"A-ayah ... benarkah ini Ayah?" tanyaku tak percaya dengan apa yang aku lihat. "Iya, Sayang ... ini Ayah. Maira Anakku ..." Laki-laki itu lantas meraih memelukku. Aku masih terpaku tak percaya. Kenapa orang-orang itu dulu mengatakan bahwa Ayah sudah meninggal? Aku yang ketika itu masih kanak-kanak tidak tau apa yang terjadi. Bahkan tidak pernah tau dimana makam Ayah dan Bunda. Kemudian hari ini, sesuatu yang tidak pernah aku duga terjadi. Walau setiap saat aku mengharapkan keajaiban ini. Bertemu Ayah dan Bunda selalu menjadi impianku. Lalu hari ini, seorang laki-laki setengah tua, dengan tubuh tinggi tegap. Wajah tampannya yang masih terlihat jelas di antara kulitnya yang mulai berkerut. Wajah yang memandangku penuh kasih dan rindu. "Ayah ... Ayah ..." Aku terus tergugu di dada bidangnya. Hingga kemeja di balik jas hitam itu basah karena air mataku. Tangan kekarnya terus membelai hijab putihku yang telah terpasang sebuah mahkota kecil. Hingga tangan itu turun ke bahuku. Tepukan
Ayah kembali memelukku. Kami kembali terisak. semua bagai mimpi. Aku bisa kembali memeluk laki-laki cinta pertamaku. Walaupun masih banyak tanda tanya dibenak ini. Walaupun semua masih terlihat abu-abu. Setelah aku, Ayah juga memeluk Raka. Laki-laki yang telah mempertemukan kembali Aku dan Ayah. Laki-laki yang pernah mempertaruhkan nyawanya untukku. Mereka tampak sangat akrab. Apa selama ini Raka memang tahu keberadaan Ayah? Dan di mana ayah tinggal selama ini?"Raka, tolong jaga Maira baik-baik. Ayah titip anak ayah satu-satunya padamu," pesan Ayah.Raka mengangguk. "Baik, Yah. Maira sudah menjadi tanggung jawab aku sekarang. Apapun akan kulakukan demi membahagiakannya," jawab Raka tegas. "Terimakasih, Raka. Aku tenang sekarang." Mereka kembali berpelukan. Ruangan yang sepi membuat akad nikahku berbeda dari yang lainnya. Raka tidak mengundang siapapun. Bahkan ibu panti sekalipun. Namun semuanya akan hadir pada acara resepsi besok malam.. Kemudian kami bersiap akan meninggalkan
Sejak kemarin kami tidak keluar dari kamar. Semua yang kami butuhkan diantar oleh pelayan hotel. Di depan kamar kami para bodyguard tidak pernah absen sedetikpun untuk berjaga secara bergantian. Untuk perusahaan sementara ditangani oleh Said, laki-laki yang sudah menjabat sebagai asisten pribadi Raka selama bertahun-tahun. Said juga teman kuliah Raka di Aussie dulu. "Sayang, sini dong!" ajak Raka yang sedang berenang sendiri sejak tadi. Sedangkan aku masih asik dengan ponselku sambil merebahkan diri pada kursi yang berada di pinggir kolam. Luar biasa memang kamar hotel ini. Fasilitas kolam renang pun berada di kamar yang sangat luas ini. Apapun yang aku inginkan tinggal angkat telpon dan tidak perlu menunggu lama pelayan akan mengantarkan pesananku. "Aku nggak bisa berenang, Mas," sahutku. Tubuhnya yang basah dengan bulu-bulu halus di dada bidangnya, membuatku hampir tergoda. "Sini aku ajarin, Maira," bujuk laki-laki yang makin terlihat tampan dengan rambutnya yang mulai panja
"Mari kita saksikan kedua mempelai memasuki pelaminan." MC telah memberi aba-aba agar kami masuk. Raka terus menggandengku. Saat ini aku memakai pakaian pengantin muslimah modern dengan model simple berwarna silver. Sementara Raka memakai stelan jas pengantin berwarna senada dengan peci bermotif ukiran berwarna putih Seiring kami melangkah dengan beberapa orang iringan pengantin ,serta pengawalan yang cukup ketat, MC mulai menyebutkan nama Raka dan namaku. Alunan musik pengiringpun membersamai langkah kami. "Mari kita sambut kedua mempelai, Raka adipratama dan Humaira pratama." Tepuk riuh menggema dari berbagai penjuru. Lampu sorot menerangi iring-iringan kami. Para media yang sudah mendapat lokasi khusus untuk meliput, mulai melakukan pekerjaannya mengabadikan moment pembuka ini. Sepanjang kakiku melangkah, tak henti-hentinya kupanjatkan doa pada yang kuasa. Masih dalam genggaman jemari Raka, kami menaiki satu persatu tangga pelaminan. Akhirnya kami sampai pada pelaminan yang
