"Mari saya bantu, Tuan!" Laki-laki itu mengambil alih Raka dariku. Kemudian memapahnya ke salah satu kamar di lantai bawah, tepatnya di sebelah kamarku. "Bu Nuri, Apa bisa memanggil dokter dan perawat untuk datang ke rumah? Aku khawatir luka Mas Raka ada yang serius," tanyaku ketika wanita itu menghampiriku di pintu kamar. "Bisa, Non. Nanti saya hubungi dokter pribadi Tuan." "Alhamdulilah. Untuk sementara biar Mas Raka di lantai bawah dulu." "Baiklah, Non Shinta." Kemudian Wanita itu berlalu meninggallkanku untuk menghubungi Dokter. Sementara Raka dan Pak Pardi nampak sedang berbicara serius. "Segera cari pelakunya, Cek CCTV di sekitar lokasi kejadian! Seharusnya motor tidak bisa melewati area itu. Lain kali kamu harus lebih waspada. Penjagaan terhadap Maira harus lebih ketat!" "Baik Tuan. Saya minta maaf!' ujar Pak Pardi tertunduk. Kasian, gara-gara kecerobohanku, laki-laki itu dimarahi oleh Raka. "Pak Pardi, Saya minta maaf ya. Gara-gara saya Bapak jadi dimarahi oleh Mas
Pov Alif "Kak May, bajuku kenapa belum disetrika? Bisa-bisa aku terlambat." Aku menahan napas melihat tingkah istriku itu. Mela selalu saja berteriak jika berbicara pada Ibu dan Kak May. Padahal usia mereka jauh lebih tua. Seharusnya Mela bisa lebih sopan. "Bukankah kamu hari ini libur?" tanya Kak May tak kalah ketus. "Aku mau ada acara arisan sama teman-teman. Buruan tolong disetrika, nih!," Dengan seenaknya Mela melemparkan bajunya ke hadapan Kak May. "Nggak bisa! Kamu setrika aja sendiri! Aku mau buru-buru ke pasar, mau buka toko." Kembali Kakakku itu melempar baju Mela dan persis mengenai wajah istriku itu. "Hei! Berani kalian sama aku ya? Asal kalian tahu, Aku bisa saja mengusir kalian kapanpun. Ini rumahku. Kalian cuma numpang di sini!" teriak Mela, wajahnya memerah karena emosi. Ya Tuhan. Kenapa Mela selalu mengulang-ulang kata-kata itu. Sejak rumah kami disita oleh orang-orang suruhan Bang Boman, Kami terpaksa pindah ke rumah Mela. Walau bermula dengan penuh drama, akhi
Pov Alif"Nanti mau dijemput jam berapa, Mel?" tanyaku ketika diperjalanan. "Nggak usah jemput. Aku mau ke mall cari baju untuk acara pernikahan Raka nanti." "Aku dibeliin juga dong, Sayang!" rayuku. "Halaah, baju kamu banyak gitu di lemari. Ngapain beli lagi?" sahutnya. "Raka acaranya di hotel terkenal, bajunya harus yang bagus dong, Mel. Di lemari baju-bajuku sudah jelek dan lama semua." Aku kembali mencoba merayu istriku itu. "Udah nggak usah sok-sok pakai baju baru! Gaji nggak seberapa aja, mana cukup!" ketus mela. Astaga! Gaji nggak seberapa dia bilang? Tapi setiap bulan dia selalu antusias untuk menguasai gajiku. Biasanya hampir tiap bulan Aku ke mall beli pakaian baru. Namun sejak menikah dengan Mela, sekalipun aku belum pernah belanja lagi. Bagaimana mau beli baju baru, gajiku semua diminta oleh istriku itu. --------- Lumayan hasil ngojek hari ini. Walau hanya setiap libur kerja saja, tapi hasilnya bisa untuk mengisi kuota ponsel dan sekedar ngopi bareng dengan teman
Sejak subuh semua orang sibuk. Apalagi Bu Nuri. Wanita serba tahu dan serba bisa itu sepertinya hampir tidak tidur semalaman. Raka berkali-kali berpesan agar acara akad nikah kami sesuai dengan harapannya. Apakah Raka menikahiku karena keinginannya? Atau hanya karena ingin melindungi diriku atas permintaan orangtuanya? "Non Shinta, para penata rias sudah datang. Ditunggu di kamar tamu." Seorang pelayan menghampiriku. Sejak tadi aku hanya mondar mandir saja. Raka melarangku untuk membantu. Dia khawatir nanti aku kelelahan. Karena besok malam adalah acara resepsi kami. Aku melangkah menuju kamar tamu. Disana sudah ada beberapa wanita yang akan meriasku. "Silakan Nona!' Salah satu penata rias mempersilakan aku untuk duduk di depan cermin besar. Salah seorang dari mereka yang konon katanya adalah make up artis, begitu terampil merubah diriku menjadi sangat cantik bagaikan seorang putri. Andai saja saat ini Ayah dan Bunda ada di sini, pasti mereka sangat bahagia melihatku tampil seca
