Pagi ini akan diadakan rapat dengan para mitra perusahaan. Beberapa CEO dari beberapa perusahaan akan datang. Untuk pertama kalinya aku hadir dalam rapat ini. Karena Raka belum memungkinkan untuk ikut ke kantor. Pak Pardi dan beberapa pengawal sudah siap untuk mendampingiku selama di perjalanan. "Hallo, Said. Maaf saya agak terlambat. Tolong persiapkan semua dokumen yang diperlukan." "Baik, Bu," sahut asisten pribadiku itu lewat ponsel. Sebelum berangkat tadi, berkali-kali aku peringatkan orang-orang rumah agar berhati-hati jika menerima tamu. Hafiz aku tugaskan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah. Setelah diturunkan di main lobby oleh Pak Pardi, Aku dan beberapa pengawal melangkah langsung menuju lift. Ruang meeting yang berukuran paling besar di kantor pusat ini berada ujung di lantai tiga. Untuk menuju ke sana harus melalui ruang berbentuk kubikel para staf yang cukup luas. Ketika keluar lift di lantai tiga ini, nampak para staf wanita yang bergerombol dan saling berbisik.
Segera kutundukkan pandangan, untuk menjaga hati dari dosa. "Silakan duduk Tuan Reinhard!" "Panggil saja Aku Rein!" sahutnya tegas dengan suara bariton yang sangat dominan. "Saya pernisi ke ruang sebelah dulu, Bu!" pamit Dewi. Aku mengangguk sekalian memberi kode pada sekretaris itu agar tetap membiarkan pintu ruangan ini terbuka lebar. "Maaf Tuan Rein ... sa ..." "Panggil Rein saja, Shinta. Please ...!" pangkas laki-laki gondrong yang saat ini sedang duduk tepat di hadapanku. Tampilannya memang berbeda dari para CEO lainnya. Rambut gondrongnya yang diikat satu dibelakang membuat para wanita semakin tampak menggila. "Baiklah. Maaf, suami saya tidak bisa hadir dalam meeting kali ini. Jika ada yang mau disampaikan, bisa dengan saya atau asisten saya." "Bolehkah aku menyampaikannya di saat makan siang nanti?" "Makan siang?" tanyaku bingung. Aku tak berani membalas lama tatapannya yang dalam. Apa selalu seperti itu laki-laki ini jika menatap wanita? Pantas saja para wanita his
Alif menatapku sambil berpikir "Kami tidak lagi dapat kiriman uang dari orang-orang itu. Malah mereka menyiita rumahku. Kini aku tidak punya apa-apa. Tokopun terbakar," lirihnya Orang-orang siapa yang dimaksud Alif? "Maafkan aku, Mas! Aku tidak tau ....Kenapa orang-orang itu berhenti memberimu uang, Mas?" tanyaku lagi hati-hati. "Ya karena sudah tidak ada kamu di rumahku." sahutnya kesal. Aku mengangguk-angguk. "Apakah jika aku kembali padamu, mereka akan kembali memberimu uang dan mengembalikan rumahmu, Mas?" "A-apa? Kamu mau kembali padaku, Shinta? Aku akan ceraikan Mela sekarang juga jika memang benar demikian." Alif nampak sangat antusias. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. "Aku janji, Shinta. Aku akan memperlakukanmu dengan baik. Aku akan mencintai kamu. Aku tak peduli dengan Bos preman yang memintaku untuk tidak menyentuhmu. Bukankah kamu lebih kaya sekarang? Kita bayar saja orang untuk melawan Bosnya Boman itu." "Bos preman? Apakah dia yang menyuruhmu untuk membunuh
"Aku harus ikut menemanimu!" Raka terus memaksa. "Tidak usah, Mas. Kamu belum sehat betul. Jadi istirahat saja di rumah," bujukku. "Tapi di luar sana sangat berbahaya, Sayang." "Mas Raka, tiga orang pengawal ditambah dengan Hafiz yang ikut denganku malam ini, apa belum cukup?" tanyaku seraya menatap wajah cemas suamiku ini. Raka membuang napas kasar. Dan pada akhirnya dia menyerah. "Baiklah. Tapi janji sama aku. Kamu harus hati-hati dan jaga diri. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku jika terjadi apa-apa padamu, Sayang." Raka langsung memelukku erat, seakan-akan aku akan pergi jauh dan lama. "Kenapa kamu sangat cemas begini? Apa karena Aina dan keluarganya juga hadir di acara pesta malam ini?" tanyaku heran seraya melepaskan pelukannya perlahan. "Entahlah. Rasanya begitu berat melepas kamu kali ini." Raka kembali memelukku erat. "Sudahlah, Sayang. Mungkin hanya perasaanmu saja. Jangan berpikir macam-macam. Aku akan baik-baik saja, oke?" Namun Raka tak menyahut. Dia teru
