"Aku harus ikut menemanimu!" Raka terus memaksa. "Tidak usah, Mas. Kamu belum sehat betul. Jadi istirahat saja di rumah," bujukku. "Tapi di luar sana sangat berbahaya, Sayang." "Mas Raka, tiga orang pengawal ditambah dengan Hafiz yang ikut denganku malam ini, apa belum cukup?" tanyaku seraya menatap wajah cemas suamiku ini. Raka membuang napas kasar. Dan pada akhirnya dia menyerah. "Baiklah. Tapi janji sama aku. Kamu harus hati-hati dan jaga diri. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku jika terjadi apa-apa padamu, Sayang." Raka langsung memelukku erat, seakan-akan aku akan pergi jauh dan lama. "Kenapa kamu sangat cemas begini? Apa karena Aina dan keluarganya juga hadir di acara pesta malam ini?" tanyaku heran seraya melepaskan pelukannya perlahan. "Entahlah. Rasanya begitu berat melepas kamu kali ini." Raka kembali memelukku erat. "Sudahlah, Sayang. Mungkin hanya perasaanmu saja. Jangan berpikir macam-macam. Aku akan baik-baik saja, oke?" Namun Raka tak menyahut. Dia teru
Seorang laki-laki seumuran Ayah sangat mirip dengan Rein memberikan sambutan selamat datang kepada para undangan. MC memanggilnya dengan nama Mister Robert. Mungkinkah laki-laki itu adalah ayahnya Rein? Mister Robert menyapa beberapa pemilik perusahaan, termasuk diriiku Namun tatapan Mister Robert padaku terlihat kurang bersahabat. Sangat Aneh. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya Tiba-tiba aku merasa pusing. Penglihatanku buram. Ya Tuhan, kenapa aku ini? Lindungilah aku Ya Allah. Aku berusaha melihat sekeliling. Berharap menemukan Hafiz atau salah satu pengawalku. Sepertinya aku harus berdiam diri bersandar pada dinding ini. Karena jika aku berjalan, pasti akan menjadi pusat perhatian karena sempoyongan. Mencoba menghubungi mereka lewat ponsel. Namun kenapa tidak ada sinyal di sini? Untunglah para tamu tidak ada yang menghiraukanku. Perhatian mereka sedang terfokus pada acara yang dipandu MC. Jangan sampai pingsan. Aku berusaha agar terus sadar. Namun keringat dingin
Aku tersentak ketika kenop pintu berputar. Siapa yang datang? "Sayang ..., kamu sudah sadar?" Sontak aku ternganga ketika melihat siapa yang datang. Astaga! Reinhard ...! Tubuhku bergetar melihat kedatangan laki-laki bermata elang itu. Tatapannya begitu tajam menakutkan. Kenapa laki-laki ini memanggilku dengan panggilan sayang? Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi diantara kami? "Apa yang kamu lakukan padaku, Rein? ketusku menahan emosi pada laki-laki memakai switer berwarna cokkat muda itu. "Hei, tenanglah, Sayang. Aku hanya ingin membuatmu nyaman di sini." Laki-laki bertubuh tinggi besar itu perlahan mendekat. Kedua tangannya berada dalam kedua saku celananya. Seringainya sangat menakutkan bagiku. Aku yang sedang berada di dekat kaca rias, perlahan mundur. Bagaimana jika Rein terus maju dan mendekatiku? "Apa yang telah kamu lakukan padaku, Rein?" ulangku lagi. Langkah laki-laki itu terhenti pada tepi ranjang. Kemudian dengan tenangnya dia duduk Tatapannya masih tertuju padak
"Pagi, suster. Dokter praktek yang perempuan ada?" tanyaku pada seorang petugas klinik. "Ada, Bu. Dokter Lia. Silakan daftar dulu!' jawabmya seraya mengetik komputer di depannya. Setelah memberikan data-dataku pada petugas klinik itu, aku langsung disuruh masuk ke dalam kamar praktek. Mungkin karena masih pagi, belum ada pasien yang datang. "Suaminya boleh silakan ikut masuk, Pak!" ujar suster itu pada Rein yang sedari tadi menungguku di ruang tunggu. " Oh iya ..., apa boleh ... ?" sahut Rein gelagapan. "Jangan suster, Dia bukan suami Saya," pungkasku kesal melihat Rein yang terkikik. "Selamat pagi, dok." "Pagi Bu Shinta .... Apa keluhannya?" "B-begini, Dok. Sepertinya ada yang memasukkan sesuatu pada minuman saya semalam hingga saya tak sadarkan diri. Saat sadar saya sudah berada di sebuah kamar hotel. S-saya khawatit ada yang melakukan tindakan seksual pada saya. Apa Dokter bisa bantu untuk memastikannya?" jelasku hati-hati. "Baiklah, Bu. Silakan berbaring saya periksa ya
