"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang.
Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi.Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung."Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu."Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku."Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu."Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku.Astaga ...! Ingin rasanya aku tarik konde yang ada di kepalanya itu."Sudah ... sudah, jangan ribut ! Sebaiknya mari kita dengarkan permintaan dari Mbak Shinta ini. Silakan Mbak Shinta." Pak RT mencoba menenangkan situasi.Aku menarik napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Berusaha menenangkan hati yang sudah mulai panas bergejolak."Mas Alif, sebelum kamu menikahi perempuan ini ..., Aku minta ... ceraikan aku terlebih dahulu!" tegasku."Talak Aku sekarang juga, Mas!" lanjutku lagi seraya menatap tajam pada suamiku itu.Sontak Ibu mertua dan para iparku tercengang mendengar perkataanku. Sepertinya mereka tak menyangka aku melakukan hal ini. Aku yang sehari-harinya sangat penurut dan tidak pernah membantah. Tiba-tiba memberanikan diri berkata lantang di depan umum."Alif ..., buruan talak perempuan ini!!" Mas Alif yang juga tercengang menatapku, tiba-tiba tersentak oleh sentakan Mela yang berada di sebelahnya.Ibu menggeleng lemah seraya menatap Mas Alif. Apa maksudnya?Laki-laki itu juga sepertinya ragu dengan permintaanku. Bukankah selama ini mereka selalu membenciku?"Shinta ... maaf, Aku tidak bisa ...," lirihnya."Apaa? Kenapa tidak bisa, Mas? Bukankah aku ini istri yang memalukan? Hingga kamu tak sudi memperkenalkanku pada teman-temanmu," pekikku kesal."Sudahlah, Shinta. Biarkan Alif menikahi Mela. Toh dia tetap akan bertanggung jawab menafkahi kamu nanti." pinta Ibu lembut mencoba mempengaruhiku."Lagian kalau kamu dicerai, mau tinggal di mana? Mau makan apa kamu? Apa nggak malu kalau balik lagi ke panti asuhan itu?" Tandas Kak May dengan nada ketus."Itu urusanku. Kak May tidak perlu memikirkan hal itu!" sanggahku."Ayo Pak penghulu, silakan laksanakan ijab kabulnya!" pinta Ibu."Tidak bisa! Mas Alif harus menceraikan aku dulu!" pungkasku."Jangan keras kepala kamu, Shinta!" bentak Kak May. Wajahnya sudah terlihat sangat emosi"Maaf Bapak dan Ibu, sebaiknya ada kesepakatan dulu sebelum pernikahan ini di laksanakan," ujar Pak RT."Lekaslah, Lif ... Segera talak perempuan kampungan ini!" Mela mulai gusar melihat Mas Alif yang ragu-ragu."Hm ... Baiklah!" gumam Mas Alif."Alif ....!" bentak ibu seraya melotot pada anak laki-lakinya itu."Maaf, Bu. Saya harus menceraikan Shinta," Ujar Mas Alif.Kenapa Ibu terlihat panik? Bukankah selama ini Ibu tidak menyukaiku? Seharusnya beliau mendukung aku bercerai dengan Mas Alif. Tapi ... , Ada apa sebenarnya?"Alif ...Jangan ...!! teriak, Ibu melihat suamiku mulai membuka mulut."Maaf kan aku, Bu.""Cepat, Lif! Talak dia!" Bentak Mela dengan gusar."Baiklah ..., Shinta Humaira ..., saat ini juga aku talak kamu. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi." Dengan suara bergetar akhirnya Mas Alif mengeluarkan kata-kata itu."Alif ... Apa-apaan kamu! Habislah kita ...!" pekik ibu histeris.Semua menoleh padanya. Mela menatap tak suka pada Ibu.Sikap ibu sungguh aneh. Ada apa sebenarnya? Kenapa ibu berteriak seperti itu?"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak
Pov Alif "Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu. Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud? "Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak. "Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat. Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini? "Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu. "Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku. "Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam. "Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu. Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai ka
Pov Alif"Mas Alif, bantuin doong! Capek, nih." keluh Imah ketika aku ke dapur. Adikku itu sedang mencuci banyak piring dan gelas bekas tamu-tamu tadi. "Mana istri barumu itu, Lif? suruh dong dia bantu-bantu. Jangan cuma duduk-duduk saja kayak ratu!" ketus Kak May yang baru saja selesai menyapu dan membersihkan dapur. Kak May adalah kakakku satu-satunya yang sampai saat ini belum menikah. Karena sifat judesnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatinya. "Mungkin Mela masih lelah Kak," sahutku berusaha lembut. "Halaah, alasan saja! Lelah ngapain? orang kerjanya cuma duduk-duduk saja sejak pagi tadi," protes Kakakku itu. "Alif .., tolong ambilkan gelas,dong! Tiba-tiba terdengar teriakan Mela dari ruang tengah. "Huh, dasar perempuan manja! Ambil gelas ke dapur aja males. Malah nyuruh-nyuruh suami," gerutu Kak May. Segera meraih gelas di rak piring dan kemudian melangkah menghampiri istri baruku itu. "Mel ..., kamu di sini tolong bantu-bantu kak May dan Ibu, ya ...!" pintaku pada
