Pov AlifJika dalam seminggu aku tidak membawa Shinta kembali ke rumah, Bang Boman akan mengirim anak buahnya untuk meminta kembali uang-uang yang sudah aku terima dari preman itu. Mau pecah rasanya kepalaku memikirkannya. Belum lagi sikap Mela yang kasar terhadap keluargaku. Aku menghentikan motor di dekat tukang bubur ayam pinggir jalan. Sepertinya enak, pembelinya lumayan ramai. Semoga saja tidak mahal. "Kok berhenti di sini, lif?" "Kita sarapan dulu. Aku lagi pengen makan Bubur Ayam. Kata orang-orang di sini Buburnya enak banget." Aku mencoba meyakinkan Mela. "Nggak mau, Ah! Masa di pinggir jalan gini? Kan banyak debu," protesmya. "Sudahlah, sayang. Cuma sebentar. Lagian nanti kita bisa terlambat kalau harus muter-muter lagi," rayuku lagi. Akhirnya dengan wajah cemberut Mela turun juga dari motor. Mungkin karena memang lapar, dalam waktu singkat kami menghabiskan masing-masing semangkuk Bubur ayam. Aku mencoba terus menggodanya agar dia mau tersenyum. Apa kata teman-teman
Pov Alif Untunglah setelah training kami diperbolehkan pulang. Namun selama pelatihan berlangsung aku sama sekali tidak konsentrasi. Ponsel terpaksa kumatikan, karena ibu dan kak May menghubungiku setiap saat. "Lif, kita jalan-jalan dulu, yuk. Aku bete banget di rumah kamu." Bagaimana ini? Mela minta jalan-jalan dulu. "Maaf, Sayang. Ibu sejak tadi telpon aku terus. Takutnya ada yang penting. Kalau kamu bete, gimana jika kita tinggal di rumah kamu aja?" "Oke, tapi kamu yang masak dan nyuci ya. Aku nggak biasa." Astaga Mela! "Ya nggak bisa begitu dong, Cantik. Kamu harus belajar dari sekarang. Bukankah kamu ini seorang istri yang sholehah, Sayang?" Aku mencoba merayunya hati-hati. "Halah! Istri sholehah kok dijadikan babu. Pokoknya aku nggak biasa melakukan semua itu. Atau carikan saja ART untukku! Gampangkan?" Sial! Mana mungkin aku bisa menggaji ART sekarang ini? Biarlah untuk sementara aku yang melakukan semua pekerjaan itu. Dari pada Mela tinggal di rumah Ibu. Pusing kepal
Pov AlifBerkali-kali mencoba menghubungi si Raka, namun tidak terjawab sama sekali. Sombong sekali dia sekarang. Menjawab telponku saja tidak mau. Sebaiknya sore ini aku ke rumahnya saja. Segera kukirim pesan pada Robi, salah satu teman SMAku, untuk menanyakan alamat Raka. Setelah mendapat balasan dari Robi, Aku dan Imah segera pergi menuju rumah Raka. Ternyata Raka tinggal di kawasan perumahan elite di kota ini. Semoga saja Aku dan Imah berhasil meminjam uang padanya. Sengaja imah dirubah menjadi lebih cantik dan seksi oleh Ibu, agar Raka tertarik pada adikku itu. Setelah satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di depan rumah yang sangat besar dan megah ini. Luar biasa si Raka ini. Ternyata lebih kaya dari yang aku bayangkan. Imah tampak berbinar melihat kemegahan istana milik Raka. "Cari siapa, Mas?" Seorang security keluar dari post dan menghampiri kami. "Raka ada, Pak? Saya Alif, teman sekolahnya," sahutku pada laki-laki yang bajunya tertera nama Irsan itu. "Apa sudah ada j
Aku terkikik geli mengingat kejadian tadi pagi. Hampir semua karyawan mentertawakan Mas Alif dan Mela. Pasangan pengantin baru itu sungguh tidak tahu malu. Bermesraan di tempat umum sampai salah masuk lift. Entah mengapa sudah tidak ada lagi rasa cemburu atau sakit hati melihat mereka berdua. Mungkin sudah terlalu sering merasakan sakit dan kecewa atas perlakuan keluarga itu. Setelah beberapa jam menerima berbagai pengarahan dari Mas Raka, laki-laki itu menyarankan aku untuk jalan-jalan ke mall dan ke salon untuk perawatan. Tentunya harus di dampingi oleh seorang bodiguard yang sudah dia siapkan. Sungguh terasa bagai mimpi semua ini. Salon perawatan muslimah yang di rekomendasikan oleh Bu Nuri memang luar biasa. Wanita itu sepertinya memang serba tahu. Salon ternama dan sangat mewah itu benar-benar sukses membuat wajah dan tubuhku berubah jadi sangat cantik dari ujung rambut hingga ujung kaki, setelah melakukan perawatan selama berjam-jam. Bahkan aku seperti bukan melihat diriku s