Seorang laki-laki seumuran Ayah sangat mirip dengan Rein memberikan sambutan selamat datang kepada para undangan. MC memanggilnya dengan nama Mister Robert. Mungkinkah laki-laki itu adalah ayahnya Rein? Mister Robert menyapa beberapa pemilik perusahaan, termasuk diriiku Namun tatapan Mister Robert padaku terlihat kurang bersahabat. Sangat Aneh. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya Tiba-tiba aku merasa pusing. Penglihatanku buram. Ya Tuhan, kenapa aku ini? Lindungilah aku Ya Allah. Aku berusaha melihat sekeliling. Berharap menemukan Hafiz atau salah satu pengawalku. Sepertinya aku harus berdiam diri bersandar pada dinding ini. Karena jika aku berjalan, pasti akan menjadi pusat perhatian karena sempoyongan. Mencoba menghubungi mereka lewat ponsel. Namun kenapa tidak ada sinyal di sini? Untunglah para tamu tidak ada yang menghiraukanku. Perhatian mereka sedang terfokus pada acara yang dipandu MC. Jangan sampai pingsan. Aku berusaha agar terus sadar. Namun keringat dingin
Aku tersentak ketika kenop pintu berputar. Siapa yang datang? "Sayang ..., kamu sudah sadar?" Sontak aku ternganga ketika melihat siapa yang datang. Astaga! Reinhard ...! Tubuhku bergetar melihat kedatangan laki-laki bermata elang itu. Tatapannya begitu tajam menakutkan. Kenapa laki-laki ini memanggilku dengan panggilan sayang? Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi diantara kami? "Apa yang kamu lakukan padaku, Rein? ketusku menahan emosi pada laki-laki memakai switer berwarna cokkat muda itu. "Hei, tenanglah, Sayang. Aku hanya ingin membuatmu nyaman di sini." Laki-laki bertubuh tinggi besar itu perlahan mendekat. Kedua tangannya berada dalam kedua saku celananya. Seringainya sangat menakutkan bagiku. Aku yang sedang berada di dekat kaca rias, perlahan mundur. Bagaimana jika Rein terus maju dan mendekatiku? "Apa yang telah kamu lakukan padaku, Rein?" ulangku lagi. Langkah laki-laki itu terhenti pada tepi ranjang. Kemudian dengan tenangnya dia duduk Tatapannya masih tertuju padak
"Pagi, suster. Dokter praktek yang perempuan ada?" tanyaku pada seorang petugas klinik. "Ada, Bu. Dokter Lia. Silakan daftar dulu!' jawabmya seraya mengetik komputer di depannya. Setelah memberikan data-dataku pada petugas klinik itu, aku langsung disuruh masuk ke dalam kamar praktek. Mungkin karena masih pagi, belum ada pasien yang datang. "Suaminya boleh silakan ikut masuk, Pak!" ujar suster itu pada Rein yang sedari tadi menungguku di ruang tunggu. " Oh iya ..., apa boleh ... ?" sahut Rein gelagapan. "Jangan suster, Dia bukan suami Saya," pungkasku kesal melihat Rein yang terkikik. "Selamat pagi, dok." "Pagi Bu Shinta .... Apa keluhannya?" "B-begini, Dok. Sepertinya ada yang memasukkan sesuatu pada minuman saya semalam hingga saya tak sadarkan diri. Saat sadar saya sudah berada di sebuah kamar hotel. S-saya khawatit ada yang melakukan tindakan seksual pada saya. Apa Dokter bisa bantu untuk memastikannya?" jelasku hati-hati. "Baiklah, Bu. Silakan berbaring saya periksa ya
Wajah Raka memerah. Dadanya naik turun. Sepertinya emosi telah menguasai dirinya. Sementara Ayah dan beberapa pengawal nampak cemas melihat keduanya saling menantang. Jantungku berdegup kencang. Tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku yang masih belum pulih kesehatannya. Ya Tuhan, Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Perlahan aku mendekat pada Raka. Menyentuh lengannya dengan maksud menenangkan. Raka melirikku dengan ekor matanya. Namun kenapa tatapannya seperti itu? Hatiku mencelos ketika melihat tatapannya yang berbeda. "Ooh ..., seperti ini rupanya sikap seorang pengusaha sukses yang namanya sudah dikenal di dunia bisnis," sindir Rein seraya tersenyum miring. Raka makin geram mendengar ucapan Rein. Matanya menatap nanar pada laki-laki gondrong itu. "Ayah ..., mana Hafiz dan para pengawal ?" bisikku."Mereka tidak pulang sejak kemarin mencarimu." Aku tersentak mendengar jawaban Ayah yang sejak tadi terus memandang tajam pada Rein. "Robert ...!" gumam Ayah pelan, pandanganny
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b