punya istri. Apa tidak sebaiknya meminta izin dulu pada istrinya ini ?" Tiba-tiba Pak RT menyanggah pembicaraan Pak penghulu seraya menunjukku.Sontak semua yang berada di ruangan itu menoleh padaku. Terlihat jelas raut kesal pada wajah ibu dan Mas Alif."A-apa? Istri?" Mela langsung berdiri dan menatap tajam padaku.Sepasang suami istri yang ternyata kedua orang tua Mela itu juga berdiri."Bukankah dia itu pembantumu, Lif?" tanya Mela tak terima seraya menunjukku.Mas Alif menarik napas panjang."Maafkan Aku, Mela. Memang benar dia Istriku," lirih suamiku itu sambil tertunduk di depan Mela."Pokoknya kamu harus tetap menikahi anak kami, Lif. Kamu harus bertanggung jawab!" Bapak Mela ikut berbicara dengan suara bergetar. Sementara disampingnya sang ibu telah berlinang air mata. Tak tega melihat kedua orang tua itu. Mereka pasti sangat kecewa dengan perbuatan Mas Alif dan anaknya itu."Bagaimana Mbak Shinta? Apakah pernikahan ini bisa di laksanakan? " tanya Pak RT kemudian.Mas Alif dan Ibu terus melotot padaku. Sedangkan perempuana itu masih terlihat kesal dengan wajah cemberut. Berbeda dengan kedua orang tua Mela yang masih terisak, memandangku dengan tatapan memohon.Sepertinya aku sudah tak sudi menjadi istri Mas Alif lagi. Aku harus mencari pekerjaan dan segera pergi dari sini. Sudah saatnya aku mengakhiri semua penderitaan ini."Bagaimana Nak Shinta? Kami mohon Nak Shinta mau merestui pernikahan anak kami!" Dengan tergugu, Ibu Mela memohon padaku.Aku masih terdiam. Kemudian menarik napas panjang. Semoga keputusanku ini adalah benar."Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang.Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi."Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak
Pov Alif "Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu. Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud? "Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak. "Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat. Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini? "Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu. "Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku. "Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam. "Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu. Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai ka
Pov Alif"Mas Alif, bantuin doong! Capek, nih." keluh Imah ketika aku ke dapur. Adikku itu sedang mencuci banyak piring dan gelas bekas tamu-tamu tadi. "Mana istri barumu itu, Lif? suruh dong dia bantu-bantu. Jangan cuma duduk-duduk saja kayak ratu!" ketus Kak May yang baru saja selesai menyapu dan membersihkan dapur. Kak May adalah kakakku satu-satunya yang sampai saat ini belum menikah. Karena sifat judesnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatinya. "Mungkin Mela masih lelah Kak," sahutku berusaha lembut. "Halaah, alasan saja! Lelah ngapain? orang kerjanya cuma duduk-duduk saja sejak pagi tadi," protes Kakakku itu. "Alif .., tolong ambilkan gelas,dong! Tiba-tiba terdengar teriakan Mela dari ruang tengah. "Huh, dasar perempuan manja! Ambil gelas ke dapur aja males. Malah nyuruh-nyuruh suami," gerutu Kak May. Segera meraih gelas di rak piring dan kemudian melangkah menghampiri istri baruku itu. "Mel ..., kamu di sini tolong bantu-bantu kak May dan Ibu, ya ...!" pintaku pada