Pov Alif "Mela, jangan lama-lama dong dandannya. Nanti kita kehabisan makanan, loh di sana. Jarang-jarang bisa makan enak di hotel mewah." Untuk yang kesekian kalinya aku meneriaki Mela dari balik pintu kamarku ini. Istriku itu tak menyahut. Sejak sore tadi tak selesai juga merias wajahnya. Sebenarnya Mela minta dirias di salon. Tapi aku sedang tak ada uang. Syukurlah Mela akhirnya menurut, walaupun harus melalui drama yang panjang terlebih dahulu. "Lif, Ibu sama Imah boleh ikut ke acara resepsi Raka ?" tanya ibu ketika menemuiku di teras. "Aku juga ikut dong, Lif. Siapa tau di sana ketemu jodoh." Kak May ikut nimbrung. "Ayolah ikut semua. Jadi malam ini kita bisa makan enak semua. Nggak usah masak." "Asik ...!" Imah melonjak kegirangan mendengar ucapanku. Lantas adikku itu lari ke kamarnya untuk bersiap-siap. Begitu pula dengan Ibu dan Kak May. Tanpa menunggu lama mereka gegas ke kamar mereka yang jadi satu, untuk bersiap-siap. Ya, sejak tinggal di rumah Mela ini. Ibu, Kak M
Pov Alif.Hampir semua undangan yang hadir mengenal Raka. Namun tak satupun yang mengenal mempelai wanitanya. Setelah MC mempersilakan, terdengar suara Raka mulai memperkenalkan istrinya pada publik. Suasana ruangan yang amat luas itu nyaris hening. Hampir semua orang mendengarkan dengan seksama ucapan demi ucapan yang disampaikan oleh Raka. Tiba-tiba aku seperti mendengar Raka menyebutkan nama seseorang yang selama ini aku cari dan memenuhi pikiranku. Yang membuatku hampir terlonjak, Raka juga menyebutkan bahwa wanita itulah pemilik tunggal perusahaan tempat aku bekerja saat ini. Namun agar lebih yakin, perlahan aku memaksa menyeruak melewati kerumunan yang menghalangiku untuk maju ke depan pelaminan. Seorang wanita dengan penampilan elegan namun terkesan sombong baru saja membuat keonaran dan menjadi perhatian para tamu. Mungkin wanita itu salah seorang mantan kekasih Raka yang patah hati. Beruntung kedua orang tuanya berhasil membawanya menjauh. Dengan rasa penasaran yang s
Aku nggak menyangka Mas Alif akan senekad itu. Sebenarnya aku tidak tega mereka diusir seperti itu. Terutama pada Ibu. Bagaimanapun juga aku pernah jadi bagian dari mereka. Namun setidaknya dengan kejadian tadi, mereka bisa menyadari kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat sebelumnya. Bagaimana rasanya dizalimi? Menyakitkan, bukan? Aina, wanita cantik dengan penampilan sangat berkelas. Rela mempermalukan dirinya di depan para tamu, demi rasa cintanya pada Raka-suamiku. Sepertinya ancamannya pagi itu juga tidak main-main. Sebaiknya aku harus waspada. Mungkin saja Aina adalah salah satu dari banyak wanita di luar sana yang menginginkan Raka. Satu persatu para tamu menghampiri kami untuk mengucapkan selamat dan berfoto. Mulai dari pemilik dari berbagai perusahaan, pejabat , rekan bisnis sampai staf dan karyawan perusahaan ikut serta bergantian naik ke pelaminan. "Selamat Pak Raka. Saya tidak menyangka putri dari almarhum Bapak Pratama masih hidup," Tiba-tiba seorang laki-laki seus
Beberapa pengawal mengikuti kami menuju kamar di lantai sepuluh.. Lorong hotel terlihat sangat sepi dari berbagai sudut. Apa mungkin karena sudah malam? Raka makin mempererat genggamannya padaku. Sepertinya suamiku itu pun merasakan keanehan yang sama. "Sayang, waspada ...!"bisiknya ke telingaku. Ya Tuhan. Kenapa aku jadi cemas seperti ini. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi. Aku dan Raka mempercepat langkah menuju lift. Dari arah yang berlawanan dua orang laki-laki pelayan hotel mendorong sebuah meja cukup besar berisi makanan. Karena lorong itu tidak terlalu besar, dua pengawal yang di depanku terpaksa menyingkir agak kepinggir. Sementara aku dan Raka menempelkan badan ke dinding. Aku dan Raka saling melirik. Sepertinya kami punya pemikiran yang sama akan keanehan ini. Hotel ternama yang cukup mewah membiarkan pelayannya membawa meja besar hingga mengganggu kenyamanan para tamu. Meja yang hampir memenuhi lorong itu tiba-tiba saja berhenti di dekatku. Aku ter