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Kami bersiap-siap menuju hotel. Rencananya akad nikah akan diselenggarakan di sana. Berlanjut besok malam dengan resepsi di hotel yang sama. "Maira ..kamu cantik sekali," lirih Raka, ketika kami bertemu dalam satu mobil yang akan menuju hotel. Please Mas Raka, jangan bikin aku grogi kayak gini. Aku takut kamu mendengar suara jantungku yang berdetak kencang saat ini. Selama perjalanan menuju hotel. Kami di kawal oleh beberapa mobil. Tampak Raka berkali-kali menelpon seseorang. Wajahnya begitu tegang. Sepertinya ada sesuatu yang sedang direncanakan. "Mas, kok tegang gitu? Ada masalah apa?" tanyaku setelah dia menutup ponselnya. "Ada." "Hah! Masalah apa?" tanyaku khawatir. "Masalahnya ... apa aku sanggup menunggu sampai malam untuk bisa peluk kamu?" bisiknya ke telingaku. "Mas Rakaaaa ...!" jeritku seraya mencubit pinggangnya. "Aaww ...! Sakit tau ..! Awas ya nanti malam aku bales!" "Bodo, ah!" Spontan aku menyembunyikan wajah menghadap jend
"A-ayah ... benarkah ini Ayah?" tanyaku tak percaya dengan apa yang aku lihat. "Iya, Sayang ... ini Ayah. Maira Anakku ..." Laki-laki itu lantas meraih memelukku. Aku masih terpaku tak percaya. Kenapa orang-orang itu dulu mengatakan bahwa Ayah sudah meninggal? Aku yang ketika itu masih kanak-kanak tidak tau apa yang terjadi. Bahkan tidak pernah tau dimana makam Ayah dan Bunda. Kemudian hari ini, sesuatu yang tidak pernah aku duga terjadi. Walau setiap saat aku mengharapkan keajaiban ini. Bertemu Ayah dan Bunda selalu menjadi impianku. Lalu hari ini, seorang laki-laki setengah tua, dengan tubuh tinggi tegap. Wajah tampannya yang masih terlihat jelas di antara kulitnya yang mulai berkerut. Wajah yang memandangku penuh kasih dan rindu. "Ayah ... Ayah ..." Aku terus tergugu di dada bidangnya. Hingga kemeja di balik jas hitam itu basah karena air mataku. Tangan kekarnya terus membelai hijab putihku yang telah terpasang sebuah mahkota kecil. Hingga tangan itu turun ke bahuku. Tepukan
Ayah kembali memelukku. Kami kembali terisak. semua bagai mimpi. Aku bisa kembali memeluk laki-laki cinta pertamaku. Walaupun masih banyak tanda tanya dibenak ini. Walaupun semua masih terlihat abu-abu. Setelah aku, Ayah juga memeluk Raka. Laki-laki yang telah mempertemukan kembali Aku dan Ayah. Laki-laki yang pernah mempertaruhkan nyawanya untukku. Mereka tampak sangat akrab. Apa selama ini Raka memang tahu keberadaan Ayah? Dan di mana ayah tinggal selama ini?"Raka, tolong jaga Maira baik-baik. Ayah titip anak ayah satu-satunya padamu," pesan Ayah.Raka mengangguk. "Baik, Yah. Maira sudah menjadi tanggung jawab aku sekarang. Apapun akan kulakukan demi membahagiakannya," jawab Raka tegas. "Terimakasih, Raka. Aku tenang sekarang." Mereka kembali berpelukan. Ruangan yang sepi membuat akad nikahku berbeda dari yang lainnya. Raka tidak mengundang siapapun. Bahkan ibu panti sekalipun. Namun semuanya akan hadir pada acara resepsi besok malam.. Kemudian kami bersiap akan meninggalkan
Sejak kemarin kami tidak keluar dari kamar. Semua yang kami butuhkan diantar oleh pelayan hotel. Di depan kamar kami para bodyguard tidak pernah absen sedetikpun untuk berjaga secara bergantian. Untuk perusahaan sementara ditangani oleh Said, laki-laki yang sudah menjabat sebagai asisten pribadi Raka selama bertahun-tahun. Said juga teman kuliah Raka di Aussie dulu. "Sayang, sini dong!" ajak Raka yang sedang berenang sendiri sejak tadi. Sedangkan aku masih asik dengan ponselku sambil merebahkan diri pada kursi yang berada di pinggir kolam. Luar biasa memang kamar hotel ini. Fasilitas kolam renang pun berada di kamar yang sangat luas ini. Apapun yang aku inginkan tinggal angkat telpon dan tidak perlu menunggu lama pelayan akan mengantarkan pesananku. "Aku nggak bisa berenang, Mas," sahutku. Tubuhnya yang basah dengan bulu-bulu halus di dada bidangnya, membuatku hampir tergoda. "Sini aku ajarin, Maira," bujuk laki-laki yang makin terlihat tampan dengan rambutnya yang mulai panja