"Mari kita saksikan kedua mempelai memasuki pelaminan." MC telah memberi aba-aba agar kami masuk. Raka terus menggandengku. Saat ini aku memakai pakaian pengantin muslimah modern dengan model simple berwarna silver. Sementara Raka memakai stelan jas pengantin berwarna senada dengan peci bermotif ukiran berwarna putih Seiring kami melangkah dengan beberapa orang iringan pengantin ,serta pengawalan yang cukup ketat, MC mulai menyebutkan nama Raka dan namaku. Alunan musik pengiringpun membersamai langkah kami. "Mari kita sambut kedua mempelai, Raka adipratama dan Humaira pratama." Tepuk riuh menggema dari berbagai penjuru. Lampu sorot menerangi iring-iringan kami. Para media yang sudah mendapat lokasi khusus untuk meliput, mulai melakukan pekerjaannya mengabadikan moment pembuka ini. Sepanjang kakiku melangkah, tak henti-hentinya kupanjatkan doa pada yang kuasa. Masih dalam genggaman jemari Raka, kami menaiki satu persatu tangga pelaminan. Akhirnya kami sampai pada pelaminan yang
Pov Alif "Mela, jangan lama-lama dong dandannya. Nanti kita kehabisan makanan, loh di sana. Jarang-jarang bisa makan enak di hotel mewah." Untuk yang kesekian kalinya aku meneriaki Mela dari balik pintu kamarku ini. Istriku itu tak menyahut. Sejak sore tadi tak selesai juga merias wajahnya. Sebenarnya Mela minta dirias di salon. Tapi aku sedang tak ada uang. Syukurlah Mela akhirnya menurut, walaupun harus melalui drama yang panjang terlebih dahulu. "Lif, Ibu sama Imah boleh ikut ke acara resepsi Raka ?" tanya ibu ketika menemuiku di teras. "Aku juga ikut dong, Lif. Siapa tau di sana ketemu jodoh." Kak May ikut nimbrung. "Ayolah ikut semua. Jadi malam ini kita bisa makan enak semua. Nggak usah masak." "Asik ...!" Imah melonjak kegirangan mendengar ucapanku. Lantas adikku itu lari ke kamarnya untuk bersiap-siap. Begitu pula dengan Ibu dan Kak May. Tanpa menunggu lama mereka gegas ke kamar mereka yang jadi satu, untuk bersiap-siap. Ya, sejak tinggal di rumah Mela ini. Ibu, Kak M
Pov Alif.Hampir semua undangan yang hadir mengenal Raka. Namun tak satupun yang mengenal mempelai wanitanya. Setelah MC mempersilakan, terdengar suara Raka mulai memperkenalkan istrinya pada publik. Suasana ruangan yang amat luas itu nyaris hening. Hampir semua orang mendengarkan dengan seksama ucapan demi ucapan yang disampaikan oleh Raka. Tiba-tiba aku seperti mendengar Raka menyebutkan nama seseorang yang selama ini aku cari dan memenuhi pikiranku. Yang membuatku hampir terlonjak, Raka juga menyebutkan bahwa wanita itulah pemilik tunggal perusahaan tempat aku bekerja saat ini. Namun agar lebih yakin, perlahan aku memaksa menyeruak melewati kerumunan yang menghalangiku untuk maju ke depan pelaminan. Seorang wanita dengan penampilan elegan namun terkesan sombong baru saja membuat keonaran dan menjadi perhatian para tamu. Mungkin wanita itu salah seorang mantan kekasih Raka yang patah hati. Beruntung kedua orang tuanya berhasil membawanya menjauh. Dengan rasa penasaran yang s
Aku nggak menyangka Mas Alif akan senekad itu. Sebenarnya aku tidak tega mereka diusir seperti itu. Terutama pada Ibu. Bagaimanapun juga aku pernah jadi bagian dari mereka. Namun setidaknya dengan kejadian tadi, mereka bisa menyadari kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat sebelumnya. Bagaimana rasanya dizalimi? Menyakitkan, bukan? Aina, wanita cantik dengan penampilan sangat berkelas. Rela mempermalukan dirinya di depan para tamu, demi rasa cintanya pada Raka-suamiku. Sepertinya ancamannya pagi itu juga tidak main-main. Sebaiknya aku harus waspada. Mungkin saja Aina adalah salah satu dari banyak wanita di luar sana yang menginginkan Raka. Satu persatu para tamu menghampiri kami untuk mengucapkan selamat dan berfoto. Mulai dari pemilik dari berbagai perusahaan, pejabat , rekan bisnis sampai staf dan karyawan perusahaan ikut serta bergantian naik ke pelaminan. "Selamat Pak Raka. Saya tidak menyangka putri dari almarhum Bapak Pratama masih hidup," Tiba-tiba seorang laki-laki seus
