Sebuah tempat tidur berukuran kingsize berada di tengah sisi kanan kamar. Televisi layar datarpun melengkapi isi kamar ini. AC yang dingin membuatku merasa asing dan tak biasa. Aku merasa kamar ini tak pantas untukku. Apa Bu Nuri tidak salah menunjukkan kamar? Segala fasilitas yang berada dalam kamar ini tidak mungkin untuk seorang ART. Aku penasaran dengan lemari besar di sudut kamar. Memberanikan diri untuk membukanya. MasyaAllah ... banyak sekali gaun mewah dengan model kekinian tergantung. Sedangkan lemari sebelah kanan berisii berbagai pakaian dengan bermacam model gamis, piyama dan gaun tidur. Milik siapa semua pakaian ini? Kenapa Bu Nuri tadi mempersilakan aku untuk memakainya? Sungguh membingungkan. Sebaiknya aku mandi. Setelah itu aku akan menanyakannya pada wanita itu. Aku berdiri cukup lama di dalam kamar mandi yang luas ini. Peralatan mandi yang yang sangat lengkap cukup membuatku bingung. Setelah membersihkan diri, salat ashar dan maghrib. Aku mencoba menemui Bu Nu
Sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini di cermin. Nyaris aku tidak mengenali diriku sendirii. Memang benar, cantik itu perlu modal. Lihat saja, entah apa saja yang di gunakan Bu Nuri ke wajahku. Mulai dari pembersih wajah, skin care sampai kosmetik. Semua produk yang kugunakan ini adalah dari merk ternama. Walaupun hasilnya bernuansa natural, Namun sukses membuat wajahku berubah jadi sangat cantik. Phasmina instan dengan warna senada menambah sempurna penampilanku malam ini. "Cantik ..., Nona sangat cantik," gumam Bu Nuri ketika sama-sama memandangi cermin besar di hadapan kami. "Tentunya karena penata riasnya yang hebat." sahutku seraya tersenyum puas. "Sempurna. Tuan Raka pasti akan terkagum-kagum pada Nona." Wanita itu nampak tersenyum puas. "Sebenarnya Aku ini akan ke mana? Kenapa harus berpenampilan seperti ini, Bu?" "Menemani Tuan makan malam." "Makan malam di mana?"tanyaku polos. Bu Nuri tersenyum memandangku. Mungkin sejak tadi ia terheran melihat kepol
"Tenanglah! Kita makan dulu. Aku sudah sangat lapar." sahutnya seraya melangkah menuju salah satu kursi di meja makan itu. Terpaksa aku mengikuti langkahnya. Raka menarik salah satu kursi untukku dan mempersilakan aku duduk. Kemudian laki-laki itu mengambil posisi untuk duduk tepat di hadapanku. "Ayo makan dulu! Kamu pasti sudah sangat lapar, bukan? Jangan sungkan, hanya kita berdua di ruangan ini." ujarnya seraya mengisi piringnya dengan beberapa menu makanan. Hanya berdua? Aku menoleh ke kanan dan kiri. Memang benar, tidak ada siapapun selain kami berdua di ruangan ini. Tiba-tiba aku bergidik, karena berdua saja dengan orang yang baru saja aku kenal. Tanpa malu aku pun mengisi piringku dengan banyak makanan. Sejujurnya sejak pagi tadi aku memang belum makan. Rasa lapar hilang begitu saja karena kejadian siang tadi. Lenyap terbawa oleh emosi. Kami makan tanpa berbincang apapun. Namun Raka sesekali mengambilkan beberapa hidangan untukku. Yang membuatku takjub, pria terhormat i
"Ada satu cara untuk mengakhiri semua ini. Aku akan menjamin keselamatanmu selama dua puluh empat jam," lanjutnya lagi. "Dengan cara apa?" tanyaku penasaran. "Menikahlah denganku!" "A-apaaa? Menikah?" Aku nyaris terlonjak mendengar penuturan Raka. "Santai aja! Nggak usah histeris gitu! Seperti dilamar artis saja," Raka kembali tergelak. "Huh, kepedean," cetusku seraya membuang muka dari tatapan wajah tampan itu. "Apa kamu tahu bahwa orang-orang yang ingin menghancurkanmu tidak sedikit? Mungkin saja mereka sebenarnya berada di sekitarmu selama ini." "Astahfirullahaladzim ... benarkah?" Lagi-lagi aku terkejut. "Apa sebenarnya tujuan mereka menghancurkanku?"tanyaku bingung. "Itu yang aku belum tahu sampai saat ini. Almarhum papaku belum sempat cerita. Kita harus tau siapa saja mereka. Untuk itu kita harus pancing agar mereka muncul dan menampakkan diri," jelas Raka. "Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. "Aku akan membuat mereka geram dengan cara menikahimu setelah masa idda
