"Langsung pulang saja, Pak!" pintaku pada Pak Pardi. Sementara Hafiz masih mengikuti Alif di lokasi rumah yang mencurigakan itu. Untunglah mantan suamiku tidak menyadari ada yang mengikutinya sejak dari kantor tadi. Semiga Hafiz bisa aku andalkan. Walaupun kasus penembakan terhadap Raka kemarin sudah ditangani oleh pengacara kami dan pihak polisi. Rumah tampak sepi ketika aku memasuki ruang tamu. Sepertinya aku harus menemui Ayah sekarang. Gegas aku menaiki tangga dan langsung menuju kamar Ayah. "Sampai kapan kita sembunyi-sembunyi begini, Mas?" "Bersabarlah. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya." Astaga ...! Lagi -lagi mereka berdua saja di dalam. 'Mas' ...? Bu Nuri memanggil Ayah dengan sebutan 'Mas' ? Dan kali ini pintu kamar ini nyaris tertutup rapat. Namun karena ada sedikit celah hingga aku masih bisa mendengar suara mereka dengan jelas. Aku masih merapatkan telingaku pada pintu. Untungnya di lantai atas ini jarang sekali pelayan yang monda
"A-apaa maksud Ayah? Ada hubungan Apa sebenarnya antara Ayah dan Bu Nuri?" selidikku. Mereka berdua terdiam "Kenapa diam, Yah? Tolong jawab pertanyaanku!" desakku "S-sebenarnya ... Bu Nuri ini adalah ... Istri Ayah juga ..." Jawab Ayah tegas seraya kembali menatap lekat pada wanitai itu. Aku ternganga tidak percaya dengan apa Ayah katakan. "Ja-jadi betul Ayah telah menghianati Bunda? Sejak kapan, Yah? Kenapa Ayah tega?" jeritku tertahan. Tubuhku bergetar menahan tangis. Kerongkonganku seakan tercekat. Namun air mata ini tetap tumpah tak terbendung. "Maira ... Sebenarnya ..., Ayah telah menikah dengan Nuri sebelum Ayah menikahi Bundamu," lanjut Ayah yang masih berlutut di hadapanku bersama wanita itu. Lagi-lagi aku tersentak mendengar kenyataan ini. "M-maksud A-ayah ...?" Ayah menarik napas panjang, dan mulai berbicara lagi. "Kakekmu saat itu sebagai atasan Ayah ,menjodohkan Ayah dengan Bundamu. Ayah tak berani membantah. Sutan matari adalah seorang yang keras dan tidak bisa
"Ada apa?" tanya Ayah penasaran. "Benar dugaan Ayah. Alif terlibat dalam percobaan penembakan ini. Hafiz telah menemukan markas para preman yang mencoba ingin membunuhku" "Hafiz? Di mana anak itu sekarang?" Tiba-tiba Bu Nuri bertanya dengan raut wajah sangat khawatir. "Sudah aku suruh pulang, Bu." Kenapa Bu Nuri tampak sangat khawatir. Apa karena beliau sangat kenal baik dengan keluarganya? Atau ...Ah, entahlah. Semoga saja Apa yang sedang aku pikirkan ini salah. "Apa yang harus kita lakukan,Yah?" "Sebaiknya segera kita laporkan ke polisi dan pengacara Raka. Biar nanti Ayah yang urus." "Baiklah," sahutku merasa sedikit lebih tenang "Sebaiknya kamu hati-hati, Mas!" Bu Nuri juga tampak khawatir pada Ayah. Ayah mengangguk. "Untuk beberapa hari kedepan, kamu jangan ngantor dulu, Maira. Serahkan semua pekerjaan pada Said. Sangat berbahaya. Penjagaan sekitar rumah dan rumah sakit harus diperketat. " "Baik, Ayah. Saat ini Aku akan fokus pada kesembuhan Mas Raka dulu." --------
PoV Alif "Dia sudah datang, Bos!" Siapa kira-kira orang yang di panggil Bos itu.? Apakah Bang Boman? Selama ini aku belum pernah sekalipun melihat wajah kepala preman itu. Hanya anak buahnya saja yang sering mendatangiku selama ini. "Suruh dia masuk!" Terdengar suara menggelegar dari dalam ruangan. Astaga! Suaranya saja sudah menakutkan seperti itu Apalagi wajahnya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. "Hei ...! Masuk ...!" teriak laki-laki botak itu dari dalam. Perlahan aku melangkah masuk ke ruangan yang cukup luas itu. Dengan memberanikan diri dan rasa penasaran yang meronta-ronta, kutegakkan kepalaku untuk melihat wajah laki-laki yang di panggil Bos itu. Mata tegas dengan wajah persegi di tumbuhi jambang halus di sekitar pipi dan dagunya. Rahang kokoh serta rambut lurus sedikit gondrong , menambah kesan garang pada wajah yang terbilang tampan itu. Pria tinggi tegap yang di panggil Bos oleh si botak itu menatap nyalang padaku. "Kenapa kamu mengusirnya?" tanyanya dengan s