Beberapa pengawal mengikuti kami menuju kamar di lantai sepuluh.. Lorong hotel terlihat sangat sepi dari berbagai sudut. Apa mungkin karena sudah malam? Raka makin mempererat genggamannya padaku. Sepertinya suamiku itu pun merasakan keanehan yang sama. "Sayang, waspada ...!"bisiknya ke telingaku. Ya Tuhan. Kenapa aku jadi cemas seperti ini. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi. Aku dan Raka mempercepat langkah menuju lift. Dari arah yang berlawanan dua orang laki-laki pelayan hotel mendorong sebuah meja cukup besar berisi makanan. Karena lorong itu tidak terlalu besar, dua pengawal yang di depanku terpaksa menyingkir agak kepinggir. Sementara aku dan Raka menempelkan badan ke dinding. Aku dan Raka saling melirik. Sepertinya kami punya pemikiran yang sama akan keanehan ini. Hotel ternama yang cukup mewah membiarkan pelayannya membawa meja besar hingga mengganggu kenyamanan para tamu. Meja yang hampir memenuhi lorong itu tiba-tiba saja berhenti di dekatku. Aku ter
"Siapa nama anda?" tanyaku pada seorang laki- laki muda yang duduk pada salah satu sofa di hadapanku. "Saya Hafiz," sahutnya singkat seraya agak menunduk. "Ustad Hafiz?" tanyaku lagi pada laki-laki yang direkomendasikan oleh Bu Nuri sebagai pelatih ilmu beladiri untukku. "Panggil Hafiz saja, Nyonya!" pintanya. "Apa benar Anda salah satu ustad di pesantren Darussalam?" selidikku. "Betul, Nyonya." "Panggil Shinta saja!" pintaku padanya yang mungkin seumuran denganku. Bu Nuri sudah mengenal Hafiz sejak lama. Karena Raka rutin berkunjung ke pondok pesantren Darussalam tiap tiga bulan sekali. Raka juga salah satu donatur tetap di pesantren khusus yatim dan dhuafa itu. "Kapan saya mulai bisa melatih?" tanya laki-laki bertubuh tinggi tegap itu tanpa menoleh padaku. "Secepatnya. Kalau perlu kita mulai hari ini." "Apa? Hari ini?" Hafiz terlihat agak terkejut. "Ya. Kenapa? Kamu nggak bisa?" "B-bisa," sahutnya terbata. "Oke. Sementara kamu boleh tinggal di sini. Nanti Bu Nuri akan
Para staf dan karyawan semua berdiri dan mengangguk sopan ketika aku memasuki ruangan setiap divisi. Saat ini aku mengenakan stelan celana panjang putih dengan blazer panjang hingga selutut berwarna salem muda. Dengan hiasan scraf berwarna salem soft bermotif abstrak pada leher. Hijab model segiempat yang praktis membuat tampilanku lebih simple namun elegan. "Berapa karyawan yang masuk dalam divisi marketing ini, Pak Safiq?" tanyaku ketika kami memasuki ruangan divisi marketing. "Untuk cabang selatan ini sekitar lima puluh orang, Bu. Sebagian besar adalah karyawan baru yang masih dalam percobaan selama enam bulan." Beberapa karyawan dari divisi marketing menyapaku ramah. Namun ada seseorang yang menatapku tak suka. Wanita cantik dengan rambut bergelombang itu terus menatapku tajam. Perlahan aku menghampirinya. Sepertinya dia menyadari kedatanganku. "Ada masalah dengan Saya, Saudari Mela?" tanyaku tegas seraya menaikkan alisku pada wanita itu. Tiba-tiba wajahnya tertunduk. Kal
"S-saya m-mohon ...! S-saya jangan dipecat ...!" pintanya terbata-bata dengan tatapan penuh harap. Wajah mantan suamiku itu memucat. Tubuhnya gemetar. "Berapa jumlah uang yang Dia gelapkan, Pak?" "Ini data-datanya, Bu." Pak Safiq menyodorkan sebuah map padaku. Aku membuka map biru itu dan mulai melihat isinya. "Apa? Sepuluh juta?" sentakku setengah berteriak dan melotot pada Alif. Laki-laki yang dulu sering menghinaku dengan kata-kata istri dekil itu tertunduk, tak berani menatap netraku. Keringat menetes dari keningnya. Padahal AC di ruanganku cukup dingin. "Anda karyawan baru di sini, bahkan masih dalam tahap percobaan. Sungguh keterlaluan! Saya tunggu dalam waktu tiga hari, Anda sudah harus mengembalikan uang itu kepada perusahaan!" tegasku. "Tiga hari? T-tolong Shinta ... eh ... Bu Shinta! Tiga hari terlalu singkat. Apa tidak bisa ditambah?" tawarnya seenaknya. "Saya tidak peduli. Pokoknya Anda harus kembalikan uang itu pada perusahaan maximal dalam tiga hari!" tegasku la