Segera kupercepat langkahku. Semoga saja dugaanku benar. "Selamat siang!" "Selamat siang, Bu Shinta!" sahut mereka seraya menggangguk sopan. "Aku mau masuk," ujarku seraya membuka pintu ruang ICU . "Suster, bagaimana kodisi suami saya?" tanyaku pada salah seorang perawat, sambil memakai pakaian khusus untuk masuk ruang ICU. "Pak Raka tadi sempat sadar dan minta dihubungi Ayahnya." "A-apa? Ayahnya? Kenapa suster tidak menghubungiku atau meminta pengawal untuk menelponku?" Tanpa menunggu jawaban dari perawat itu, Aku gegas masuk ke kamar Raka.. Aku nyaris terlonjak ketika melihat laki-laki yang juga memenuhi pikiranku beberapa hari ini. "Maira ..." "Ayaah ..." Sontak aku menghambur ke pelukan laki-laki yang begitu aku rindukan selama bertahun-tahun. "Ayah ... kapan datang?" "Baru saja, Nak. Ayah langsung ke sini mendengar Raka kecelakaan." "Siapa yang menghubungi Ayah?: "Rumah sakit,, Nak. Raka yang meminta Ayah ke sini." "Astaghfirullah ...Mas Raka !" Aku tersentak d
"Assalaamualaikum" "Waalaikumsalam, Non Shinta." Bu Nuri membukakan kami pintu. "Nuri ...!" "Astaga ... Tama ...!" Aku terheran melihat raut wajah keduanya.Ayah dan Bu Nuri saling kenal? Tapi bisa saja. Bukankah Bu Nuri sudah bekerja pada keluarga Raka sejak suamiku itu balita? Bisa saja Ayah mengenal Bu Nuri karena sering bertemu dengan keluarga Raka. Tapi ... Mengapa panggilan mereka satu sama lain seperti itu? Mengapa Bu Nuri memanggil Ayah dengan sebutan Tama? Aku menatap curiga pada keduanya. "Bu Nuri kenal dengan Ayah?"tanyaku seraya menyipitkan mata dan mengernyitkan dahi. "Sejak kapan ayah mengenal Bu Nuri?" Keduanya tampak gugup. Aku semakin yakin ada yang mereka sembunyikan dariku. "Te-tentu saja Ayah kenal, Bu Nuri bekerja pada keluarga Om Gunansyah sejak Raka kecil. Ayah dan Bundamu sering berkunjung ke sini," jawab Ayah sedikit terbata, namun sepertinya langsung bisa mengendalikan diri. Sementara Bu Nuri tampak sudah bisa menguasai dirinya. Wanita itu menata
"Ayah ...?" "Eh ... ya. Ayah pernah melakukan kesalahan yang fatal sampai menyakiti hati Bunda. Hingga kakekmu sangat murka pada Ayah," lirihnya "Kesalahan? kesalahan apa, Ayah?"cecarku penasaran. "Maaf, Ayah belum bisa cerita saat ini. Semua sudah berlalu." Aku membuang napas kasar. "Baiklah." sahutku kecewa. "Lalu siapa yang membawaku ke panti? Dan di mana Ayah selama ini.?" "Ketika itu, Ayah dan Bunda beserta kamu selalu di teror dan di kejar-kejar oleh orang-orang yang menghianati kakekmu. Ketika itu kamu masih berusia tujuh tahun. Seseorang berhasil menculikmu hingga bertahun-tahun. Tak lama setelah kamu menghilang, Bunda meninggal karena sakit, tak sanggup berpisah denganmu." "Bunda ..." lirihku. Tanpa terasa air mataku luruh teringat akan Bunda. "Orang-orang itu terus meneror dan berusaha membunuh Ayah. Hingga Om Gunansyah - papanya Raka membuat rekayasa seolah-olah Ayah meninggal karena kecelakaan. Selama ini Ayah tinggal di sekitar pesantren di daerah Bogor. Sejak
Pov AlifSial! Sombong sekali mantan istriku itu. Mentang-mentang sekarang sudah menikah dengan orang kaya. Apa dia lupa dulu numpang hidup dengan siapa? Aku tidak terima direndahkan seperti ini. Gara-gara perempuan itu aku jadi hidup susah. Aku harus cari cara untuk membalasmu, Shinta! Setelah keluar dari ruangannya, Aku putar otak berpikir bagaimana caranya agar tidak jadi dipecat. Sepertinya aku harus ceritakan ini pada Mela. Karena uang perusahaan yang aku pakai itu sebagian juga dia yang pakai. Kemudian aku pun melangkah menuju ruang divisi pemasaran untuk menemui istriku itu. "Apaa? Sepuluh juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Kamu selingkuh, ya?" teriak Mela seraya melotot padaku, hingga teman-teman seruangannya menoleh pada kami. "Kamu selingkuh, ya? Awas ya!" ulang istriku itu lebih pelan. "Selingkuh apaan, sih? Itu uangnya juga sebagian aku kasih ke kamu." bisikku geram. "Ah, bodo amat! Pokoknya aku nggak mau ikut campur sama utang-utang kamu itu," ketus Mela seraya m
Ya, dulu aku menikahi Shinta hanyalah karena butuh uang. Jadi cukup dengan menikahi perempuan itu secara siri, Bang Boman akan memberiku uang banyak. Entah apa maksud dan tujuannya aku tidak peduli. Aku tidak tau untuk apa Bang Boman melakukan itu kepada perempuan miskin yang sejak kecil tinggal di panti asuhan itu "Hey kampr*t! Kami sudah lama tahu dia ada di mana. Dasar bodoh! " sahutnya seraya terbahak-bahak. Ah, sial! Ternyata aku terlambat. "Wanita itu adalah atasanku di kantor saat ini, Bang. Aku juga tahu dimana dia tinggal." Aku terus berusaha agar anak buah Bang Boman itu mau menerima informasi dari aku. Sejenak laki-laki itu terdiam. Namun terdengar suara bisik-bisik seperti sedang kompromi. "Hey Laki-laki bodoh, kamu pasti sudah jatuh miskin. Hahaha ...! Kurang ajar! Kini mereka malah mentertawakanku. Seandainya saja aku nggak butuh uang, sudah kuputuskan sambungan ponsel ini. "Kalau kamu butuh uang, kamu harus mau bekerja dengan kami. Bos Boman akan memberimu uang.