MasyaAllah ..., ternyata seperti ini rasanya naik mobil mewah. Hampir tidak terasa getarannya. Sejuk dan sangat nyaman. Apalagi saat ini aku duduk di belakang seperti majikan dan supirnya. Bapak supir yang memperkenalkan diri dengan nama Pak Pardi itu yang memintaku untuk duduk di kursi belakang. "Maaf, Pak. Saya akan bertemu Mas Raka di mana?" Aku mencoba membuka percakapan. "Tuan Raka tadi menelpon saya, agar Bu Shinta di antar ke rumahnya saja. Karena tiba-tiba Tuan Raka ada meeting mendadak sampai malam." "A-apaa? Ke rumahnya?" sahutku terkejut. Pak Pardi mengangguk. Sebenarnya ini suatu kebetulan . Karena sampai saat ini aku belum memilki tujuan setelah keluar dari rumah Mas Alif. Apalagi tempat tinggal. Aku mana punya uang untuk mengontrak. Kalau dipikir-pikir aku ini nekad sekali. Apa mungkin pekerjaan yang akan Mas Raka berikan padaku adalah menjadi ART? Makanya aku diminta untuk ke rumahnya. Biarlah. Untuk sementara menjadi ART tidak mengapa. Mungkin aku bisa sam
Sebuah tempat tidur berukuran kingsize berada di tengah sisi kanan kamar. Televisi layar datarpun melengkapi isi kamar ini. AC yang dingin membuatku merasa asing dan tak biasa. Aku merasa kamar ini tak pantas untukku. Apa Bu Nuri tidak salah menunjukkan kamar? Segala fasilitas yang berada dalam kamar ini tidak mungkin untuk seorang ART. Aku penasaran dengan lemari besar di sudut kamar. Memberanikan diri untuk membukanya. MasyaAllah ... banyak sekali gaun mewah dengan model kekinian tergantung. Sedangkan lemari sebelah kanan berisii berbagai pakaian dengan bermacam model gamis, piyama dan gaun tidur. Milik siapa semua pakaian ini? Kenapa Bu Nuri tadi mempersilakan aku untuk memakainya? Sungguh membingungkan. Sebaiknya aku mandi. Setelah itu aku akan menanyakannya pada wanita itu. Aku berdiri cukup lama di dalam kamar mandi yang luas ini. Peralatan mandi yang yang sangat lengkap cukup membuatku bingung. Setelah membersihkan diri, salat ashar dan maghrib. Aku mencoba menemui Bu Nu
Sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini di cermin. Nyaris aku tidak mengenali diriku sendirii. Memang benar, cantik itu perlu modal. Lihat saja, entah apa saja yang di gunakan Bu Nuri ke wajahku. Mulai dari pembersih wajah, skin care sampai kosmetik. Semua produk yang kugunakan ini adalah dari merk ternama. Walaupun hasilnya bernuansa natural, Namun sukses membuat wajahku berubah jadi sangat cantik. Phasmina instan dengan warna senada menambah sempurna penampilanku malam ini. "Cantik ..., Nona sangat cantik," gumam Bu Nuri ketika sama-sama memandangi cermin besar di hadapan kami. "Tentunya karena penata riasnya yang hebat." sahutku seraya tersenyum puas. "Sempurna. Tuan Raka pasti akan terkagum-kagum pada Nona." Wanita itu nampak tersenyum puas. "Sebenarnya Aku ini akan ke mana? Kenapa harus berpenampilan seperti ini, Bu?" "Menemani Tuan makan malam." "Makan malam di mana?"tanyaku polos. Bu Nuri tersenyum memandangku. Mungkin sejak tadi ia terheran melihat kepol
"Tenanglah! Kita makan dulu. Aku sudah sangat lapar." sahutnya seraya melangkah menuju salah satu kursi di meja makan itu. Terpaksa aku mengikuti langkahnya. Raka menarik salah satu kursi untukku dan mempersilakan aku duduk. Kemudian laki-laki itu mengambil posisi untuk duduk tepat di hadapanku. "Ayo makan dulu! Kamu pasti sudah sangat lapar, bukan? Jangan sungkan, hanya kita berdua di ruangan ini." ujarnya seraya mengisi piringnya dengan beberapa menu makanan. Hanya berdua? Aku menoleh ke kanan dan kiri. Memang benar, tidak ada siapapun selain kami berdua di ruangan ini. Tiba-tiba aku bergidik, karena berdua saja dengan orang yang baru saja aku kenal. Tanpa malu aku pun mengisi piringku dengan banyak makanan. Sejujurnya sejak pagi tadi aku memang belum makan. Rasa lapar hilang begitu saja karena kejadian siang tadi. Lenyap terbawa oleh emosi. Kami makan tanpa berbincang apapun. Namun Raka sesekali mengambilkan beberapa hidangan untukku. Yang membuatku takjub, pria terhormat i
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b