MasyaAllah ..., ternyata seperti ini rasanya naik mobil mewah. Hampir tidak terasa getarannya. Sejuk dan sangat nyaman. Apalagi saat ini aku duduk di belakang seperti majikan dan supirnya. Bapak supir yang memperkenalkan diri dengan nama Pak Pardi itu yang memintaku untuk duduk di kursi belakang. "Maaf, Pak. Saya akan bertemu Mas Raka di mana?" Aku mencoba membuka percakapan. "Tuan Raka tadi menelpon saya, agar Bu Shinta di antar ke rumahnya saja. Karena tiba-tiba Tuan Raka ada meeting mendadak sampai malam." "A-apaa? Ke rumahnya?" sahutku terkejut. Pak Pardi mengangguk. Sebenarnya ini suatu kebetulan . Karena sampai saat ini aku belum memilki tujuan setelah keluar dari rumah Mas Alif. Apalagi tempat tinggal. Aku mana punya uang untuk mengontrak. Kalau dipikir-pikir aku ini nekad sekali. Apa mungkin pekerjaan yang akan Mas Raka berikan padaku adalah menjadi ART? Makanya aku diminta untuk ke rumahnya. Biarlah. Untuk sementara menjadi ART tidak mengapa. Mungkin aku bisa sam
Sebuah tempat tidur berukuran kingsize berada di tengah sisi kanan kamar. Televisi layar datarpun melengkapi isi kamar ini. AC yang dingin membuatku merasa asing dan tak biasa. Aku merasa kamar ini tak pantas untukku. Apa Bu Nuri tidak salah menunjukkan kamar? Segala fasilitas yang berada dalam kamar ini tidak mungkin untuk seorang ART. Aku penasaran dengan lemari besar di sudut kamar. Memberanikan diri untuk membukanya. MasyaAllah ... banyak sekali gaun mewah dengan model kekinian tergantung. Sedangkan lemari sebelah kanan berisii berbagai pakaian dengan bermacam model gamis, piyama dan gaun tidur. Milik siapa semua pakaian ini? Kenapa Bu Nuri tadi mempersilakan aku untuk memakainya? Sungguh membingungkan. Sebaiknya aku mandi. Setelah itu aku akan menanyakannya pada wanita itu. Aku berdiri cukup lama di dalam kamar mandi yang luas ini. Peralatan mandi yang yang sangat lengkap cukup membuatku bingung. Setelah membersihkan diri, salat ashar dan maghrib. Aku mencoba menemui Bu Nu
Sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini di cermin. Nyaris aku tidak mengenali diriku sendirii. Memang benar, cantik itu perlu modal. Lihat saja, entah apa saja yang di gunakan Bu Nuri ke wajahku. Mulai dari pembersih wajah, skin care sampai kosmetik. Semua produk yang kugunakan ini adalah dari merk ternama. Walaupun hasilnya bernuansa natural, Namun sukses membuat wajahku berubah jadi sangat cantik. Phasmina instan dengan warna senada menambah sempurna penampilanku malam ini. "Cantik ..., Nona sangat cantik," gumam Bu Nuri ketika sama-sama memandangi cermin besar di hadapan kami. "Tentunya karena penata riasnya yang hebat." sahutku seraya tersenyum puas. "Sempurna. Tuan Raka pasti akan terkagum-kagum pada Nona." Wanita itu nampak tersenyum puas. "Sebenarnya Aku ini akan ke mana? Kenapa harus berpenampilan seperti ini, Bu?" "Menemani Tuan makan malam." "Makan malam di mana?"tanyaku polos. Bu Nuri tersenyum memandangku. Mungkin sejak tadi ia terheran melihat kepol
"Tenanglah! Kita makan dulu. Aku sudah sangat lapar." sahutnya seraya melangkah menuju salah satu kursi di meja makan itu. Terpaksa aku mengikuti langkahnya. Raka menarik salah satu kursi untukku dan mempersilakan aku duduk. Kemudian laki-laki itu mengambil posisi untuk duduk tepat di hadapanku. "Ayo makan dulu! Kamu pasti sudah sangat lapar, bukan? Jangan sungkan, hanya kita berdua di ruangan ini." ujarnya seraya mengisi piringnya dengan beberapa menu makanan. Hanya berdua? Aku menoleh ke kanan dan kiri. Memang benar, tidak ada siapapun selain kami berdua di ruangan ini. Tiba-tiba aku bergidik, karena berdua saja dengan orang yang baru saja aku kenal. Tanpa malu aku pun mengisi piringku dengan banyak makanan. Sejujurnya sejak pagi tadi aku memang belum makan. Rasa lapar hilang begitu saja karena kejadian siang tadi. Lenyap terbawa oleh emosi. Kami makan tanpa berbincang apapun. Namun Raka sesekali mengambilkan beberapa hidangan untukku. Yang membuatku takjub, pria terhormat i
"Ada satu cara untuk mengakhiri semua ini. Aku akan menjamin keselamatanmu selama dua puluh empat jam," lanjutnya lagi. "Dengan cara apa?" tanyaku penasaran. "Menikahlah denganku!" "A-apaaa? Menikah?" Aku nyaris terlonjak mendengar penuturan Raka. "Santai aja! Nggak usah histeris gitu! Seperti dilamar artis saja," Raka kembali tergelak. "Huh, kepedean," cetusku seraya membuang muka dari tatapan wajah tampan itu. "Apa kamu tahu bahwa orang-orang yang ingin menghancurkanmu tidak sedikit? Mungkin saja mereka sebenarnya berada di sekitarmu selama ini." "Astahfirullahaladzim ... benarkah?" Lagi-lagi aku terkejut. "Apa sebenarnya tujuan mereka menghancurkanku?"tanyaku bingung. "Itu yang aku belum tahu sampai saat ini. Almarhum papaku belum sempat cerita. Kita harus tau siapa saja mereka. Untuk itu kita harus pancing agar mereka muncul dan menampakkan diri," jelas Raka. "Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. "Aku akan membuat mereka geram dengan cara menikahimu setelah masa idda