Aku mengurungkan niatku untuk menghampiri Ayah. Ada hubungan apa sebenarnya di antara Ayah dan Bu Nuri? Walaupun pintu kamar itu sedikit terbuka, rasanya kurang pantas jika mereka hanya berdua saja di dalam kamar. Apakah Ayah telah menghianati Bunda? Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu saja. Akan aku selidiki nanti. Sejak awal aku merasa ada yang di sembunyikan oleh Bu Nuri. Tampaknya ada banyak hal yang wanita itu ketahui. Perlahan kakiku melangkah menuju taman belakang. Hafiz sudah menunggu di sana. Tampak laki-laki itu sedang melakukan pemanasan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," sahutnya"Apa kita bisa mulai latihan malam ini, Fiz?" "InsyaAllah bisa. Kita mulai lafihan fisik dulu," sahutnya. Hafiz mengarahkan gerakanku dari jarak sekitar dua meter di depanku. Laki-laki ini selalu menjaga pandangannya. Selalu menunduk atau melihat ke arah lain jika berbicara padaku. "Hafiz, Apa kamu mau membantuku?" tanyaku setelah kami selesai
Pagi-pagi sekali aku telah bersiap untuk ke kantor. Namun pagi ini rencanya ingin singgah dulu ke rumah sakit. Jika memungkinkan, Aku ingin merawat Raka di rumah saja. Kali ini Ayah tidak ikut. "Tidak sarapan dulu, Non?" Bu Nuri menghampiriku di teras. "Nanti saja, Bu. Aku mau ke rumah sakit." "Bawalah ini Non! Mungkin Non Shinta bisa sarapan di mobil. Sejak semalam Non Shinta tidak makan." ujar wanita yang selalu tampil rapi itu seraya menyodorkan sebuah kotak makanan dan sebotol minuman jus buah. Tatapannya begitu teduh. Astaga! mata itu ... kenapa sangat mirip dengan ... Apa mungkin mereka ada hubungan keluarga? "Terima kasih Bu Nuri. Ibu sangat perhatian sekali," sahutku seraya tersenyum dan meraih kotak makanan dari tangannya. Wanita yang keibuan namun tegas itu tersenyum padaku. Senyum yang meyejukkan. Membuatku teringat akan Bunda. "Tolong katakan pada Ayah kalau aku berangkat ya, Bu. Sepertinya setelah salat subuh tadi ayah tidur lagi," pesanku padanya sebelum masuk ke
Raka terus menatap tajam padaku. Sepertinya dia sempat melihat kontak nama yang tertera pada ponselku tadi. "Hallo, bagaimana, Hafiz ?" ucapku sedikit berbisik agar tidak mengganggu yang lain di dalam ruangan ini. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam."jawabku. "Hari ini Alif janji akan menemui seseorang karena dia sangat butuh uang," papar Hafiz dari sebrang sana. "Ya sudah, Kamu ikuti kemana dia pergi. Beritahu segera jika ada yang mencurigakan!" tegasku. "Baik! Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Akupun memutuskan sambungan ponselku. Raka masih menatap tajam padaku. "Itu Hafiz, Mas. Ustad yang di pesantren Darussalam itu, lo," jelasku seraya tersenyum dan membelai kepala suamiku. "Dari mana kamu kenal dia? Untuk apa dia menghubungimu?"selidiknya. Raka sepertinya sudah mulai lancar berbicara. Mungkin karena sudah tidak memakai selang lagi di mulutnya. Juga selang oksigen yang menempel dihidungnya sesekali dia lepas. "Bu Nuri yang merekomendasikan padaku ketika aku minta di
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!āKehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b