Pov Alif"Dengar ...! Kamu harus segera membunuh pemilik PT Ramajaya itu. Karena Aku harus segera memiliki Shinta, sebelum papaku membunuh wanita kaya raya itu ." Papanya mau membunuh Shinta? Untuk apa? "Sekarang pergi dari sini! Aku beri waktu satu minggu untuk melakukan perintahku! Awas! jangan coba-coba kabur! Boman akan selalu mengawasimu!" Jadi laki-laki ini bukan Boman? Lalu siapa sebenarnya laki-laki yang di panggil Bos ini? Perlahan aku berbalik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Si kepala botak mengawasi hingga aku mendorong motor keluar pintu gerbang. Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan, gerbang segera mereka tutup. Sungguh seenaknya orang-orang kaya itu. Sudah senang banyak harta. Masih saja ingin membunuh dan merebut istri orang.. Seandainya dulu aku tahu Shinta itu kaya raya, tak mungkin kuceraikan dia. Akan kubuat wanita itu jatuh cinta padaku. Aku membuang napas kasar. Menyesali sesuatu yang tidak mungkin bisa kuulangi lagi. Aku mengamati se
Pagi ini akan diadakan rapat dengan para mitra perusahaan. Beberapa CEO dari beberapa perusahaan akan datang. Untuk pertama kalinya aku hadir dalam rapat ini. Karena Raka belum memungkinkan untuk ikut ke kantor. Pak Pardi dan beberapa pengawal sudah siap untuk mendampingiku selama di perjalanan. "Hallo, Said. Maaf saya agak terlambat. Tolong persiapkan semua dokumen yang diperlukan." "Baik, Bu," sahut asisten pribadiku itu lewat ponsel. Sebelum berangkat tadi, berkali-kali aku peringatkan orang-orang rumah agar berhati-hati jika menerima tamu. Hafiz aku tugaskan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah. Setelah diturunkan di main lobby oleh Pak Pardi, Aku dan beberapa pengawal melangkah langsung menuju lift. Ruang meeting yang berukuran paling besar di kantor pusat ini berada ujung di lantai tiga. Untuk menuju ke sana harus melalui ruang berbentuk kubikel para staf yang cukup luas. Ketika keluar lift di lantai tiga ini, nampak para staf wanita yang bergerombol dan saling berbisik.
Segera kutundukkan pandangan, untuk menjaga hati dari dosa. "Silakan duduk Tuan Reinhard!" "Panggil saja Aku Rein!" sahutnya tegas dengan suara bariton yang sangat dominan. "Saya pernisi ke ruang sebelah dulu, Bu!" pamit Dewi. Aku mengangguk sekalian memberi kode pada sekretaris itu agar tetap membiarkan pintu ruangan ini terbuka lebar. "Maaf Tuan Rein ... sa ..." "Panggil Rein saja, Shinta. Please ...!" pangkas laki-laki gondrong yang saat ini sedang duduk tepat di hadapanku. Tampilannya memang berbeda dari para CEO lainnya. Rambut gondrongnya yang diikat satu dibelakang membuat para wanita semakin tampak menggila. "Baiklah. Maaf, suami saya tidak bisa hadir dalam meeting kali ini. Jika ada yang mau disampaikan, bisa dengan saya atau asisten saya." "Bolehkah aku menyampaikannya di saat makan siang nanti?" "Makan siang?" tanyaku bingung. Aku tak berani membalas lama tatapannya yang dalam. Apa selalu seperti itu laki-laki ini jika menatap wanita? Pantas saja para wanita his
Alif menatapku sambil berpikir "Kami tidak lagi dapat kiriman uang dari orang-orang itu. Malah mereka menyiita rumahku. Kini aku tidak punya apa-apa. Tokopun terbakar," lirihnya Orang-orang siapa yang dimaksud Alif? "Maafkan aku, Mas! Aku tidak tau ....Kenapa orang-orang itu berhenti memberimu uang, Mas?" tanyaku lagi hati-hati. "Ya karena sudah tidak ada kamu di rumahku." sahutnya kesal. Aku mengangguk-angguk. "Apakah jika aku kembali padamu, mereka akan kembali memberimu uang dan mengembalikan rumahmu, Mas?" "A-apa? Kamu mau kembali padaku, Shinta? Aku akan ceraikan Mela sekarang juga jika memang benar demikian." Alif nampak sangat antusias. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. "Aku janji, Shinta. Aku akan memperlakukanmu dengan baik. Aku akan mencintai kamu. Aku tak peduli dengan Bos preman yang memintaku untuk tidak menyentuhmu. Bukankah kamu lebih kaya sekarang? Kita bayar saja orang untuk melawan Bosnya Boman itu." "Bos preman? Apakah dia yang menyuruhmu untuk membunuh