Wajah Raka memerah. Dadanya naik turun. Sepertinya emosi telah menguasai dirinya. Sementara Ayah dan beberapa pengawal nampak cemas melihat keduanya saling menantang. Jantungku berdegup kencang. Tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku yang masih belum pulih kesehatannya. Ya Tuhan, Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Perlahan aku mendekat pada Raka. Menyentuh lengannya dengan maksud menenangkan. Raka melirikku dengan ekor matanya. Namun kenapa tatapannya seperti itu? Hatiku mencelos ketika melihat tatapannya yang berbeda. "Ooh ..., seperti ini rupanya sikap seorang pengusaha sukses yang namanya sudah dikenal di dunia bisnis," sindir Rein seraya tersenyum miring. Raka makin geram mendengar ucapan Rein. Matanya menatap nanar pada laki-laki gondrong itu. "Ayah ..., mana Hafiz dan para pengawal ?" bisikku."Mereka tidak pulang sejak kemarin mencarimu." Aku tersentak mendengar jawaban Ayah yang sejak tadi terus memandang tajam pada Rein. "Robert ...!" gumam Ayah pelan, pandanganny
Tak henti-hentinya menyesali diri ini. Karena terlalu merasa lega dengan hasil yang disebutkan Dokter Lia, hingga aku sampai lupa meminta bukti tertulisnya. "Kalau Mas nggak percaya, ayo kita ke klinik itu sekarang!" ajakku seraya meraih lengannya dan membawanya keluar kamar. Dada ini terasa nyeri ketika Raka tiba-tiba menepis tanganku. Namun aku tetap bersyukur Dia mau menurutiku untuk pergi ke klinik 24 jam menemui dokter Lia. Sepanjang jalan aku tak berani mengajak Raka berbicara. Suamiku itu selalu memandang keluar. Seperti inikah Raka jika marah? Pasien yang antri cukup ramai ketika kami tiba di klinik. Aku dan Raka langsung menghampiri bagian petugas pendaftaran. "Suster, mau bertemu Dokter Lia, bisa?" "Maaf, dokter Lia sudah pulang sejak tadi, Bu. Sekarang sudah berganti dengan dokter Budianto yang praktek sore." Tubuhku langsung terasa lemas. Sementara Raka menampakkan wajah kesal. "Kapan saya bisa bertemu Dokter Lia lagi, Sus?" tanyaku penuh harap. "Dokter Lia hanya
"Selamat siang, Pak Rein." Seorang receptionis tiba-tiba berdiri dan menyapa Pria gondrong bertubuh besar yang masuk ke dalam gedung megah milik Angkasa Group itu. "Mana Ayahku?" Suara bariton yang mendominan itu sempat menggetarkan ruangan. "Pak Robert ada di ruangannya, Pak. Sebentar saya hubungi ..." Tanpa menunggu wanita itu menyelesaikan ucapannya, Rein terus melangkahkan kakinya menuju ruang sang Ayah. "Pokoknya saya tidak mau tau! Perempuan itu harus mati! Lakukan dengan bersih. Jangan sampai ada jejak!" Robert tampak sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Tanpa sepengetahuannya, Rein telah berdiri dengan geram di depan pintu Laki-laki yang sekilas tampak sangat mirip dengannya itu terperanjat ketika melihat Rein telah berdiri seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. "Sejak kapan kamu di situ?" selidiknya. "Aku telah mendengar semuanya. Jadi benar? Ayah yang melakukan semuanya?" cecar Rein seraya melangkah mendekat dan menatap tajam pada Ayahnya
"Tidak semudah itu, cantik. Shinta itu tidak sebodoh yang kamu pikir. Teruskan saja misimu untuk membuat mereka bercerai! Dengan demikian, tidak akan ada yang melindungi wanita itu lagi," ujar Robert antusias . "Misiku hampir gagal kemarin. Ternyata Rein hanya meneguk sedikit sekali minuman itu. Hingga obat perangsang yang juga aku masukkan ke dalam minumannya tidak bekerja. Setelah membopong tubuh Shinta ke kamar, Rein tak sadarkan diri walau hanya beberapa jam. Beruntung aku bisa memanfaatkan keadaan itu dengan meletakkan kamera tersembunyi di kamar itu," papar Aina panjang lebar. "Sungguh cerdas sekali kamu, Aina!" Robert terkagum-kagum pada wanita muda di hadapannya. "Satu yang aku minta. Aku ingin orang suruhan Rein yang tertangkap polisi itu tutup mulut . Kalau perlu ancam seluruh keluarganya.!"lanjutnya lagi. "Itu bisa diatur, Om. Asalkan kita bisa bekerja sama dengan baik," sahut wanita bergaya sangat glamour itu sebelum berlalu meninggalkan meninggalkan ruangan Robert.