"Wah, ada apa Lif? Tumben datang ke sini," sapa Mas Raka ramah seraya duduk di salah satu sofa di depan Mas Alif. "Aku mau ada keperluan sedikit, Bos." "Silakan diminum dan dicicipi dulu hidangannya!" Lagi-lagi Mas Raka terlihat sangat ramah pada mereka. "Ada perlu apa kamu kesini? Bicaralah!" Setelah sedikit berbasa basi, akhirnya Mas Raka bicara. "B-begini Raka, Aku sedang butuh uang tiga ratus juta. Aku sangat berharap kamu bisa meminjamkannya untukku." "Apaa?? Tiga ratus juta? Apa jaminannya?" Mas Alif nampak kelabakan ketika ditanya tentang jaminan. "Asal kamu tau, Lif. Mau sepuluh kali lipat dari jumlah yang kamu sebutkan itu, kecil buatku. Tapi aku minta jaminan," tegas Mas Raka. "T-tapi aku tidak punya apa-apa, Raka. Sedangkan uang itu sangat aku butuhkan malam ini juga!" sahut mantan suamiku dengan suara bergetar. "A-aku akan bayar dengan potong gajiku setiap bulan," lanjutnya. Spontan Mas Raka tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kamu pikir gaji kamu berapa?" tany
"Mas Raka ...." Aku sedikit berteriak memanggilnya , ketika laki-laki itu melewatiku. "MasyaAllah .....Maira. Kamukah Itu?" Seketika laki-laki itu menoleh dan menatapku tak berkedip. Kami bertatapan cukup lama. Perlahan Laki-laki itu mendekat. Aku spontan mundur ketika dia terus maju mendekatiku. Tatapannya begitu dalam dan begitu lekat. "Mas Raka ... !" lirihku. Namun Dia justru semakin dekat. "Mas ... Mas Raka mau ngapain...? Aku semakin panik melihat sikapnya yang aneh. Tiba-tiba tangannya terulur ke arahku. Dengan setengah berteriak, spontan aku menutup wajah. "Aa ...!" "Ngapain teriak-teriak sih? Minggir! Aku mau ambil buku di rak ini!" A-apa? Mau ambil buku dia bilang? Spontan aku membuka wajahku. Tampak laki-laki itu tersenyum seperti menahan tawanya. Kemudian dia memberiku kode agar aku bergeser, tangannya meraih sebuah buku pada lemari yang berada tepat di belakangku. Sial! Aku di kerjain. "Ngarep di apa-apain ya? Hahaha ..." Sepertinya dia bahagia sekali setelah
Ya Allah, Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku segera kembali ke kamar. Jangan sampai mereka tahu keberadaanku di sini. Dengan langkah sangat pelan agar tak terdengar oleh mereka, aku berjalan menuju kamar Aku mulai gelisah dan bingung akan semua ini. Mungkinkah terlalu cepat mempercayai Raka? Aku tersentak ketika terdengar ada yang mengetuk pintu "Non Shinta, ditunggu Tuan makan malam di atas." Ya Tuhan. Kenapa kali ini aku merasa tidak tenang akan bertemu laki-laki itu. Huff ...! Aku harus tenang. Aku harus bisa bersikap seperti biasa. "Baik, saya segera ke sana," sahutku pada pelayan itu. Gegas aku meraih hijab instanku dan melangkah ke lantai dua, ruang makan yang biasa digunakan oleh Raka. "Kenapa lama sekali? Apa kamu tidak lapar?" tanya Raka seraya menghampiriku, ketika baru saja masuk ke ruangan ini. "M-maaf ..." lirihku tertunduk. Duh, kenapa aku jadi gemetar? "Hei, kenapa tiba-tiba jadi kalem? Salah minum obat ya?" tanyanya seraya mendekatkan wajahnya padaku.
"Ini ponselnya, Bu." "Terima kasih, Pak." Aku meraih ponsel dari laki-laki itu, kemudian bergegas melangkah kembali menuju kantor. Khawatir Raka menungguku. Namun aku tersentak ketika saat menyeberang. Sebuah motor berkecepatan tinggi meluncur ke arahku. "Aaaa ...!" "Aaw ...!" Seseorang mendorongku kencang hingga aku tersungkur pada taman yang berada di pinggir jalan tak jauh dari pintu lobby kantor.Bersyukur aku selamat dari motor itu. Siapa yang telah menyelamatkanku? Perlahan aku bangkit, terdengar riuh suara beberapa orang berlarian. Aku menoleh mencari seseorang yang menolongku tadi. Astagfirullahaladzim ...! Raka ...! Segera kuhampiri laki-laki yang tergolek di pinggir jalan itu. Nampak Pak Karto dan beberapa orang mengangkat tubuh Raka dan membawanya masuk ke mobil. Dengan setengah berlari aku mengikuti mereka. Tak peduli rasa tubuhku yang nyeri akibat jatuh barusan. Pasti Raka lebih merasakan sakit. "Pak Karto, Ayo segera ke rumah sakit!" pintaku seraya ikut masuk