Setelah salat subuh, Bu Nuri telah siap dengan segala peralatan riasnya ke kamarku. Aku pasrah saja ketika beliau memoles wajah dan memilihkan pakaian yang akan kukenakan. Kali ini aku memakai baju model stelan celana panjang berwarna hitam motif abstrak, dipadu dengan blazer panjang berwarna krem sepanjang lututku. Hijab segiempat polos yang di bentuk simple dengan hiasan bros mini berbatu swarovski, membuat tampilanku tampak sangat elegan. "Pagi, Bu Nuri. Non Shinta ditunggu Tuan Raka di ruang makan." Seorang pelayan tiba-tiba masuk. "Baik. kami segera ke sana," sahut wanita yang selalu tampil rapi dan simple itu. Syukurlah sepatu yang kupakai saat ini bukan model high heels. Menurut Bu Nuri, tubuhku yang sudah tinggi semampai ini tidak perlu memakai sepatu ber-hak tinggi. Aku kembali bercermin. Sama sekali tak mengenali diriku. Di sana terlihat seorang wanita muda berpenampilan elegan dengan kesan cantik dan berkelas. Sungguh luar biasa hasil kerja Bu Nuri. Wanita itu sukses
Pov Alif Pagi ini aku dan Mela mulai training di kantor pusat. Beruntung kami tidak kesiangan, karena semalam beberapa kali melakukan pertempuran hingga kami kelelahan. Mela masih bermalas-malasan di tempat tidur seraya membuka ponselnya. Padahal sejak subuh Kak May berkali-kali memanggil. "Alif ... Mela ..., bangun dong! Sudah siang nih." teriak kak May untuk yang ke sekian kalinya. "Huh! Dasar perawan tua! Berisik banget sih dari tadi," ketus Mela. Semoga saja Kak May tidak mendengarnya.Ternyata aku baru tau kalau Mela selalu kasar jika berbicara. Kenapa aku baru tau sekarang? Untung saja kemarin wanita itu tidak mengetahui keributan yang terjadi di depan rumah. Kak May berhasil mengelabui Mela agar tidak beranjak keluar dari kamarnya. Setelah kami mandi bergantian, Aku yang sudah rapi lebih dulu menunggu Mela yang masih sibuk merias diri. Riasan istri baruku ini memang cukup tebal. Hingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah selasai, kamipun bersiap-siap untuk sarap
Pov AlifJika dalam seminggu aku tidak membawa Shinta kembali ke rumah, Bang Boman akan mengirim anak buahnya untuk meminta kembali uang-uang yang sudah aku terima dari preman itu. Mau pecah rasanya kepalaku memikirkannya. Belum lagi sikap Mela yang kasar terhadap keluargaku. Aku menghentikan motor di dekat tukang bubur ayam pinggir jalan. Sepertinya enak, pembelinya lumayan ramai. Semoga saja tidak mahal. "Kok berhenti di sini, lif?" "Kita sarapan dulu. Aku lagi pengen makan Bubur Ayam. Kata orang-orang di sini Buburnya enak banget." Aku mencoba meyakinkan Mela. "Nggak mau, Ah! Masa di pinggir jalan gini? Kan banyak debu," protesmya. "Sudahlah, sayang. Cuma sebentar. Lagian nanti kita bisa terlambat kalau harus muter-muter lagi," rayuku lagi. Akhirnya dengan wajah cemberut Mela turun juga dari motor. Mungkin karena memang lapar, dalam waktu singkat kami menghabiskan masing-masing semangkuk Bubur ayam. Aku mencoba terus menggodanya agar dia mau tersenyum. Apa kata teman-teman
Pov Alif Untunglah setelah training kami diperbolehkan pulang. Namun selama pelatihan berlangsung aku sama sekali tidak konsentrasi. Ponsel terpaksa kumatikan, karena ibu dan kak May menghubungiku setiap saat. "Lif, kita jalan-jalan dulu, yuk. Aku bete banget di rumah kamu." Bagaimana ini? Mela minta jalan-jalan dulu. "Maaf, Sayang. Ibu sejak tadi telpon aku terus. Takutnya ada yang penting. Kalau kamu bete, gimana jika kita tinggal di rumah kamu aja?" "Oke, tapi kamu yang masak dan nyuci ya. Aku nggak biasa." Astaga Mela! "Ya nggak bisa begitu dong, Cantik. Kamu harus belajar dari sekarang. Bukankah kamu ini seorang istri yang sholehah, Sayang?" Aku mencoba merayunya hati-hati. "Halah! Istri sholehah kok dijadikan babu. Pokoknya aku nggak biasa melakukan semua itu. Atau carikan saja ART untukku! Gampangkan?" Sial! Mana mungkin aku bisa menggaji ART sekarang ini? Biarlah untuk sementara aku yang melakukan semua pekerjaan itu. Dari pada Mela tinggal di rumah Ibu. Pusing kepal